DKI Jakarta

Menunggu Peristiwa

Menunggu Peristiwa
Avatar
Written by Lulus Gita Samudra

Banyak hal yang tak terduga terjadi di Jakarta. Siapa sangka akan ada peristiwa besar di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan sepanjang akhir minggu kemarin. Persoalannya adalah perseteruan antara Polri dan KPK yang terus memanas. Polri yang seolah merasa tidak terima atas pengusutan kasus korupsi pengadaan simulator SIM oleh KPK yang menjegal Irjen Djoko Susilo, membalas dengan pengepungan gedung KPK pada Jumat malam. Aksi yang dilakukan Kepolisian itu untuk menangkap penyidik KPK Novel Baswedan dengan tuduhan pelanggaran HAM terhadap pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada tahun 2004. Berdasarkan peristiwa itu, sejumlah media massa membuat judul berita “KPK Mencekam.”

Pelayanan di gedung KPK

Peristiwa yang terjadi dalam sekejap itu mulai menyebar di media sosial dengan hastag #saveKPK. Hal ini direspon oleh berbagai macam elemen masyarakat. Mereka mulai berdatangan ke Kantor KPK dan membuat pagar betis hingga Sabtu dini hari sebagai bentuk membela KPK.

Semua informasi itu aku saksikan di layar kaca hingga akhirnya pada sekitar jam tiga dini hari, Wakil Ketua KPK, Bambang Widjayanto angkat bicara. Katanya ada instansi yang ingin melemahkan KPK. Mereka mengkriminalisasi salah satu penyidik KPK dengan tuduhan yang tidak sesuai dengan fakta. Pada saat yang sama, temanku memberi pesan singkat, bahwa peristiwa yang tak terduga pada hari Sabtu jangan sampai terlewatkan, dan hal itu harus terdokumentasikan.

Bertemu Teman

Pagi pun datang setelah tidur sebentar. Sejenak saja aku sudah ada di Kantor KPK pada pukul 10 pagi. Puluhan wartawan dari berbagai macam media massa sudah ada di sana. Ada yang sedang mempersiapkan kamera, ada yang sedang menulis berita, tapi ada juga yang sedang asyik ngobrol-ngobrol saja. Secara keseluruhan, para wartawan itu sedang menanti kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya di KPK.

Para wartawan kumpul di gedung KPK pada Sabtu (6/10) pagi

Tiba-tiba aku mendengar suara yang menyapa di antara para wartawan itu, “Oi, Lus!”

Setelah aku menoleh ke arah sumber suara, ternyata yang menyapa adalah seorang teman satu almamater, aku memanggilnya Bang Kapoy. “Apa kabar, Bang?” tanyaku sambil menghampiri.

“Baik, Lus. Lo sekarang di mana?” tanya Kapoy.

Aku menjawab, “Gue di akumassa.org, Bang. Nah, lo?”

Gue di Aktual,” kata Kapoy sambil memperhatikan sekelilingnya.

Kapoy (kanan) dan wartawan lainnya menunggu peristiwa di gedung KPK

Setelah obrolan basa-basi, kita berbagi ide tentang apa yang menarik untuk diangkat dari peristiwa perseteruan antara KPK dan Polri kemarin malam. Kapoy mengira yang menarik untuk diangkat dalam peristiwa ini adalah tentang peran Humas (Hubungan Masyarakat) di masing-masing instansi. Menurutnya Humas KPK memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik dibanding Humas yang bekerja untuk Polri.

“Sebetulnya bisa aja Polri menjegal KPK, tapi Humas-nya gak berfungsi dengan baik. Polri yang niatnya jatuhin KPK, malah jadi bumerang setelah Bambang ngeluarin statement tadi malam. Nah, lo mau ngangkat apa?” Tanya Kapoy setelah menjelaskan idenya padaku.

Hmmm, kalo gue bakal angkat kinerja wartawannya, Bang,” jawabku.

“Maksudnya?” Tanya Kapoy yang memasang wajah heran.

Aku menjawab, “Yah, kayanya kalo gue ngangkat tentang KPK Vs Polri pasti udah banyak media yang ngangkat. Menurut gue untuk menghadirkan sajian yang beda, mendingan gue nulis aktifitas wartawan yang tugas hari ini di markas KPK, Bang.”

