Jurnal Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Menggali Potensi Visual Lombok Utara: Catatan Lapangan yang Sayang Dibuang

Tanggal 8 Desember, 2015, sekitar pukul 20:15 WITA, Muhammad Sibawaihi (Siba) dan Manshur Zikri (Zikri) tiba di rumah—yang selama ini kami manfaatkan menjadi sekretariat pasirputih—orang tuaku, di Jalan Raya Pemenang, RT 06, Dusun Karang Subagan, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Siba adalah salah seorang anggota pasirputih. Sekitar tiga minggu sebelumnya, ia meninggalkan Lombok. Ia dan dua anggota pasirputih yang lain (Hamdani dan Ahmad Humaidi) berangkat ke Gorontalo menghadiri acara Lingkar Seni Celebes. Berbeda dengan Hamdani dan Ahmad Humaidi, yang harus tinggal dulu di Gorontalo barang dua atau tiga minggu lagi, setelah menyelesaikan tugasnya Siba melanjutkan perjalanan menghadiri Kongres Kesenian Indonesia III di Bandung. Sempat ia menghubungiku, mengabarkan bahwa nanti setelah acara kongres selesai, ia akan silaturahmi ke Forum Lenteng, Jakarta. Dengan demikian, Siba akan pulang ke Lombok bersama-sama dengan Zikri. Zikri sendiri adalah anggota Forum Lenteng yang memang sengaja diutus oleh Forum Lenteng untuk mendampingi Komunitas pasirputih melakukan riset terkait pelaksanaan program akumassa Chronicle di Lombok Utara.

12341407_10201114838830841_8326679690141683470_n

Saat mereka datang, aku dan teman-teman pasirputih sedang berada di lantai dua tempat sekretariat pasirputih berada. Aku sendiri tengah asyik membuka Facebook, sedangkan teman-teman yang lain—Imran, Ahmad Rosidi (Dhoom), Muhammad Rusli (Oka), dan Hadi—sedang menikmati makan malam. Mendengar ucapan salam, aku segera turun, dan kudapati mereka berdua tengah bersalaman dengan orang tuaku. Aku pun menyalami mereka dan mengucapkan selamat datang kepada Zikri. Ini kali pertamanya datang ke Lombok Utara. Tanpa basa-basi, Siba langsung mengajak Zikri makan malam. Aku pun segera membantu Inaq (Ibu—bahasa sasak.red) menyiapkan makan malam yang kebetulan sudah dibeli Imran.

Setelah makan malam, kami melibatkan diri dalam obrolan-obrolan hangat seputar kongres kesenian di Bandung, juga tentang sinema dan pilkada, serta diselingi dengan humor-humor kecil penghilang lelah. Kopi dan teh hangat menemani obrolan kami saat itu. Obrolan sempat terputus karena Siba dan Hadi pamit sebentar untuk menunaikan kewajiban mereka mempersiapkan TPS (Tempat Pemungutan Suara), karena mereka berdua merupakan anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) dalam perhelatan Pildaka Lombok Utara kali itu. Kami pun memaklumi kalau pembicaraan mengenai program baru dapat dilakukan setelah Siba dan Hadi kembali. Oleh karenanya, obrolan berlanjut tentang pengalaman Lokakarya Kurator yang diikuti oleh Dhoom di ruangrupa beberapa waktu yang lalu.

Sekembalinya Siba dan Hadi, kami semua pindah ke ruangan atas, yang saat itu menjadi markas pasirputih, tempat kami menjalankan aktivitas berkomunitas. Aku sempat berpikir kalau malam itu kami tidak memulai pembingkaian isu. Aku melihat raut wajah Zikri dan Siba sudah sangat kelelahan. Apalagi, esoknya Siba dan Hadi sudah harus menunaikan kewajibannya selaku KPPS. mereka harus sudah hadir di TPS pukul enam pagi. Ternyata malah sebaliknya, pembicaraan kami malah sedikit demi sedikit lebih serius mengarah pada program riset yang akan kami lakukan. “Sepertinya kita masih punya waktu, nanti jam 2 kita tidur,” tantang Siba menatap kami semua. Pembicaraan pun dimulai dengan gambaran program akumassa Chronicle.

Dari penjelasan Zikri yang kutangkap, akumassa Chronicle di Lombok Utara merupakan semacam pilot project yang akan dilaksanakan oleh pasirputih bersama Forum Lenteng selama satu tahun ke depan. Tapi tidak seperti kegiatan akumassa yang selama ini telah dilakukan, yang berdasarkan paradigma literasi media dengan metode dan pendekatan jurnalisme warga.

