Jurnal Kecamatan: Serang Kota: Serang Provinsi: Banten

Menelusuri Sejarah Bioskop Pelita

Pelita Billyard yang terletak di samping bekas bangunan Bioskop Pelita
Sudah dua hari aku lakukan perjalanan untuk memenuhi rasa ingin tahu aku  tentang keberadaan bangunan kuno yang pernah difungsikan sebagai salah satu bioskop tempo dulu di Serang. Bioskop Pelita namanya, tidak banyak orang mengetahui tentang sejarah seluk-beluk tentang keberadaan bioskop ini.

Pelita Billyard yang terletak di samping bekas bangunan Bioskop Pelita

Semua seakan telah termakan oleh waktu sehingga larut dalam sebuah kenangan penduduk sekitar yang hanya mengetahui bahwa di daerah Pasar Lama ada bangunan yang pernah difungsikan sebagai bioskop yang bernama Bioskop Pelita.

Setibanya aku bersama temanku, Ageung, untuk mencoba mengetahui bagaimana seluk-beluk tentang Bioskop Pelita ini, aku coba untuk mampir di kios tempat pedagang aneka makanan khas Banten dan juga seorang penjual kelapa parut. Kang Budin, itulah nama seorang penjual kelapa parut yang sudah berjualan kurang lebih sekitar 3 tahun di lokasi Pasar Lama tersebut.

Kang budin dengan ramahnya mau menyempatkan berbincang-bincang dengan kami. Cukup banyak yang kami perbincangkan, sempat aku bertanya tentang bangunan yang ada di sekitar Pasar Lama yang pernah difungsikan sebagai bioskop. Namun, karena kurangnya pengetahuan Kang Budin tentang Pasar Lama tempo dulu, ia pun mencoba mengantarkan saya dan Ageung untuk menemui seorang yang mungkin bisa menjelaskan secara detail tentang bangunan bekas Bioskop Pelita. Saat ini bangunan tersebut sudah dijadikan ruko-ruko besar, yang tertinggal hanyalah sebuah bangunan yang ada tepat di samping bangunan bioskop tersebut, sebuah tempat arena bermain billiard, yang bernama Pelita Billyard. Aku sempat bingung dengan kata ‘billyard’ pada nama itu, karena setahuku penulisannya adalah ‘billiard’ dalam bahasa Inggris dan ‘bilyar’ pada bahasa Indonesia.

Semakin tinggi rasa penasaran aku dan Ageung, sampai-sampai  mengantarkan kami untuk mencoba memasuki arena Pelita Billyard untuk coba mengupas tentang bangunan bekas Bioskop Pelita, yang tepat berada di sebelah Pelita Billyard. Amat tradisional bermain billiard di sini, yakni menggunakan koin. Satu koin dijual Rp. 1.500,-, ini pun sudah mengalami kenaikan harga, sebelumnya hanya berharga Rp. 1.000,-/koin untuk satu kali permainan. Karena keterbatasan waktu, kami hanya mencoba bermain 5 koin, karena sebenarnya tujuan utama kami adalah untuk mengetahui  seluk-beluk Bioskop Pelita dan juga sejarah berdirinya Pelita Billyard tersebut.

Pemberitahuan kenaikan harga koin Pelita Billyard

Pemberitahuan kenaikan harga koin Pelita Billyard

Pertama kali aku dan Ageung memasuki area Pelita Billyard, terlihat banyak sekali meja billiard yang cukup terawat. Mungkin ini semua dikarenakan masih banyaknya orang yang mau bermain billiard di sini,karena harganya pun murah. Ada sekitar 16 meja billiard, kantin yang seadanya, dan toilet yang sangat kumuh sekali untuk ukuran toilet umum. Tidak banyak fasilitas yang dapat dinikmati dalam Pelita Billyard. Saat mencoba bermain billiard dengan Ageung, nampak jelas kalau kehidupan di dalam Pelita Billyard pada siang hari sangat sepi, ditandai dengan hanya 2 meja billiard saja yang terpakai pada saat itu.