“Oh, oke. Kebijakan redaksi lo begitu ya? Keren!” jawab Kapoy sambil menganggukan kepala.

Gak, Bang. Itu ide gue.”

Loh, kok bisa?” tanya Kapoy.

Aku pun menjawab, “Di media tempat gue kerja, gue dikasih kebebasan untuk nulis apa aja, selagi nilainya positif, Bang.”

Mendengar jawabanku, Kapoy diam sambil menganggukan kepala. Sepertinya ia bingung, seorang fresh graduate seperti aku bisa mendapat keleluasaan dalam menulis. Karena kemudian Kapoy mengaku, hal itu tidak ia dapatkan di media tempat ia bekerja, meskipun ia memiliki pengalaman menjadi wartawan sejak tahun 2003.

Tak terasa hari sudah siang, tiba-tiba teman Kapoy dari media lain yang baru datang ke gedung KPK menghampiri. Menanyakan informasi apa yang dimiliki Kapoy. Kapoy bilang belum ada apa-apa sejak pagi hari. Ia mengaku juga sedang menunggu kemungkinan peristiwa yang akan terjadi.

Aku merasa bosan duduk di luar gedung. Tidak ada banyak kegiatan yang bisa kulakukan selain hanya ngobrol-ngobrol dengan teman sesama wartawan. Kuputuskan untuk meninggalkan Kapoy dan masuk ke pres room KPK untuk menyaksikan breaking news di layar kaca. Tenyata banyak juga wartawan yang sedang memantau layar kaca, meskipun lebih banyak lagi yang nongkrong di luar gedung.

Wartawan memantau perkembangan isu KPK yang berseteru dengan Polri di pres room KPK

Kebetulan saat itu ada siaran konfrensi pers yang diadakan pihak kepolisian. Kabareskrim Polri Komjen Sutarman melontarkan pernyataan tetap akan menangkap Novel Baswedan meskipun KPK pasang badan. Kemudian para wartawan yang ada diruangan itu bersorak dengan nada sentimen terhadap Polri meskipun dalam ruang itu juga terdapat polisi yang sedang bertugas. Para wartawan itu juga saling melontarkan pendapat, yang berbunyi tuduhan bahwa Polri sedang mengusut kasus yang sifatnya diada-adakan saja. Polisi yang sama-sama memantau layar kaca pun hanya bisa diam saja.

Wartawan dan Polisi menyaksikan breaking news siang

Menunggu

Adzan ashar telah berkumandang. Dari luar gedung terdengar suara demonstran, “Tangkap Jenderal-jenderal busuk!” Wartawan yang sudah lelah menunggu kemungkinan adanya peristiwa kembali bersemangat. Serentak kami semua menghidupkan kamera foto maupun video.

Jumlah demonstran itu tidak banyak, hanya lima orang. Mereka tergabung dalam kelompok GGMHI dari Bandung. Dalam orasinya, mereka mengaku siap berdiri dalam barisan yang sama dengan KPK. Dukungan itu juga mereka tunjukan dengan menyumbangkan sejumlah uang ke dalam kotak donasi pembangunan gedung KPK yang tersedia di depan gedung.

Kelompok yang menggunakan baju hijau-hijau itu meminta untuk bisa bertemu dengan perwakilan KPK untuk memberi dukungan tertulis. Tapi pihak keamanan gedung mengatakan, pada saat itu tidak ada anggota KPK yang memiliki wewenang untuk melakukan hal itu. Sepertinya para demonstran itu dapat mengerti. Tak lama kemudian mereka pergi meninggalkan gedung, dan mengaku dalam beberapa hari ke depan akan datang lagi ke KPK untuk mendukung kinerja Abraham Samad dengan jumlah masa yang jauh lebih banyak.

Kelompok GGMHI dari Bandung

Para demonstran itu hanya berkunjung sebentar ke KPK, mungkin sekitar 15 menit saja. Sebagian wartawan merasa kecewa akan hal ini. Sepertinya wartawan-wartawan itu mengharapkan peristiwa besar yang akan terjadi, tapi justru sebaliknya. Aku mendengar salah seorang wartawan menggerutu dengan suara pelan, “gak jelas demonya.”