Proyek akumassa Chronicle berusaha merespon isu-isu lokal melalui pendekatan seni (visual). Tapi, dari segi dasar pemikirannya, proyek ini tetap memiliki prinsip yang sama, yaitu beranjak dari narasi-narasi kecil di sekitar masyarakat. Kegiatan ini melibatkan beberapa seniman yang berasal dari luar maupun wilayah lokal Lombok Utara. Oleh karenanya, untuk kelancaran proyek tersebut, kami mesti mempersiapkan beberapa hal, seperti melakukan riset terhadap isu-isu apa saja yang bereuang untuk ditanggapi atau memetakan seniman-seniman lokal yang bersedia bekerjasama. Selain itu, kami juga perlu mempersiapkan gedung (rumah) baru sebagai kantor dan beberapa perlengkapan kebutuhannya. Zikri saat itu juga tidak lupa menyampaikan capaian-capaian yang diharapkan dari akumassa Chronicle. Aku hanya bisa mengangguk mendengarkan semua itu. Sesuatu hal yang besar dan membutuhkan tanggung jawab yang besar, pikirku.

“Yang jelas, pasirputih harus mulai mikirin akan ngapain lima, sepuluh atau lima belas tahun ke depan,” tegas Zikri.

Pembicaraan berlanjut pada soal kemungkinan-kemungkinan isu yang dapat dibingkai ke dalam proyek akumassa Chronicle. Zikri sempat memberikan beberapa contoh peristiwa seni yang terjadi di lokasi dan waktu yang berbeda. Catatan sederhanya, bahwa kehadiran seni dalam hal ini akan bersifat tegangan, mencubit, menggelitik, bahkan bersifat spekulatif. Kami pun mulai membuat daftar beberapa isu yang paling mungkin untuk diolah sebagai bahan akumassa Chronicle. Semua item dalam daftar itulah yang di kemudian hari kami berikan kepada dua kurator, Otty Widasari dan Arief Yudi, untuk dibingkai menjadi tema kuratorial akumassa Chronicle di Lombok Utara.

Suasana diskusi kawan-kawan pasirputih pada siang hari di markas pasirputih yang lama.

Suasana diskusi kawan-kawan pasirputih pada siang hari di markas pasirputih yang lama.

Berdasarkan catatanku, beberapa isu yang kami dapatkan saat itu, antara lain Bale Beleq dan Lontar yang ada di Dusun Menggala, Desa Persiapan Menggala, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara. Dalam diskusi kami, Lontar yang ada di Bale Beleq akan sangat memungkinkan untuk direspon. Namun, yang menjadi pikiran kami adalah kemungkinan diperbolehkannya membedah lontar tersebut. Selanjutnya, keberadaan Masjid Kuno yang terdapat di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Lombok Utara (Bayan dan Kayangan). Menurutku, bangunan ini sangat mencolok karena arsitekturnya dan menjadi tempat bagi kegiatan religi dan adat masyarakat setempat. Pilihan terhadap Masjid Kuno ini juga tidak terlepas dari adanya promosi Wisata Religi oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Untuk yang satu ini, pertimbangan lokasi yang cukup jauh dari markas pasirputih sangat perlu diperhitungkan. Kemudian, ada ketertarikan juga bagi kami saat itu untuk mengangkat isu tentang sebuah bangunan bernama Islamic Center yang ada di Jalan Udayana, Mataram. Islamic Center yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi NTB di bawah kepemimpinan Dr. TGB. Zainul Majdi itu, konon, sangat megah. Bangunan tersebut bisa dikatakan bangunan terbesar yang ada di Lombok sekarang ini. Dalam diskusi, kami sempat menduga-duga, bahwa jangan-jangan penghargaan sebagai Daerah Wisata Halal yang sempat diterima Lombok dari salah satu negara Timur Tengah itu tidak terlepas dari keberadaan bangunan ini.

