Padangpanjang, Sumatera Barat

Mengenal Guru Rusdi

Aku mengenal sosok seorang pak Rusdi pada tahun 2007 dari seorang ibu-ibu yang duduk di sampingku saat dalam perjalanan dari Padangpanjang ke Padang, di atas mobil bus antar kota. Di antara deru mesin mobil yang naik turun jika berhenti, teriakan stokar (kondektur) mencari penumpang, suara-suara kecil yang tidak jelas siapa orangnya, dan sesekali pedagang yang menjajakan jualannya di atas mobil bercampur padu dengan suaraku saat ngobrol dengan ibu tersebut yang sangat kental logat Padangnya.

Guru Rusdi

Guru Rusdi

Aku : Maap buk.. nio pai kama? (maaf, Bu, hendak pergi ke mana?)

Ibu: Ibuk nio ka Padang, anak surang nio kama? (Ibu mau pergi ke Padang. Anak sendiri mau ke mana?)

Aku : Samo buk, awak nio ka Padang jo. Ibuk dima Padangnyo? (sama, Bu. Ibu Padang-nya dimana?)

Ibu : Jauh nak, di daerah Bunguih. (Jauh, Nak. Di daerah Bunguih)

Aku: Ooo.. Tu tadi ibuk darima? (Ooo…ibu tadi dari mana?)

Ibu : Pulang ngaja.. (Pulang mengajar)

Aku : Dima tu buk? ( Di mana, Bu?)

Ibu: Di SMP Padangpanjang.

Aku : Uih..jauh e lai..satiok hari tu ibuk barulang Padang-Padang Panjang-Padang (Wah…jauh sekali. Jadi setiap hari Ibu bolak balik Pandang – Padang Panjang?)

Ibu : Iyo nak, tapi dek ibuk alah biaso lah cukuik lamo jo lah ibuk barulang. Lai kiro-kiro kalau ndak lupo ibuk..alah ampiang 20 tahun. (Iya Nak, tapi karena Ibu sudah biasa, cukup lama juga ibu pulang pergi. Kira-kira kalau Ibu tidak lupa hampir 20 tahun).

Aku : Alah lamo jo ma buk. (Wah, sudah lama juga ya Bu.)(mengangguk-ngangguk sambil tersenyum melihat Ibu).

Kemudian kami terdiam sesaat. Aku yang baru belajar tentang filem dokumenter pun tergerak untuk membuat film dokumenter tentang perjalanan seorang guru. Maka aku pun mengajak Ibu itu mengobrol kembali.

Aku : Buk..perjalanan ibuk jadi sorang guru penuh tantangan jo ndak. Satiok hari tu a.. ibuk pulang baliak naik bus antar kota, mode dakek se dek ibuk e..Padang-Padang Panjang. Wak tertarik jo kisah ibuk, kalau wak buek film dokumenter tentang ibuk. Baa kiro tu, lai namuah ndak ibuk? (Bu, perjalanan ibu menjadi seorang guru penuh tantangan, tidak? Setiap hari ibu pulang perginaik bis antar kota, seperti dekat saja, Padang – Padang Panjang. Saya tertarik pada kisah Ibu, kalau saya buat filem dokumenter tentang Ibu, bagaimana kiranya, apakah Ibu bersedia?)

Ibu : Hmm..(tersenyum melihat saya). Kalau jo ibuk..namuah-namuah se..!! Tapi ado nan labih mantap lai, kalau adiak nio jo buek film dokumenter tentang sorang guru. (Kalau Ibu sih bersedia-bersedia saja. Tapi ada yang lebih menarik, kalau Adik ingin membuat filem dokumenter tentang seorang guru.

ss

data riwayat hidup pak Rusdi

Berawal dari obrolan itulah aku mengenal tentang seorang guru yang tetap semangat menjalani hidupnya meski ia bertumpu di atas kursi roda. Didampingi dua orang temanku, Rudi Rahman Firdaus dan Andri Maijar, aku pun memuaskan rasa penasaranku untuk bertemu beliau. Pak Rusdi namanya. Ia mengajar di SMAN 1 Singkarak. Setiba disana kami diantar oleh seorang murid ke kediaman pak Rusdi, yang terletak di dalam sekolah. Tepatnya di sebelah lapangan basket. Dari kejauhan aku melihat seorang lelaki paruh baya dengan seragam pegawai negeri pada umumnya, ia tampak lelah duduk di atas kursi roda di depan pintu rumahnya. “Bang, nan tu pak Rusdi” (Bang, itulah Pak Rusdi), ujar murid yang mengantar kami. Kami bertiga saling pandang, dan di dalam hati berbisik “ternyata sosok pak Rusdi itu benar adanya, tidak hanya sekedar cerita”. Tapi aku sedikit kecewa karena sebelum kesana imajinasi ini membayangkan sekolah tempat ia mengajar, dengan bangunannya masih dari kayu, meja-mejanya banyak yang rusak, dan sekolah sangat parah sekali sehingga menambah nilai dramatik jika dibuat jadi sebuah film dokumenter. Tapi nyatanya tidak seperti itu, sekolahnya sangat bagus dan memiliki lapangan basket yang cukup besar.

pak guru Rusdi didampingi muridnya

pak guru Rusdi didampingi muridnya

Pertemuan pertama dengan pak Rusdi terasa kaku. Pembicaraan kami terasa seperti sedangkan melakukan interview, satu pertanyaan dijawab dengan satu jawaban. Hari itu kami pulang dengan membawa beberapa catatan kecil tentang pak Rusdi. Keesokan harinya kami tidak kembali kesana, karena ujian akhir semester hanya tinggal hitungan hari.