Interior Pelita Billyard

Interior Pelita Billyard

Awalnya aku ragu untuk melakukan perekaman video di dalam area Pelita Billyard ini, namun ketika aku mencoba memulai merekam dengan handycam yang aku bawa, ternyata langsung mendapat respon oleh orang-orang yang bekerja di Pelita Billyard. Respon yang aku terima positif, akhirnya para pegawai di Pelita Billyard pun mau diwawancarai dan tidak masalah dengan kamera video di tanganku. Menurut mereka, dahulu ruang manajer di Pelita Billyard merupakan loket Bioskop Pelita. Namun, informasi itu juga belum terlalu jelas sumbernya.

Aku juga berbincang dengan seorang pegawai, yang menyebut namanya Riska, usianya sekitar 20 sampai 23 tahun. Dikatakannya bahwa, ia sudah bekerja sekitar 5 tahun di Pelita Billyard. Dia bekerja semenjak lulus dari SMA. Diakuinya bahwa pekerjaan sebagai wasit di Pelita Billyard merupakan suatu tuntutan ekonomi yang harus Riska lakukan, untuk dapat hidup lebih layak. Aku coba tanyakan penghasilannya, dan dikatakannya, kalau sebenarnya gaji pegawai di Pelita Billyard tidak besar, tapi para pekerja dapat  mempunyai tambahan lain-lain.

Para pegawai yang mengobrol denganku di kantin Pelita Billyard

Para pegawai yang mengobrol denganku di kantin Pelita Billyard

Ketika aku tanyakan tentang pendidikannya yang harus terputus karena tuntutan ekonomi, dijelaskannya bahwa ia masih memiliki harapan besar untuk dapat melanjutkan ke program pendidikan yang lebih tinggi, namun mau dibilang apa lagi, perkembangan jaman yang menuntut mahalnya pendidikan, dan semakin bertambahnya kebutuhan, sehingga membuat Riska tidak bisa mendapat pendidikan lebih tinggi lagi. Riska pun dengan candanya mengatakan bahwa pekerjaan yang saat ini ia geluti bukanlah suatu pekerjaan, melainkan kuliah di Pelita Billyard. Aku pun mencoba meneruskan candaan Riska ini, aku coba tanyakan jurusan apa yang diambil, ia pun menjawab “Kalau siang jurusan Ekonomi, kalau malam jurusan Biologis.”

Aku sempat bingung dengan jawabannya, namun ketika aku coba mengerti lebih jauh lagi, barulah aku sadar apa yang dimaksud Riska sebagai jurusan Biologis. ‘Kehidupan malam’ itu juga yang membuat penghasilan para wasit di Pelita Billyard dapat bertambah.

Jawaban canda dari Riska itu membuat percakapan aku dengan para pegawai Pelita Billyard semakin cair. Kami pun larut dalam tawa dan canda, walaupun sebenarnya aku yakin hati Riska menjerit. Menjerit untuk katakan, di mana pemerintah di saat Riska ingin melanjutkan pendidikan.

Ketika aku asyik berbincang dengan para pegawai, tenyata Ageung pun asyik bermain billiard dengan seorang wasit, sambil mengajarkan Ageung bermain billiard. Ternyata Ageung baru pertama kali bemain billiard, wajar saja kalau tangannya terlihat kaku. Ia pun berkata kepadaku, “Ageung bisa bermain billiard, tapi di handphone…” Aku pun tertawa mendengar jawaban Ageung.

Khasan, salah satu wasit di Pelita Billyard

Khasan, salah satu wasit di Pelita Billyard

Saat di Pelita Billyard aku juga sempat menemui seorang laki-laki yang merupakan pegawai di Pelita Billyard. Ketika aku menanyakan siapa namanya, ia menjawab bahwa ia memiliki banyak nama, tergantung tempat. Seorang laki-laki yang memiliki sifat agak keperempuanan ini mengatakan namanya bisa jadi Sauna, bila sedang di Salon, Dora, ketika di Pelita Billyard, dan juga bisa Assen, bila sedang ada di luar. Akhirnya dia mengakui kalau nama sebenarnya adalah Khasan. Sungguh menarik dan menjadi sebuah hiburan tersendiri saat berbincang dengan Khasan tentang namanya.