Kemungkinan lain yang kami tangkap, yaitu Pengrajin dan Penjual Kerajinan Bambu yang ada di Dasan Bara, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat. Jika kita melakukan perjalanan dari arah Mataram ke Lombok Utara atau sebaliknya, kita hanya akan menemukan para penjual kerajinan Bambu di wilayah ini. Di sepanjang jalan, sekitar satu kilometer panjangnya, kita akan menikmati berbagai macam bentuk barang kerajinan dari bambu, seperti kursi, meja, ranjang, sangkar, keranjang, mainan lampu dan masih banyak lagi yang lain. Menurut penuturan Dhoom ketika diskusi, salah satu daerah yang mendistribusikan bahan baku bambu tersebut berasal dari Lombok Utara. Dan yang menjadi konsumennya pun adalah beberapa kantor pemerintahan, hotel, restoran dan home stay yang ada di Lombok Utara.

Sampai di topik itu, Siba sudah tidak kuat lagi, rasa kantuk dan capek menggerayangi tubuhnya. Beberapa teman yang lain juga sudah pamitan pulang dan ada juga yang sudah tertidur Dari catatan Dhoom, berikut adalah beberapa isu yang potensial untuk dibingkai: Bale Beleq dan Lontar, Masjid Kuno, Pengrajin dan Penjual Kerajinan Bambu Dasan Bara, Islamic Center, Rudat, Topeng Cupak Gurantang, Wayang Gerung Lalu Nasip, Ukiran Kayu Sesela, Fenomena Plang Reklame Ira Property (Jual Tanah), Ampenan (Kota Tua), Sate Bulayak Udayana, Kecimol (Music Pop Culture).

Malam itu Zikri berharap di hari berikutnya akan ada perkembangan isu yang lebih menarik lagi. Mudah-mudahan kami juga bisa mengobservasi semuanya. Kami harus bisa mempertimbangkan waktu seefektif dan seefisien mungkin, mengingat jarak tempuh lokasi riset dan keterbatasan waktu yang dimiliki Zikri untuk berada di Lombok Utara saat itu, serta desakan untuk meninjau beberapa kebutuhan lain, seperti mencari rumah untuk kantor baru pasirputih. Esok harinya Siba masih ada pekerjaan yang harus dilakukan, tentu riset isu itu baru bisa dilakukan ketika kerjaan Siba sudah selesai. “Biasanya, siang, jam 2 atau 3, sudah selesai” jelas Siba.

Aku meminta kepada teman-teman agar keesokan harinya bisa didiskusikan dulu jadwal kegiatan, agar pekerjaan terarah dengan efektif dan efisien. Akhirnya, diskusi malam itu kami tutup.

***

Pada malam Sabtu, 11 Desember 2015, kami mulai membedah kembali kemungkinan isu yang bisa diangkat untuk proyek akumassa Chronicle. Obrolan tentang hal ini sempat terhambat karena kami mesti memastikan rumah yang akan dikontrak untuk menjadi kantor. Diawali dengan membedah Ampenan Kota Tua. Sebuah kota yang dikenal sebagai kota pelabuhan, kota perdagangan dan sempat menjadi pusat pemerintahan, bahkan sejak masa kolonial. Di kota ini, masih kita jumpai beberapa bangunan tua berarsitektur Eropa. Kota ini juga menyimpan banyak cerita jika kita kaitkan dengan banyaknya perkampungan warga, seperti kampung Arab, Melayu, Bugis. Bahkan, masih di dalam kawasan ini, kita bisa jumpai Kuburan Cina yang cukup luas. Kini, beberapa bangunan tua itu sudah tidak kita jumpai lagi. Misalnya, dulu di kawasan Simpang Lima terdapat gedung bioskop pertama di Lombok dan sekarang berubah menjadi bank. Sayangnya, sebagai kawasan bersejarah, Ampenan tidak begitu dilestarikan. Setelah pelabuhan berpindah ke Lembar, Pelabuhan Ampenan kini hanya menjadi tempat rekreasi pantai untuk masyarakat lokal. Sempat kondisi Ampenan saat ini direspon oleh salah seorang musisi bernama Kisi dalam album Jalan Harmoni.

Gedung Tempat Evakuasi Sementara (TES) Tsunami yang ada di Pemenang, Lombok Utara.

Gedung Tempat Evakuasi Sementara (TES) Tsunami yang ada di Pemenang, Lombok Utara.