Setahun kemudian barulah ingatan tentang pak Rusdi muncul lagi di benakku. Tepatnya pada libur semester di tahun 2008. Aku mengajak dua orang temanku, Harryaldi Kurniawan dan Karvov untuk membuat film dokumenter, mulanya mereka memiliki ide masing-masing. Namun setelah aku jelaskan tentang sosok Pak Rusdi, keduanya tertarik dan kami sepakat melakukan riset selama seminggu, setelah itu baru produksi. Kami pun sepakat untuk menanggung biaya produksi bersama.

Riset yang kami lakukan tidak hanya di sekolah dan kediaman beliau saja, tapi hingga ke rumah orangtua Pak Rusdi di Desa Batu Payung Kota Payukumbuh. Mengingat biaya kesana cukup besar, di Batu Payung kami riset sehari dan besoknya langsung produksi. Disana kami tinggal dirumah seorang teman sekampus bernama Souval yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah orangtua Pak Rusdi.

Tapi karena keterbatasan biaya, filem dokumenter tentang pak Rusdi baru selesai 60% pada tahap produksi. Meskipun tidak mencapai maksimal, kami banyak mendapat pelajaran yang sangat berharga tentang arti sebuah kehidupan dari perjalanan pak Rusdi hingga saat ini. Aku merasa beruntung dapat mengenal dan berbagi cerita tentang sosok pak Rusdi, salah satunya dengan membuat tulisan ini. Aku berharap kegigihan pak Rusdi dalm menjalani hidupnya bisa menjadi inspirasi, terutama untuk para guru yang saat ini banyak mengajar sebatas tugas saja, tidak dari nuraninya.

pak Rusdi sedang mengajar diatas kursi rodanya

pak Rusdi sedang mengajar diatas kursi rodanya

Muhamad Rusdi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Rusdi. Lahir pada 9 Oktober 1959 dari pasangan bapak Suhar Datuk Ampang dan Ibu Zubaidah di desa Batu Payung Kota Payukumbuh. Sejak kecil Pak Rusdi yang sangat dekat dengan ibunya ini bercita-cita untuk menjadi seorang Insinyur Pertanian, tapi setelah tamat di SMUN 1 Payukumbuh ia malah melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Ikip Padang Jurusan Kimia.

Pak Rusdi lahir sebagai anak yang sehat, namun ia terjatuh saat sedang asyik bermain voli, semasa beliau SMA. Rasa sakit dan sedikit nyeri di kakinya tidak ia perdulikan dan tetap bermain voli.

Beberapa bulan setelah ia menjadi mahasiswa, tiba-tiba kakinya terasa berat untuk berjalan. Pak Rusdi mulai khawatir dan meminta orangtuanya untuk membawanya berobat. Setelah mencoba berbagai pengobatan, penyakitnya tidak sembuh juga. Pada saat kuliah ia harus memakai tongkat untuk berjalan, namun karena semangat hidupnya beliau mampu menyelesaikan kuliahnya selama 4 tahun dengan predikat sangat baik.

Setelah lulus ia diterima mengajar di SMUN 1 Singkarak sebagai guru honorer, meskipun masih menggunakan tongkat. Pada tahun 1986 SK-nya keluar sebagai guru kimia SMUN 1 Singkarak dan resmi menyandang status Pegawai Negeri Sipil (PNS).

diantar pulang setelah mengajar

diantar pulang setelah mengajar

Saat menjadi guru ia tinggal di rumah petak di samping sekolah tempat ia mengajar. Cukup lama pak Rusdi berjalan menggunakan tongkat, dan saat itu ia sudah mengenal seorang janda yang akrab dipanggil Cek Lok (bibi yang baik), sebutan yang biasa dipakai untuk adik dari orang tua di Sumatera Barat. Beliau lah yang banyak membantu pak Rusdi, misalnya dalam urusan memasak. Semakin lama penyakit pak Rusdi semakin parah hingga kakinya tak dapat digerakkan. Akhirnya ia memakai kursi roda yang diberikan oleh Bapak dan Ibu Gubernur Sumatra Barat yang dahulu mejabat sebagai Bupati Kabupaten Solok. Karena Pak Rusdi tidak bisa lagi berjalan dengan tongkatnya ia disediakan tempat tinggal di dalam sekolah, dengan fasilitas komputer dan internet. Sekarang Cek Lok tidak hanya mebuatkan makanan, tapi juga mencuci semua pakaian pak Rusdi. Meski Cek Lok setiap bulan di beri uang oleh Pak Rusdi tapi mereka tidak pernah mengatakan kalau itu adalah tanda balas jasa, melainkan karena sudah seperti keluarga, ujar mereka di tempat berbeda. Biaya sekolah anak Cek Lok pun banyak dibantu oleh pak Rusdi, dan sekarang salah satu anak laki–laki Cek Lok sudah menjadi seorang polisi.

