Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi perhatian insani…
Masih ingatkah dengan lagu keroncong terkenal Bengawan Solo? Itu adalah penggalan lirik lagu yang sangat terkenal hingga ke mancanegara. Sebuah karya dari Gesang, Sang Maestro keroncong kelahiran asli Solo. Ada yang berpendapat kalau bermain musik keroncong tetapi belum menyanyikan lagu Bengawan Solo, dianggap belum bermain musik keroncong. Mendengarkan lagu Bengawan Solo menggiring ingatan kepada sebuah Kota Budaya yang bernama Solo.
Julukan sebagai Kota Budaya sudah sangat akrab dan melekat lama di Solo. Tentu budaya yang dimaksud adalah Budaya Jawa. Sedangkan untuk memantapkan keberadaanya sebagai Kota Budaya, Solo memiliki slogan ‘Solo, The Spirit of Java’.
Sejarah Kota Solo atau disebut juga Kota Surakarta bermula ketika Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda J.A.B. Van Hohendorff untuk mencari lokasi Ibukota Kerajaan Mataram Islam yang baru. Setelah mempertimbangkan faktor fisik dan non fisik, akhirnya terpilih suatu desa di tepi Sungai Bengawan yang bernama Desa Sala (1745 M). Sejak saat itu Desa Sala berubah menjadi Surakarta Hadiningrat dan terus berkembang pesat hingga menjadi Solo yang sekarang.
Sebagai bentuk Kota Budaya, di Solo banyak digelar acara yang bernuansa budaya. Salah satu bentuk acaranya adalah kirab (pawai). Hal itu merupakan bentuk apresiasi terhadap budaya dan sebagai usaha nyata untuk pelestarian budaya. Banyak kirab yang di kenal di Solo, seperti Kirab Pusaka setiap Malam Satu Suro, Kirab Solo Batik Carnival (SBC), Kirab Perkawinan Putri Mangkunegara IX dan Kirab Perkawinan putri Pakubuwana XII Tejowulan.
Pada Rabu, 17 Februari 2010, di Solo kembali digelar sebuah kirab sebagai acara puncak perayaan hari ulang tahun ke-265 Kota Solo. Terhitung sejak hari jadinya pada 17 Februari 1745 atau apabila menurut penanggalan Jawa jatuh pada hari Rabu Pahing 14 Sura 1670. Kirab ini bernama “Boyong Kedhaton”.
Aku sudah mengetahui sejak beberapa hari sebelumnya kalau di Solo akan digelar kirab “Boyong Kedhaton”. Aku mendapat informasi ini dari teman-temanku. Mereka adalah teman waktu dulu di MTs (SMP) dan MAPK (SMA). Karena memang setelah lulus SD di Klaten, aku melanjutkan sekolah di Solo. Jadi enam tahun sudah aku pernah tinggal di sana. Sekarang, walaupun aku berada di Jakarta untuk melanjutkan sekolah di Perguruan Tinggi, aku masih sering berkomunikasi dengan teman-teman di Solo.
Saat ini kebetulan kuliah libur semester, jadi aku pulang kampung ke Klaten. Mengetahui informasi tersebut, maka hari ini aku memutuskan diri untuk pergi ke Solo untuk menonton kirab. Jarak antara Klaten dengan Solo tidak begitu jauh, kalau menggunakan sepeda motor hanya memerlukan sekitar satu jam perjalanan. Aku juga sudah membuat janji dengan Mufti Al Umam, seorang teman dari Jakarta yang merelakan dirinya pergi ke Solo untuk menonton kirab ini, karena rasa penasarannya yang sudah tidak tertahan lagi ketika aku menceritakan kepadanya kalau di Solo akan ada kirab “Boyong Kedhaton”. Umam adalah teman satu komunitas denganku di Jakarta yang bernama Komunitas Djuanda.
Pada pukul dua siang, walau terik matahari masih terasa begitu menyengat, namun tidak mengurangi semangat para peserta kirab yang sedang menyiapkan diri di Lapangan Kota Barat. Sebagian peserta sudah banyak yang berkumpul, sedangkan yang lainnya satu demi satu silih berganti berdatangan. Peserta kirab diikuti oleh para pelajar, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Komunitas-komunitas dan sanggar-sanggar seni di Solo, semuanya kurang lebih berjumlah 3.000 peserta.
Kirab “Boyong Kedhaton” sudah menjadi acara tahunan dan masuk dalam kalender acara pariwisata di Solo. Kirab ini bermaksud untuk menggambarkan kepindahan Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Solo sampai perkembangan pemerintahan sekarang. ‘Solo Kreatif, Berbudaya dan Sejahtera’ adalah tema yang diangkat tahun ini.
Maksud dari kirab ini sebenarnya bisa saja diketahui dari kata “Boyong Kedhaton” yang dipakai sebagai nama kirab. Awalnya aku hanya menduga-duga saja dalam hati. Namun untuk memastikannya aku bertanya kepada salah satu peserta kirab dari pasukan Kunta Rengga, yang anggotanya mayoritas sudah berusia tua. Melihat dari usianya menurutku mereka menguasi Tata Bahasa Jawa. Setelah melontarkan beberapa kalimat sebagai pembuka percakapan, aku langsung menuju pertanyaan inti,
“Pak, Boyong Kedhaton niku artosipun napa?” (Pak, “Boyong Kedhaton” itu artinya apa?).
“Boyong niku artosipun pindah utawi perpindahan, Kedhaton niku keraton” (Boyong itu artinya pindah atau perpindahan, Kedhaton itu keraton), jawabnya.
“Hmm..bilih kedhaton niku kata plesetan saking keraton, nopo pancen enten artinipun piyambak” (Hmm..kalau kedhaton itu kata plesetan dari keraton atau itu memang ada artinya sendiri), aku kembali bertanya.