Khasan yang melihat aku menggenggam sebuah kamera video meminta kepadaku untuk memberinya sebuah pekerjaan di bidang perfileman. Ia mengaku ingin sekali bekerja sebagai bintang filem. Ia pikir aku bisa mengorbitkannya sebagai aktor, hanya karena melihat aku memegang sebuah handycam. Mungin disangkanya aku adalah seorang pencari bakat.

Fenomena ini sangat menarik bagiku, bahwa sebenarnya mereka-mereka yang bekerja di Pelita Billyard ingin juga mencari pekerjaan yang lebih layak, seperi yang aku lihat terhadap Khasan, betapa bersungguh-sungguhnya ia, hingga bersedia bekerja di rumahku terlebih dahulu, sambil menunggu panggilan sebuah produksi filem. Semua ini kembali lagi pada masalah minimnya pengetahuan dan pencapaian pendidikan yang terhenti, yang akarnya adalah masalah ekonomi.

Sesudahnya aku dan Ageung bermain billiard di Pelita. Kami coba melanjutkan perjalanan untuk segera menuju Pasar Loak yang berada tidak jauh dengan Pelita Billyard. Siapa tahu kami bisa mendapat sedikit cerita tentang Bioskop Pelita. Di areal pasar ini, banyak sekali barang bekas yang dijual seperti; baju-baju bekas, sepatu bekas, jam bekas, kabel-kabel bekas, dan barang-barang lain yang sebenarnya sudah tidak layak untuk dipakai, tapi dapat ditemui di Pasar Loak ini.

Kalau kita lihat sekilas, mungkin kita akan berpandangan betapa tidak pentingnya Pasar Loak itu, karena barang-barang yang dijual adalah barang yang mungkin sudah tidak berfungsi atau bahkan sudah tidak layak.  Tapi lain halnya dengan orang yang memiliki cara pandang berbeda atau mungkin orang yang sangat punya pemikiran kritis pasti akan berpersepsi, dalam Pasar Loak ini terdapat banyak sekali sejarah yang bisa ditemui. Dari Pasar Loak kita bisa tahu barang-barang lama dan tahun produksinya, kita pun dapat membaca sejarah dari barang-barang itu.

Misalnya,  sebuah replika patung Budha yang aku temui di Pasar Loak itu. Patung itu terbuat dari kuningan, mungkin apabila kita melihat secara kasat mata ini hanya sebuah sampah atau patung biasa, tapi apabila kita coba memanfaatkanya untuk hiasan di kamar, atau meja kerja, mungkin replika patung itu akan indah, karena bisa jadi di tangan pemilik sebelumnya, benda itu adalah benda yang mempunyai nilai sejarah tinggi.

Saat sedang dalam perjalanan sekitar area Pasar Loak, saya bertemu dengan seorang pedagang barang-barang bekas yang bernama Pak Syahudin, ia adalah pedagang barang-barang bekas peralatan sepeda yang masih layak untuk dijual. Beliau mengaku sudah berjualan di Pasar Loak Gang Rendah ini selama 5 tahun, sebelumnya ia berjualan di daerah Terminal Kepandaian. Saat Ageung menanyakan berapa penghasilan yang didapat setiap harinya, dikatakan Pak Syahudin penghasilan setiap harinya sudah lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Satu hal yang menarik perhatianku selain barang bekas di pasar ini, yaitu para pedagang barang-barang bekas di Pasar Loak Gang Rendah, ternyata lebih banyak didominasi oleh orang-orang yang sudah lanjut usia.

Walaupun sudah bertanya ke berbagai orang dan menghampiri berbagai tempat di sekitar bangunan bekas Bioskop Pelita, ternyata aku tetap tidak dapat memecahkan pertanyaan dan rasa penasaranku terhadap bangunan tua ini. Namun, seperti setiap perjalanan mengenai sebuah pencarian, selalu ada hal baru dan menarik yang bisa aku pelajari.