Raut lesu tampak lagi di wajah para wartawan. Karena mereka harus menunggu lagi momen yang keberadaannya tidak jelas akan terjadi atau tidak. Dari beberapa wartawan yang aku temui, mereka mengaku akan tetap bertahan. Alasannya belum mendapat izin pulang dari redaksi.

Tapi tidak sedikit juga dari mereka yang akhirnya meninggalkan gedung, karena sudah mendapat izin pulang. Meski begitu, mereka yang pulang harus ditertawai teman-teman yang lain. Kemudian yang pulang membalas dengan ejekan, “Silahkan lanjutkan penderitaan. Gue pulang.” Yang aku lihat, mereka yang pulang berasal dari media bermodal besar. Karena aku perhatikan, sebelum mereka pergi biasanya sudah datang terlebih dahulu wartawan yang menggantikan.

Para wartawan yang belum mendapat izin pulang akhirnya hanya bisa duduk-duduk di tangga depan gedung KPK. Yang bisa mereka lakukan untuk membunuh bosan hanya bersenda gurau dengan sesama wartawan, menggoda reporter cantik yang sedang bersolek memperbaiki make up-nya, atau mengotak-atik smartphone-nya masing-masing. Bisa aku bilang dalam situasi ini, wartawan yang bertahan sedang mengalami ‘mati gaya’. Kemudian yang aku dengar dari mereka yang bertahan, setidaknya akan merasa lebih baik jika dipindah ke medan liputan yang lain.

Beda lagi situasi di dalam gedung KPK. Keadaannya justru terlihat jauh lebih tidak bersemangat dibanding yang di luar gedung. Barangkali tenaga yang mereka punya sudah habis untuk menunggu dari pagi hingga sore. Sehingga mereka terpaksa tumbang dan melangsungkan mimpi di kantor para penangkap koruptor.

Wartawan yang lelah tidur di ruang lobby KPK

Ketika sore menjelang maghrib, wartawan yang bertahan semakin gelisah. Sepertinya rasa putus asa mulai hinggap di benak mereka. Wartawati yang awalnya terlihat cantikpun mulai tampak layu. Mungkin wartawati itu enggan lagi memperbaiki make up yang sudah pudar. Karena bisa jadi hari ini tidak ada live report. Para wartawan yang awalnya genit pun sudah tidak bersemangat lagi menggoda. Apalagi suara gemuruh mulai hadir di atas langit Jakarta. Bisa jadi sebentar lagi turun hujan, artinya para pelapor itu semakin khawatir bahwa tidak akan terjadi peristiwa apapun di KPK.

Betul saja, bunyi gemuruh memang berarti suatu pertanda. Setelah adzan maghrib, hujan turun dengan deras. Tapi akhrinya wartawan mendapat kepastian setelah seharian menunggu ketidakpastian. Di media sosial ramai dikabarkan, bahwa akan ada aksi damai pada Minggu pagi di Bundaran HI. Hal ini jelas merupakan jawaban untuk mundur dari medan peliputan di gedung KPK. Atau setidaknya bisa menjadi alasan ke redaksi bahwa di KPK saat itu memang tidak terjadi apa-apa, dan bisa minta pindah medan peliputan.

Turun ke lapangan dan mencari berita memang kegiatan yang menyenangkan. Tapi tidak selalu seperti itu. Salah satunya seperti yang terjadi sepanjang Sabtu di KPK. Wartawan dan wartawati yang betugas memantau aktifitas di gedung itu, terpaksa pulang tanpa membawa berita, kecuali informasi kesunyian gedung KPK di akhir minggu. Tapi setiap pengalaman pasti berharga, setidaknya kami semua sudah belajar bersabar dalam menanti suatu hal yang tidak pasti.

About the author

Avatar

Lulus Gita Samudra

Lulus Gita Samudra telah menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Pria kelahiran Jakarta tahun 1989 ini, juga turut aktif di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org. Sebelumnya ia pernah mengikuti workshop akumassa Depok pada tahun 2011. Kini ia sedang membangun sebuah komunitas berbasis massa di Depok, bernama Suburbia.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.