Selanjutnya, dibuka kembali diskusi tentang Pengrajin Dan Penjual Kerajinan Bambu yang ada di Dasan Bara, Gunungsari. Bingkaian yang satu ini pun kami masukkan daftar untuk diobservasi berdasarkan asumsi-asumsi kami pada diskusi sebelumnya. Sepertinya, kecenderungan kami hanya merespon lokasi-lokasi yang jauh dari sekitar lokasi tempat pasirputih berada. Zikri membuat sebuah tawaran untuk merespon sebuah bangunan besar yang ada di jalur Bangsal. Tepatnya di Jalan Raya Bangsal, Dusun Karang Pangsor, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Posisinya berada di belakang Sekolah Dasar Negeri 8 Pemenang Barat. Bangunan besar itu bernama Tempat Evakuasi Sementara (TES) Tsunami. Dari informasi yang didapat Zikri dari internet, bahwa bangunan semacam itu hanya ada di tiga lokasi di Indonesia, salah satunya Pemenang, Lombok Utara. Bangunan yang sangat mencolok itu, kemungkinan besar, akan sangat bisa direspon dengan pendekatan seni. Terlebih jika kita bicara isu itu secara lokal, nasional, maupun global. “Mengenai perizinannya, itu menjadi tantangan bagi pasirputih,” tutur Zikri.

Isu tsunami memang bukan isu biasa, apalagi jika ditilik dari segi geografi wilayah Negara Republik Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia berada pada garis lempeng benua yang sewaktu-waktu keretakannya dapat memicu tsunami. Tsunami besar pernah melanda kawasan Aceh dan berdampak juga di beberapa negara Asia lainnya. Sebagai peristiwa alam yang memakan korban sangat banyak, peristiwa itu kemudian menjadi titik tolak perhatian bangsa-bangsa di dunia terhadap Indonesia. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia menjadi kawasan yang rentan bencana, termasuk tsunami. Berkaca dari hal tersebut, tentu keberadaan bangunan ini sangat penting, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak.

Mengingat waktu semakin larut, diskusi kami cukupkan. Sesuai hasil diskusi itu, yang pertama kali akan kami riset adalah Gedung Tempat Evakuasi Sementara (TES) Tsunami yang ada di jalur Bangsal. Kemudian, perjalanan akan kami lanjutkan ke Pengrajin dan Penjual Kerajinan Bambu Dusun Dasan Bara, Kecamatan Gunungsari. Baru setelah itu, dilanjutkan ke Ampenan Kota Tua. Siba menawarkan untuk tetap meriset Udayana. Mumpung satu jalur, Udayana juga memiliki banyak visual yang mungkin bisa kita gali lebih jauh. Di Udayana, terdapat Sate Bulayak, Monumen Bumi Gora dan Islamic Center. Jadi, kami semua sepakat dan kemudian mengagendakan perjalanan esok hari dengan memasukkan Udayana menjadi salah satu tujuan riset kami.

Pukul 10:00 WITA esok harinya, setelah sarapan dan menyiapkan perlengkapan, kami pun berangkat menuju lokasi-lokasi yang menjadi sasaran-sasaran riset kami. Aku sendiri membonceng Zikri, sedangkan Dhoom bersama Siba. Tujuan pertama adalah Gedung TES Tsunami. Markas pasirputih ke lokasi tersebut berjarak sekitar 1 kilometer. Sebenarnya, hari itu adalah kali pertama aku datang ke tempat tersebut. Biasanya, aku hanya sekedar lewat dan menyaksikannya dari jauh. Bangunan ini selalu mencuri pandanganku. Tapi sedikit pun tak terketuk untuk melihatnya lebih dekat…, entahlah! Bangunan itu tidak berada persis di pinggir jalan. Dari jalan raya, jarak ke bangunan itu sekitar 30-50 meter. Untuk mencapainya, kami melewati gang seukuran satu mobil. Gang itu langsung berada pada bagian depan bangunan. Akses lainnya ialah melalui gang kecil seukuran dua sepeda motor yang ada di sisi lain bangunan itu.

Menginjakkan kaki pertama kali di Gedung TES Tsunami, saya melihat banyak sekali pekerja. Gedung itu luas, besar dan berlantai empat. Tiang-tiang penyangganya pun besar-besar dan terlihat kokoh. Setelah memarkir sepeda motor, aku minta izin kepada salah seorang pekerja untuk naik ke lantai atas. Pekerja itu menyatakan tidak masalah dan mempersilahkan kami naik. Untuk naik ke lantai berikutnya, bisa melalui anak tangga dan jalan setapak yang dibuat mendaki. Yang aku lihat, jarak antara lantai pertama dengan lantai kedua sangat tinggi, berbeda dengan jarak antara lantai selanjutnya yang tidak terlalu tinggi. Kami naik ke lantai atas tidak melewati tangga karena terkunci, tapi jalur setapak tersebut. Waktu itu, aku sempat lihat beberapa orang—dari gelagatnya, sepertinya mereka pekerja di gedung itu—dengan cekatan naik ke lantai dua menggunakan sepeda motor.

