Aku tidak tahu yang mana peserta upacara dan yang mana penonton upacara, sebab mereka semuanya memakai pakaian biasa (tidak berseragam). Beberapa orang ada yang mengenakan caping—topi yang biasa dipakai petani untuk pergi ke sawah—dan ada juga yang bertopi biasa di teduhnya pohon jati. Aku hanya mengira-ngira, mereka yang berada dalam barisan adalah peserta upacara sementara mereka yang berdiri di pinggir-pinggir lokasi upacara adalah penonton.
Saat itu, aku berada di belakang barisan ibu-ibu yang sedang mengikuti upacara untuk persiapan teatrikal. Sesekali tersenyum kecil menyaksikan jalannya upacara yang menurutku aneh.
Dalam rangka memperingati kemerdekaan Republik Indonesia yang ke enam puluh delapan, JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) menyelenggarakan Upacara Rakyat di Desa Brati, Kecamatan Kayen, pada tanggal 17 Agustus, 2013 kemarin. Upacara Rakyat ini dihadiri oleh berbagai perwakilan kabupaten, seperti Kabupaten Blora, Grobogan dan Rembang, dan beberapa desa sekitar Kecamatan Kayen dan Sukolilo. Aku salah seorang perwakilan dari Kabupaten Blora. Selain ikut merayakan kemerdekaan Indonesia, Upacara Rakyat ini juga sebuah aksi penolakan warga terhadap eksploitasi sumber daya alam yang hendak dilakukan di Pegunungan Kendeng.
Jam tujuh pagi, kami berangkat dari tempat menginap, Omah Kendeng, sebuah rumah belajar, yang lokasinya tidak begitu jauh dari lokasi upacara, sekitar 30 menit lamanya perjalanan. Kami berangkat dari Omah Kendeng menggunakan dua buah mobil yang sama-sama dari Blora. Aku berada di dalam mobil berwarna silver, satunya berwarna hitam. Aku mengantuk dalam perjalanan, sebab semalaman kurang tidur karena membahas dan berdiskusi soal susunan acara keesokan harinya dan mempersiapkan kebutuhan untuk teatrikal. Namun, aku tidak ingin tidur selama perjalanan menuju lokasi karena ingin menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Euforia kemerdekaan Republik Indonesia terlihat di pinggir jalan yang kami lewati, banyak sekali barisan anak-anak sekolah yang sedang berjalan. Sepertinya, mereka hendak mengikuti upacara di lapangan.
Ketika memasuki jalan pedesaan, kami disambut dengan hijaunya sawah yang ditanami jagung dan cabai, sekaligus juga oleh buruknya jalan menuju lokasi. Baru sekitar satu kilometer berjalan, kami memasuki perkampungan di mana di dinding setiap rumah ditempeli poster penolakan warga terhadap pendirian pabrik semen.
Upacara Rakyat ini sedikit berbeda dengan upacara kemerdekaan yang biasa dilaksanakan masyarakat Indonesia pada umumnya, yang biasa kuikuti waktu masih sekolah maupun yang disiarkan di televisi. Tidak ada drum band, tidak ada Paskibraka (tim pengibar bendera). Pengiring musik pengibaran bendera adalah anak-anak kecil dengan gamelannya, sedangkan Paskibraka atau tim pengibar bendera adalah ibu-ibu dengan pakaian seadanya atau pakaian biasa. Yang menarik, bendera merah putih tidak ditarik menggunakan tambang, seperti umumnya. Seorang warga yang ditugaskan memasang bendera menaiki sebatang bambu yang ditanam panitia, dengan bendera yang diikat di lehernya lalu diikat di atas batang bambu. Sedikit gamang aku melihatnya jika bambu patah atau rubuh, kasihan si pemasang bendera. Namun, ia menjalankan tugasnya dengan lancar dan selamat. Dan keunikan terakhir, upacara itu diadakan di lereng Pegunungan Kendeng, di antara pohon jati.
Dalam Upacara Rakyat kala itu, kami perwakilan dari Blora akan berteatrikal di tengah upacara yang sedang berlangsung, saat pembacaan Undang-Undang Dasar 1945. Aku sedikit khawatir atas apa yang akan kami lakukan, namun itu tidak mengurungkan niat untuk melakukannya. Yang aku khawatirkan dari teatrikal di tengah upacara memperingati kemerdekaan ini hanyalah jika kami diciduk aparat militer, karena mengganggu jalannya upacara. Namun, setelah aku mengetahui bahwa teatrikal juga bagian dari susunan acara, aku sedikit tenang.
