Jurnal Kecamatan: Menteng Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta

Merekam Konferensi Pers Aksi #ReformasiDikorupsi

Luthfan Nur Rochman
Pada tanggal 25 September 2019, saya untuk pertama kali mendatangi LBH Jakarta. Saya diajak oleh Manshur Zikri (redaksi AKUMASSA), Anggraeni Widhiasih (peneliti Forum Lenteng), dan Maria Silalahi (seniman, anggota Forum Lenteng) untuk menghadiri konferensi pers mengenai aksi yang terjadi di Jakarta pada tanggal 23-24 September 2019. Saya pribadi hanya mengikuti demo lewat pertemuan saya dengan para demonstran di Commuter Line, selain lewat berita, media sosial, dan kabar dari teman-teman Forum Lenteng yang turun ke jalan. Konferensi Pers tersebut baru dilakukan pada tanggal 25 September karena keadaan di hari sebelumnya yang tidak memungkinkan.

Konferensi pers itu diadakan di aula LBH. Di tengah aula, ada semacam level tempat kawan-kawan aktivis yang turun ke jalan dari berbagai unsur duduk lesehan untuk memberikan statement. Saat saya datang, konferensi pers sudah dimulai, saya pun langsung mengeluarkan peralatan dokumentasi saya dengan tergesa-gesa.

Manik Marganamahendra, Ketua BEM UI, memberikan keterangan dan pernyataan.

Dengan dipandu oleh MC dari LBH, yang pertama memberi statement adalah Ketua BEM UI, Manik Marganamahendra. Ia menjelaskan bahwa aksi yang dilakukannya murni tanpa ada tunggangan mana pun dan bahwa mahasiswa steril dari para pelaku perusakan fasilitas publik. Pernyataan ini diperkuat juga oleh kawan mahasiswa yang lain, yang mengatakan telah melakukan kajian bersama di kampus, sebelum memutuskan untuk turun aksi. Selanjutnya, dari elemen mahasiswa yang mendapat perlakuan kekerasan dari aparat, ada perwakilan dari Universitas Siliwangi yang berkata bahwa beberapa kawannya belum ditemukan per-25 September. Perwakilan dari Universitas Negeri Semarang, yang massa aksinya dihalangi untuk ke Jakarta oleh aparat, memberikan detail terkait peristiwa tersebut. Contoh dari UNNES ini adalah satu dari sekian banyak massa mahasiswa yang dihalangi untuk masuk ke Jakarta. Pihak LBH juga menyoroti adanya ancaman Drop-Out dari beberapa kampus untuk para mahasiswa; mereka mengecam tindakan represif dari pihak kampus ini.

Puri Kencana Putri, dari Amnesty International Indonesia, memberikan keterangan dan pernyataan.

Sedangkan elemen non-mahasiswa, ada perwakilan dari Amnesty International Indonesia, yang membahas mengenai kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. Ia memberikan penjelasan mengenai standar yang seharusnya dipatuhi oleh aparat dalam pengendalian massa. Namun, pada hari aksi, aparat tidak berhasil melakukan negosiasi dan jauh melanggar standar itu dengan melakukan tindakan represi ke para demonstran, dalam bentuk penembakan water cannon dan pelemparan gas air mata. Perwakilan Aliansi Jurnalis Indonesia memberikan keterangan bahwa para jurnalis juga mengalami tindakan represi dari aparat dalam bentuk kekerasan, perampasan alat dokumentasi, baik di Jakarta maupun di daerah lain. Rata-rata, para jurnalis mendapatkan kekerasan karena merekam kebrutalan aparat terhadap para demonstran. LBH Pers berkata bahwa ini adalah pelanggaran terhadap UU Pers.

Selanjutnya, ada pemutaran video yang disusun oleh perwakilan dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), mengenai temuan-temuan pada saat demonstrasi, antara lain kebrutalan aparat pada pers, cedera dan luka yang dialami para korban, dan bukti selongsong gas air mata yang ternyata sudah kadaluarsa. Berdasarkan pencarian fakta yang dilakukan, zat-zat yang ada dalam gas air mata kadaluarsa tersebut sangat berbahaya bagi para demonstran.

Arif Maulana, Direktur LBH Jakarta, memberikan keterangan dan pernyataan.

Selain kondisi yang tidak kondusif di Jakarta, perwakilan dari LBH memberikan laporan mengenai aksi di luar Jakarta dan beberapa respon positif DPRD di daerah. Salah satunya, DPRD Jember menyepakati beberapa poin mahasiswa. Namun, LBH tetap menyayangkan, walaupun keadaannya sudah bereskalasi sedemikian rupa, di Jakarta sama sekali tidak ada respon dari DPR RI, dan malah tidak membuka ruang untuk dialog dan diskusi.

Di tengah banyaknya narasi yang berusaha mendiskreditkan dan menyempitkan aksi massa dan mahasiswa, terutama framing media, perwakilan Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan Demokrasi (AMUK) membacakan 7 desakan #ReformasiDikorupsi untuk memberikan konteks dan agenda dari aksi massa tanggal 23-24 September tersebut.