Di lantai dua, kami dapati lantainya dalam kondisi becek. Mungkin disebabkan hujan deras yang mengguyur Pemenang semalam. Dari lantai dua itu, kami sudah bisa menikmati pemandangan sebagian wilayah kecamatan Pemenang. Aku sendiri menelusuri bangunan itu sampai lantai dua, sedangkan Siba, Zikri dan Dhoom melanjutkan hingga ke lantai paling atas. Aku hanya mengamati sekeliling bangunan dan sesekali memotretnya. Ketika turun, Siba menjelaskan kalau kondisi dinding bangunan itu di beberapa titik sudah tampak ada keretakan. Masih menurut Siba, kalau akses jalan ke lantai tiga sepertinya agak turun atau memang sengaja dibuat begitu. Yang jelas, dia begitu ketakutan ketika hendak melewatinya. Kemudian, kami berjalan-jalan di lantai dua tersebut. “Sepertinya ini bekas pengecekan kemarin, sesuai dengan pemberitaan di koran,” celetuk Zikri, menunjuk lubang-lubang yang terdapat pada tiang.

Kami sudah mendapatkan gambaran kondisi bangunan, selanjutnya memperkaya riset kami dengan wawancara. Di lantai paling bawah, Siba mewawancarai beberapa orang pekerja. Informasi yang didapat Siba cukup menarik. Orang-orang tersebut merasa tidak yakin akan ada tsunami di kawasan Pemenang ini. Mereka juga mempertanyakan kalau bangunan ini sudah jadi, akan digunakan untuk apa kalau tsunami belum datang. Aku sendiri juga sempat heran, beberapa masyarakat sempat bertanya kepadaku tentang bangunan itu dan kenapa dibangun di tempat itu. Hal ini mungkin disebabkan oleh minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak terkait. Setelah merasa mendapat informasi yang cukup, kami melanjutkan perjalanan ke tempat riset yang lain. Temuan-temuan yang sudah didapat kami himpun dulu untuk kami diskusikan nanti.

Jpeg

Sekitar pukul 11:45 WITA, perjalanan berlanjut menuju Dasan Bara, Gunungsari, tempat Pengrajin Dan Penjual Kerajinan Bambu. Lokasi tersebut berada di jalur ke Mataram, tepatnya setelah Pasar Tradisional Gunungsari kalau kita dari arah Pemenang melalui jalur Pusuk. Dari pasirputih, ke lokasi tersebut berjarak sekitar 25 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 20 menit menggunakan sepeda motor. Memang, tidak susah mencari tempat ini karena sangat mencolok dan satu-satunya di jalur tersebut. Kami berhenti di salah satu toko. Seorang ibu rumah tangga keluar hendak melayani kami. Bertindak seolah seorang pembeli, aku bertanya tentang harga-harga barang yang ada di tokonya. Sesekali aku mengulik beberapa informasi tentang sumber bahan baku, proses dan tempat pembuatan serta pendistribusian barang-barang dagangannya. Berdasarkan penjelasan ibu itu, bahan baku bambu tersebut berasal dari dua kabupaten, yaitu Lombok Utara dan Lombok Tengah. Masih menurut ibu itu, bahan baku bambu yang berasal dari Lombok Tengah lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan bambu Lombok Utara.

Ternyata, beberapa orang yang berjualan di area itu memiliki tempat pembuatan dan pengrajinan sendiri. Sedangkan si ibu yang kami ajak ngobrol itu sendiri memasok barang dari seorang pengrajin yang tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat ia berjualan. Konsumen dan langganannya adalah pengusaha-pengusaha, kantor pemerintahan, hotel dan termasuk juga beberapa pengusaha dari tiga Gilli (Gili Air, Meno dan Trawangan). Siba, Zikri dan Dhoom waktu itu berpencar mendatangi beberapa toko yang lain. Kami akan menampung informasi yang kami dapat masing-masing untuk didiskusikan kembali.