“Bheten..niku pancen wonten artosipun piyambak” (Bukan..itu memang ada artinya sendiri), dia kembali menjawab.
Ternyata penjelasan arti kata “Boyong Kedhaton” darinya tidak jauh dari yang aku duga sebelumnya.
Sesuai jadwal yang sudah direncanakan dan telah diumumkan kepada masyarakat, maka Kirab “Boyong Kedhaton” segera dimulai sekitar pukul 15.00 WIB. Berangkat dari Lapangan Kota Barat dan akan berakhir di Balaikota Surakarta, melewati sepanjang Jalan Slamet Riyadi dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer.
Iring-iringan motor dan mobil polisi berjalan lebih dulu di depan bermaksud untuk membukakan jalan sebagai jalur berjalannya kirab, disambung di belakangnya mobil pemadam kebakaran yang menyemprotkan air ke aspal jalan raya untuk mendinginkan panasnya jalan. Baru setelahnya diisi oleh barisan pertama kirab yang membentangkan spanduk kirab. Di belakang barisan yang membawa spanduk kirab diisi oleh pasukan Nyoro Blonyo yang menjadi barisan inti, karena barisan inilah yang menggambarkan sebuah perpindahan keraton, terlihat dari kostum dan gerakan-gerakan yang diperagakan. Kemudian di belakangnya lagi disambung dengan barisan yang lainnya. Setiap kelompok barisan peserta kirab masing-masing melakukan pertunjukan di sepanjang jalan selama kirab berlangsung.
Ada empat replika berada pada barisan kirab, replika-replika yang harus ada dalam Kirab “Boyong Kedhaton”. Empat replika ini adalah simbol utama Keraton Kasunanan, yaitu Gunungan Perempuan dan Laki-laki, Panggung Songgobuwono, simbol Mahkota Keraton, dan simbol Canting Raja Mala. Miniatur dibuat oleh mahasiswa ISI Surakarta, terbuat dari berbagai bahan terutama gabus, dibangun di atas mobil.
Berada di antara barisan-barisan itu Walikota Surakarta, Ir. H. Joko Widodo atau yang akrab dengan sapaan Jokowi dan Wakil Walikota, FX. Hadi Rudyatmo dengan menaiki kuda sehingga terlihat begitu gagahnya. “Pak Jokowi…, Pak Joko, Pak Joko. Pak Rudy..” suara masyarakat yang langsung memanggil-manggil ketika barisan itu lewat di depan mereka. Dari atas kudanya yang gagah, panggilan-panggilan itu dibalas dengan lambaian tangan dan senyuman lebar dengan penuh ekspresi keceriaan
Ketertarikan masyarakat dengan digelarnya kirab ini sangatlah besar, menepis semua usia mulai dari balita sampai lansia menyaksikan kirab ini. Di sepanjang pinggir Jalan Slamet Riyadi penuh diisi oleh masyarakat yang menonton. Tidak hanya masyarakat Solo saja, banyak juga yang dari luar daerah Solo, bahkan aku melihat ada beberapa orang asing yang menonton. “Ayu-ayu yo sing nari,” (Cantik-cantik ya penarinya). “Wah..apik tenan,” (Wah..bagus banget). “He..kae lucu tenan,” (He..itu lucu banget). Suara-suara sebagai ekspresi kegembiraan keluar dari penonton kirab.
Aku melihat tidak begitu jauh dariku ada gerombolan tiga orang ibu-ibu di antara kerumunan penonton sedang asyik tertawa-tawa ria melihat aksi para peserta kirab. Nampaknya mereka hidup bertetangga dan berangkat bersama untuk menonton kirab. Aku mendekatinya dengan langsung melontarkan kata-kata apresiasi mengenai kirab ini, “Gayeng, nggih, Bu,” (Ramai, ya, Bu’). “Nggih rame banget,” (Iya ramai banget) ketiganya menjawab bersamaan. “Rasane pripun, Bu, nonton kirab ngeten niki?” (Rasanya bagaimana, Bu, menonton kirab seperti ini?), Aku menanyakan kesan mereka. “Wah..seneng tenan, seneng,” (Wah..senang banget, senang..) jawabnya.
Tidak hanya menghibur, acara seperti ini juga mendatangkan banyak keuntungan bagi para pedagang dan jasa penitipan motor. Banyak sekali pedagang yang menjajakan dagangannya di antara para kerumunan atau di pinggir-pinggir jalan. Padahal di hari-hari biasanya pedagang tidak sebanyak itu. Begitu juga jasa penitipan motor yang memperoleh omset lebih.
Ketika senja menjelang dan matahari sudah tidak tampak, Kirab “Boyong Kedhaton” telah selesai. Masyarakat berbondong-bondong meninggalkan area kirab dengan penuh kegembiraan. Acara kirab seperti ini sangatlah perlu untuk dijaga dan dilestarikan, karena selain menghibur acara ini juga memberikan pendidikan kesadaran akan budaya. Selamat ulang tahun Kota Solo ke-265. Maju terus dan tetap berbudaya.
Foto: Mufti Al Umam
“Ayu-ayu yo sing nari,”
pooowwwwlll..mam..
umam motonya pake apaan? kok burem ma pecah mam?..tapi rak popo… powl tenan lah…good team work..
buat mas eko:
umam pakai Nikon kesayangannya.
tapi, foto-foto yang di upload ini sebagian ada juga yang dariku, aku motonya cuma pakai kamera digital Spectra 5 mega pixel.
kok kebo bule gak ada….?
nice work…semangat ya mas..jadi kontributor kota kelahiranmu..solo klaten jogja dan sekitarnya…hehehe