Dalam poin-poin tuntutan tersebut, salah satu yang penting adalah mengenai RKUHP. Perwakilan dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP – ICJR (Institute of Criminal Justice Reform) mengecam tindakan DPR yang terburu-buru mengajukan RKUHP baru dan kurangnya akses publik pada diskusi perumusan RKUHP baru. Padahal, Aliansi ini mendukung penuh reformasi KUHP dan sudah melaksanakan diskusi terkait perumusan dan reformasi KUHP selama 14 tahun bersama mahasiswa, masyarakat sipil, dan rakyat. Empat tahun bukan waktu sebentar untuk mereformasi KUHP, dan RKUHP yang diajukan DPR pun tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Karenanya, aliansi bersama mahasiswa dan masyarakat sipil menuntut diskusi partisipatif dan terbuka untuk perancangan RKUHP. Aliansi juga menuntut para perancang KUHP untuk meniadakan pasal-pasal yang membungkam kritik dan pasal yang masuk ke urusan privat masyarakat.

Nining Elitos, perwakilan dari KASBI, memberikan keterangan dan pernyataan.

Elemen masyarakat yang ikut turun ke jalan termasuk para buruh, tani, dan nelayan. Perwakilan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), mengecam tindakan represif yang brutal pada gerakan rakyat dan menyatakan bahwa gerakan tidak ditunggangi dan didanai oleh pihak siapa pun. Ia juga membandingkan bahwa tindakan represif pada buruh yang terburuk pasca-Reformasi terjadi pada masa ini. Perwakilan Kiara (Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan) dan AMUK Bahari, mengatakan bahwa lebih dari 50 perempuan dan laki-laki nelayan, dari Muara Angke, Dadap, dan Pulau Pari, mengikuti aksi. Perwakilan KIARA juga mengecam pelemahan KPK yang berhasil mengungkap korupsi di konteks pesisir dan pulau-pulau kecil. Ia mengatakan juga bahwa RUU Pertanahan dan RUU Minerba dapat berdampak buruk pada regulasi di pulau kecil dan reklamasi sehingga mencederai kehidupan nelayan.

Maria Catarina Sumarsih juga ikut serta memberikan pernyataan.

Ibu Maria Catarina Sumarsih, aktivis HAM, juga turut memberikan pandangannya atas aksi massa tanggal 23-24 September. Ia mengingatkan kembali bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, seperti 1998, dan yang terbaru seperti di Papua. Ia menuntut jaminan keamanan kepada negara dalam menyampaikan pendapat, agar tidak terjadi perulangan pelanggaran HAM berat

Seorang perwakilan LBH memberikan update terkini mengenai penangkapan-penangkapan yang terjadi: tercatat ada 94 orang ditangkap di Polres Jakarta Barat per-25 September 2019. Ia menekankan pada aparat bahwa, untuk para tersangka, harus terus berlaku asas praduga tidak bersalah dan tidak dihalangi dari pendampingan hukum. LBH masih terus mencatat korban yang ditangkap dan mulai membuka Posko Pengaduan untuk memberikan bantuan hukum, bersama Kontras, Lokataru, ICJR, dan PP Muhammadiyah. LBH juga menuntut pembebasan para mahasiswa yang sudah berkonsolidasi sebelumnya dari kepolisian, karena ini adalah bentuk dari penghalangan kebebasan berpendapat.

Mahasiswa Universitas Udayana, Bali, yang baru datang, mengingatkan kembali bahwa aksi ini sudah terjadi secara massif di berbagai daerah, termasuk Bali. Ia mengkonfirmasi bahwa aksinya berdasarkan kajian dan sudah bermula sejak RUU yang melemahkan KPK dan terus sampai memprotes RKUHP dan RUU bermasalah lainnya. Kedatangannya ke Jakarta pun murni pembiayaan sendiri dan tidak ada kepentingan yang menungganginya.

Setelah seluruh gugatan yang sudah disampaikan sesuai prosedur hukum, baik lewat lobi, negosiasi, dan demonstrasi, perwakilan dari AMUK memberikan pandangan mengenai apa saja yang bisa dilakukan selanjutnya bila tidak ada respon positif dari pemerintah. Ia mengatakan bahwa, selain sudah ada judicial review yang disiapkan untuk menggugat di Mahkamah Konstitusi, masyarakat diharapkan untuk tidak bergantung pada judicial review tersebut. Ia mengingatkan bahwa kita harus terus mengawal, dan pengecaman harus tetap berjalan karena aksi tanggal 23-24 September sudah menjadi aksi yang bersejarah. Masyarakat harus mengantisipasi situasi ke depannya, pengesahan UU akan berlangsung dengan cara dicicil, dan sudah ada RUU yang baru disahkan, yang membuat anggaran DPR naik menjadi 5 triliun.

Di akhir Konferensi Pers, MC meminta perwakilan dari AMUK, Ibu Sumarsih, dan perwakilan dari mahasiswa, membacakan komunike yang memuat statement yang menjadi kegelisahan kolektif rakyat Indonesia.

Sepanjang merekam, ada banyak yang terjadi pada kamera, zoom, dan saya sendiri, karena pegalnya tangan saya, tripod yang sulit diatur, baterai habis, tombol pause yang tidak sengaja tertekan dan memori ngadat. Kamera dan zoom saya mungkin mengambil gambar dan suara yang berantakan, tapi pikiran saya tidak berhenti terfokus pada pernyataan-pernyataan penting dan tulus dari masyarakat yang sudah berjuang di lapangan untuk menyelamatkan reformasi yang dikorupsi.

About the author

Luthfan Nur Rochman

Luthfan Nur Rochman

Luthfan Nur Rochman (19 Agustus 1993) adalah seorang pembuat film yang berbasis di Jakarta. Lulusan Arkeologi, Universitas Indonesia, ini sehari-harinya juga berkegiatan di Milisifilem Collective, sembari menyalurkan hobinya dalam mengulik budaya manga Jepang.

Luthfan adalah salah satu anggota tim selektor ARKIPEL bromocorah.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.