Menuju ke Ampenan lewat jalur Rembiga, tentu kita akan melewati Udayana. Akhirnya, Udayana-lah yang menjadi objek observasi kami sebelum ke Ampenan. Di jalur Udayana, kami mengendorkan laju sepeda motor sambil mengamati sekeliling yang tampaknya sepi. Kios-kios maupun warung yang berjualan Sate Bulayak banyak yang tutup. Kami berhenti sejenak, apakah akan meluncur langsung ke Ampenan atau mengamati yang lain. Jam sudah menunjukkan sekitar pukul 12:30 WITA. Perutku mulai keroncongan dan rasa haus menghantui. Kami pun melaju ke Monumen Bumi Gora yang masih satu kawasan, sekalian mencari makan. Di Monumen Bumi Gora, kami melihat-lihat relif-relif tentang peristiwa yang berkaitan dengan sosialisasi program pemerintah di masa lalu yang melatarbelakangi pembangunan monumen itu. Berdasarkan apa yang tertera di relif, dapat diketahui bahwa Monumen Bumi Gora dibuat sebgai bentuk terhadap keberhasilan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat di masa itu dalam menyukseskan Program Padi Gogo Rancah.

Di sekitar monumen, banyak kita jumpai warung-warung yang berjualan nasi, sate bulayak, minuman ringan. Biasanya, pada sore dan malam hari, apalagi hari Minggu pagi, masyarakat tumpah-ruah di area itu. Ada yang nongkrong, bermain odong-odong, sekedar berwisata kuliner, atau ada juga yang berolahraga. Kami duduk di salah satu warung yang cukup dekat dengan Monumen Bumi Gora. Sembari menunggu Sate Bulayak yang kami pesan, kami mencoba mengobrolkan kemungkinan-kemungkinan isu dan potensi visual yang kami dapat dari beberapa lokasi yang sudah kami kunjungi. Obrolan tetap berlanjut sambil menikmati menu kami siang itu.

Dhoome ketika sedang istirahat di salah satu warung sate bulayak di sekitaran Monumen Bumi Gora.

Dhoome ketika sedang istirahat di salah satu warung sate bulayak di sekitaran Monumen Bumi Gora.

Gemuruh dari arah Timur terus bersahutan, awan gelap mengarak terbawa ke arah Mataram. Hujan kemudian turun cukup lebat, kunjungan ke Ampenan terhambat. Jalur kami berubah menuju ke rumah Mas Roni, dan kami ngobrol di sana sampai waktu mendekati gelap. Karena biasanya pada malam Minggu pasirputih mengadakan program Pekan Sinema, agenda observasi ke Ampenan pun batal.

Perjalanan kami berakhir dengan obrolan di tempat Iswandi bekerja.

Perjalanan kami berakhir dengan obrolan di tempat Iswandi bekerja.

Minggu sore, 12 Desember, 2015, perjalanan riset kami lanjutkan ke Gili Trawangan. Obrolan kami di atas boat mengarah ke sebuah bangunan di tengah laut. Bangunan pondok itu merupakan tempat penakaran mutiara. Jatul menceritakan pengalaman kakaknya yang bernama Iskandar yang bekerja di tempat itu sebagai seorang penjaga. Berdasarkan penjelasan Jatul, memasuki tempat itu cukup sulit bagi orang luar dan mesti punya akses dengan orang di sana, paling tidak dengan pekerjanya. Oleh karenanya, isu ini pun kurang menjadi target observasi utama kami. Di Trawangan, kami tidak mendapatkan sesuatu yang bisa didiskusikan. Berputar-putar dari sore hingga malam membuat kami singgah di sebuah Home Stay “Tanah Qta”. Di sana kami bertemu dengan Iswandi, seorang teman dari Karang Gelebeg yang bekerja di sana. Obrolan kami pun mengarah pada pengalaman dia dan teman-temannya sebagai pekerja di dunia pariwisata Gili Trawangan.

Demikianlah catatanku berdasarkan observasi awal yang kami lakukan sebelum menjalankan proyek akumassa Chronicle. Meskipun tidak semua dari isu itu menjadi perhatian kami ketika proyek ini berjalan, menurutku catatan ini tetap penting untuk memperkaya wawasan dan pemetaan kami mengenai Lombok.

About the author

Avatar

Muhammad Gozali

Dilahirkan di Karang Gelebeg pada tahun 1983. Ia tinggal di Karang Subagan, Desa Pemenang Barat, Lombok Utara. Ia kuliah di IAIN Mataram jurusan Syari’ah angkatan 2002. Sekarang dia menjadi Direktur Umum pasirputih, organisasi berbasis di Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, yang fokus pada isu sosial dan budaya.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.