Aku dan tiga temanku berperan sebagai pemodal yang membujuk rakyat untuk menjual tanahnya kepada kami. Aku merasa heran dengan keteguhan hati masyarakat yang menolak berapa pun uang yang akan kuberikan kepada mereka jika mereka mau menerima. Salah seorang warga, saat kubujuk berkata, “Tanah kami tidak akan kami jual, kami sudah kaya, kami tidak makan uang!” jawaban itu selalu kudapati saat membujuk warga lainnya. Walaupun hanya sebuah teatrikal, itu cerminan masyarakat yang sebenarnya, masyarakat yang benar-benar menolak eksploitasi terhadap Pegunungan Kendeng.
Aku tahu wacana pengeksploitasian Pegunungan Kendeng sejak tahun 2012, di saat-saat aku sedang berkumpul dengan kawan-kawan. Namun, wacana pengeksploitasian Pegunungan Kendeng itu sendiri sudah dimulai sejak tahun 2006, dimulai dari persitegangan antara warga Kecamatan Sukolilo dan Kayen yang menolak berdirinya PT Semen Gresik. Pada tahun 2010, selain mendapatkan perlawanan dari Warga, PT Semen Gresik juga mendapatkan kegagalan dengan adanya pembatalan ijin yang dikeluarkan Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu (Kayandu) Kabupaten Pati oleh MA (Mahkamah Agung).
Namun, perjuangan masyarakat Pegunungan Kendeng tidak berhenti di situ saja. Anak perusahaan PT Indocement, PT Sahabat Mulia Sakti (SMS) juga ikut andil dalam rencana pengeksploitasian Pegunungan Kendeng, yang rencananya akan didirikan di wilayah Kecamatan Kayen, Sukolilo dan Tambakromo. Pro-kontra yang terjadi antara warga yang menolak dan yang setuju meningkat. Pihak yang menolak adalah warga yang diwakili oleh para petani karena di Pegunungan Kendeng banyak sekali sumber mata air yang mengaliri sawah mereka. Selain untuk irigasi, sumber mata iar yang berada di Pegunungan Kendeng juga didayakan untuk memenuhi kebutuhan atau kegiatan sehari-hari yang menggunakan air. Sementara itu, pihak yang setuju diwakili oleh preman, orang bayaran dan perangkat desa. Perjuangan masyarakat Pegunungan Kendeng masih berlangsung sampai sekarang.
Upacara itu dimulai sekitar pukul sepuluh pagi dan selesai sekitar pukul setengah dua belas, dengan rangkaian acara yang sudah tersusun, yakni laporan komandan upacara kepada pemimpin upacara, pengibaran bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan UUD 1945 bebarengan dengan teatrikal, menyanyikan lagu mars perlawanan Pegunungan Kendeng (yang aku tidak hapal liriknya), dan pidato upacara, lalu penutupan upacara.
Seusai upacara, kami dan para panitia, membersihkan lokasi upacara dan membakar properti teatrikal. Salah seorang kawan yang ikut dalam teatrikal berteriak “Lestarikan Pegunungan Kendeng, Tolak Pendirian Pabrik Semen”. Lalu ia menjatuhkan properti-propertinya ke dalam bara api.
“Apakah yakin kita sudah merdeka?” tanya seorang kawan dalam perjalanan pulang seusai upacara. Kami pun terdiam beberapa saat tanpa memberi jawaban.
Aku berharap bahwa kenyataan, suatu saat nanti, mirip seperti teatrikal yang aku dan kawan-kawan lakonkan: pemodal akan membawa pulang kekecewaan dan kegagalan dalam rencana mereka untuk mengeksploitasi Pegunungan Kendeng.
“Lestarikan Pegunungan Kendeng, Tolak Pendirian Pabrik Semen” teriak salah seorang lagi yang sewaktu upacara juga mengikuti aksi teatrikal, dan sekali lagi menegaskan aspirasi warga Pegunungan Kendeng. Aku percaya, warga akan menang.
Maaf, jika diperkenankan saya mau mencari banyak tahu tentang tulisan-tulisan berkaitan dengan sedulur sikep dan data pendukungnya,untuk keperluan penulisan disertasi di UNS. bagaimana caranya. ini HP bisa dihubungi setiap saat. mohon dibantu.
Maaf, jika diperkenankan saya mau mencari banyak tahu tentang tulisan-tulisan berkaitan dengan sedulur sikep dan data pendukungnya,untuk keperluan penulisan disertasi di UNS. bagaimana caranya. ini HP 081329976511 bisa dihubungi setiap saat. mohon dibantu.