Pak Rusdi yang saat ini berumur 49 tahun belum pernah menikah, sudah banyak orang yang memintanya untuk diperistri tapi pak Rusdi tidak mau, karena ia tak mau menjadi beban bagi siapapun yang menjadi istrinya.

Kertebatasan fisik pak Rusdi tidak mematikan semangat, kreatifitas, dan dedikasinya sebagai seorang guru. Saat mengajar ia dijemput oleh siswanya, setelah selesai ia diantarkan kembali dan itu dilakukan bergantian oleh semua siswanya. Sebelum ia mengajar, papan tulis diturunkan terlebih dahulu dan diletakan di atas kursi. Suaranya sangat pelan, tapi tidak satupun siswa yang ribut dan pelajaran yang diberikan dapat dengan baik dimengerti oleh semua siswanya. Ia juga sering diikutsertakan dalam setiap kegiatan guru yang dikirim oleh pihak sekolah. Pak Rusdi adalah aset SMAN 1 Singkarak meskipun dalam keadaan lumpuh. Tapi nyatanya pak Rusdi berhasil membawa dua orang siswanya menang dalam lomba olimpiade kimia tingkat propinsi.

Setiap hari Pak Rusdi harus mandi dengan air hangat, kakinya pun pernah tersiram air panas pada 2008 silam, beruntung tidak begitu. Jarak antara kamar tidur dengan kamar mandi sangat dekat, tapi bagi Pak Rusdi cukup jauh. Ia tidak mungkin membawa kursi rodanya ke luar masuk kamar mandi karena ruangannya tidak teralu besar, sehingga ia dibuatkan kayu panjang yang ditempelkan ke dinding oleh penjaga sekolah agar pak Rusdi dapat menompang tangan pada saat berjalan.

kaki pak Rusdi yang tersiram air panas

kaki pak Rusdi yang tersiram air panas

Pak Rusdi selalu bangun sebelum adzan subuh, dan mempersiapkan diri untuk ibadah shalat subuh. Ibadah shalatnya tidak pernah ia tinggalkan. Selesai shalat terkadang ia membaca buku, browsing internet, memeriksa tugas–tugas, ulangan harian siswanya, atau mempelajari bahan pelajaran yang akan ia ajarkan, dan mencari hal yang baru tentang perkembangan kimia.

Di hari libur Pak Rusdi sering dikunjungi oleh siswa–siswanya. Mereka bersuka ria sambil mengulang pelajaran sebelumnya. Saat malam hari terkadang pak Rusdi ditemani oleh teman sesama guru. Mereka juga sering menginap di rumah pak Rusdi. Pak Rusdi memang sebatang kara tanpa keluarga, namun hidupnya tak pernah sepi dari semangat dan kasih sayang oarang-orang terdekatnya.

David Darmadi

 

About the author

Avatar

David Darmadi

David Darmadi lahir pada tanggal 7 Desember 1987 di Padang. Kuliah di Institut Seni Indonesia Padang Panjang sejak tahun 2007 dan merupakan salah satu pendiri komunitas Sarueh Padang Panjang. Dia mulai menulis dalam jurnal akumassa.org pada Februari 2009. Ia juga aktif dalam berbagai macam workshop dan pameran video, baik nasional maupun internasional.

5 Comments

  • Kisah Pak Rusdi adalah dari guru untuk guru. Agar dapat menjadi contoh untuk semua guru-guru sekolah yang memiliki kecukupan fisik untuk dapat mengajar bukan hanya sebatas tugas atau profesi saja tapi benar-benar dari dalam hatinya dengan memiliki kesadaran penuh bahwa mereka adalah seorang pendidik,dan sebagai pencerdas bangsa. Karena ketika saya masih SMA banyak sekali hal seperti itu ditemui, banyak mereka yang tidak masuk saat jam pelajaran, sehingga banyak pelajaran yang tertinggal dan penggantinya mereka malah membuat les sendiri di luar jam sekolah. Sebenarnya itu tidak apa-apa dan sudah jadi tanggung jawabnya akan tetapi satu orang murid dikenakan iyuran sebanyak seribu rupiah. Iyuran ini tidak wajib dan tidak sunah, apa ya..? “wanah” mungkin ya..hahaha..
    Wajib atau sunah semua siswa tidak ada satupun yang tidak membayar.
    Semoga saja hal itu tidak terjadi lagi untuk ke depannya.

  • wow, guru kimia aku ini gan. aku sempat dorong kursi rodanya waktu masih bersekolah di sma 1 singkarak. thx apresiasinya.

  • walaupun hidup bapak seperti itu kami bangga sekali punya guru seperti bapak.

    semangat super untuk bapak.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.