About the author

Avatar

Pangestu Adjie Prayogo

Dilahirkan di Serang, Banten, pada tanggal 13 Februari 1990. Ia kuliah di FISIP Universitas Negri Serang. Sekarang ia bekerja sebagai karyawan dan aktif di komunitas Sebumi.

9 Comments

  • Wah, mantap, Gan!!!!
    Tulisan tentang pencarian cerita asal-muasal bioskop pelitanya bagus. Meskipun pertanyaan anak-anak sebumi tentang bioskop pelita tidak terjawab, banyak hal baru yang di dapat, seperti misalnya pasar loak tersebut dan keluhan-keluhan dari orang-orang di pelita bilyard. Hal ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dan kita semua.

    Terus menulis, Yugo!
    🙂

  • saya tunjuk tangan mengajukan diri untuk enjadi salah satu nara sumber tentang bioskop pelita, walau cuma sedikit.

    1985 saya menonton di bioskop tersebut! filemnya adalah G30S/PKI.

    saya nonton bersama rombongan satu sekolah SD saya. dan saat itu program menonton filem ini diwajibkan oelh pemerintah.

    1987, saat saya meninggalkan kota Serang, bioskop pelita rasanya sudah tidak beroperasi lagi. saat itu tinggal satu bioskop yang masih aktif, yaitu ‘bioskop Merdeka’, di kawasan royal yang sekarang sudah tidak berbekas.

    tulisanmu menarik ya yugo. hanya melangkah beberapa tapak saja kita sudah bisa mendapatkan sekian banyak kisah massa. apalagi kalau kita menjajaki satu kota penuh?

  • mantap yugo tulisannya, yang tadinya q gak tau tentang bioskop pelita, skrng q tau klo dulu di serang pernah ada bioskop.
    lanjutkan kawan.

  • saya cuma tau dr bapak2 yg bisa di sebut senior di BL itu kao dulu BL itu namanya bkn billyard tapi ‘BOLA 3’ and di mejanya itu gak ada lobangnya,entah bgmna mainnya tpi sperti itu yg bapak2 itu bilang k saya. terus bangunan bioskopnya sekarang udah gda, d beli orng jkrta buat bisnis sarang walet (ini kata mba2 yg jaga kantin disana)
    terus waktu mw rekam pke handycamp banyak mas2 yg maen BL marah & gmw d shoot katanya “de jng nyorot ksini ya soalnya maennya pake kartu”
    begitu yg saya dapat waktu shooting disana,banyak bgt kendalanya yg mengakibatkan hasil shootingnya gga maksimal 🙁

  • Yog..untuk menggali lebih banyak sejarah-2 biskop di serang, seperti bioskop Pelita, Merdeka, Dewi dll, mungkin bs mewawancarai budayawan Gol A Gong atau Iwan NitNet

  • Wah… sudah lama tidak jalan-jalan ke kota Serang dan baru tahu kalau Bioskop PELITA ternyata sekarang hanya tinggal kenangan.
    Seingat saya ketika itu di kota Serang terdapat dua Bioskop yaitu Bioskop PELITA dan MERDEKA. Beruntung, saya termasuk orang yang pernah menikmati kedua Bioskop tersebut.

    Saya alumni pertama SMPN 3 Serang tahun 1977, setelah lulus SMP saya pulang kampung ke Kuningan.

    Salam kenal dan terima kasih berkunjung ke tempat saya

  • bioskop pelita adalah sebuah kenangan sya wktu kecil,,dulu sya pernah ikut kerja d bioskop dri kls 5 sd sampai smp,,dan sya bagian oprator mesin bersama mamang sya dan kaka sya bagian loket karcis,,klw pengen lebih tahu jejek bioskop silakan kunjungi sya,,,sya,mamang sya dan kaka sya adalah salah satu karyawan bioskop pelita yag dulu

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.