I
Sejak kecil ibu saya membiarkan kertas millimeter bloknya dan dinding rumah saya corat-coret , dan selalu mengapresiasi gambar yang saya buat. Itulah yang menumbuhkan hasrat menggambar saya hingga sekarang. Saya cukup beruntung, kalau bisa dibilang, bahwa sedari kecil saya sering berpindah-pindah sekolah dari TK sampai SMA, mengikuti pekerjaan orang tua. Dari Medan, Pematang Siantar, Medan lagi, lalu Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan.Dari sekolah swasta, negeri, hingga sekolah Islam. Berbagai kelas seni rupa pun pernah saya alami. Hanya sekali saya merasakan pelajaran seni rupa yang benar-benar terasa dampaknya hingga sekarang. Selebihnya, pelajaran kesenian, atau prakarya di masa TK hingga kelas dua SD saya rasa cukup membosankan, karena berurusan dengan potong-memotong, menganyam, menempel, dan menggambar yang melelahkan dengan pensil warna yang kurus. Alternatifnya adalah seni musik, drama, atau tari.Pelajaran yang membekas itu saya dapatkan saat kelas 5 SD ketika saya pindah ke Jakarta mengikuti pekerjaan ibu. Saya, 10 tahun saat itu, tidak pernah tahu bahwa pelajaran menggambar bisa semenyenangkan itu—atau boleh seperti itu. Saat itu, yang digambar tidak harus gunung, sawah, dan rumah. Bisa juga planet-planet, ibu penjual jamu sedang pulang ke rumah, burung kasuari di kebun binatang, bunga anggrek yang mekar, kancil di hutan, atau seseorang yang sedang memanjat tebing. Apalagi, saat itu saya mendobrak gaya atau “estetika” yang sering saya temukan di gambar teman-teman dan rubrik Majalah Bobo, yakni “gradasi-isme”, mewarnai obyek hanya dengan warna turunan untuk membentuk volume. Secara insting dan sesuka hati, saya mewarnai langit dengan warna merah muda dan hijau kukus, aksen merah pada rimbunan dedaunan pohon. Saya merasa bersyukur guru saya saat itu malah mengapresiasi “ketidaklumrahan” gaya menggambar saya dengan memberi nilai yang tinggi dibandingkan dengan teman-teman lain yang “menuruti” referensi warna yang ia buat di papan tulis. Fase itu menjadi cukup penting bagi saya walaupun hanya dua semester. Namun, bertahun-tahun setelahnya, menjadi salah satu faktor yang menyemen keputusan saya untuk mengambil jurusan seni rupa di pendidikan tinggi.
Wawancara saya dengan beberapa orang lain, ternyata, memperlihatkan bahwa tidak banyak yang memiliki pengalaman menyenangkan dengan pelajaran seni rupa sebagaimana saya. Mahardika Yudha atau Diki (33 tahun), sebagai generasi yang mengalami kurikulum dekade 90-an, mengaku bahwa tak banyak yang ia ingat dari pelajaran kesenian di sekolah dulu. Justru, kreativitasnya lebih banyak terpacu di pelajaran-pelajaran eksakta, seperti biologi dan matematika. Di pelajaran biologi, gambar menjadi metode studi untuk memahami anatomi kodok yang telah dibelah. Di pelajaran matematika, pemetaan permasalahan dengan garis dan bentuk yang berwarna-warni juga menjadi cara untuk menyelesaikan soal yang diberikan guru. Serta di fisika, berbagai rumus dan peristiwa fisik yang akan diperhitungkan menggunakan gambar sebagai pembantu, semisal untuk mengukur perbandingan tinggi suatu obyek, mengatur komposisinya agar logis dengan informasi yang tertera di soal. Meskipun nilai matematikanya jelek, Diki mengenang bahwa mata pelajaran itu justru menyenangkan karena menawarkan permainan yang menantang. Tantangannya terbentuk karena penggabungan dua disiplin yang berbeda tersebut.
Pengalaman yang sama juga dialami oleh Yuki Aditya (33 tahun) . Kendati ia suka menggambar, pelajaran kesenian di sekolah menjadi sekadar formalitas, mengingat bobot pelajaran seni rupa lebih kecil dibanding dengan pelajaran lain. Ditambah juga, guru yang mengajar kurang memiliki pengaruh yang besar di dalam kelas. Biasanya, yang diajarkan adalah menggambar dengan teknik vignette, pointilis (menggambar dengan titik-titik), atau membuat asbak dengan cetakan dari melamin. Tapi, sekali lagi, dengan jam pertemuan yang hanya dua jam sekali seminggu, tugas-tugas dan aktivitas seni rupa mejadi hanya sekadarnya.
Pengalaman teman saya, Indira (22 tahun), kurang lebih sama.
“Kurang banget!” serunya langsung, ketika saya bertanya bagaimana pelajaran seni rupa semasa sekolah dasarnya dulu.
Pelajaran seni rupa hanya sebatas hapalan istilah yang ada di buku pelajaran. Tapi, masa Taman Kanak-Kanak-nya cukup menyenangkan dengan banyaknya kegiatan kesenian seperti menari dan drama. Kelas tersebut menjadi penting karena sebagai siswa di TK Sekolah Luar Biasa, mereka harus berlatih mengekspresikan diri melalui gerak tubuh, teruntuk Indira yang tuna rungu sejak kecil.
Setelah TK, orang tua Indira mendaftarkannya ke sekolah umum hingga SMA. Pelajaran seni rupa memiliki guru yang cakap, tetapi ia kurang bisa melihat potensi seni rupa untuk dapat dihubungkan ke mata pelajaran lain. Disayangkan juga, pelajaran itu hanya berlangsung setahun di tahun pertama.
Atras (21 tahun) sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan Multimedia sebelum duduk di Institut Kesenian Jakarta sekarang. Dengan semangat, ia bercerita bahwa SMK tersebut menjadi wadah yang sangat mendukung baginya untuk mengembangkan diri, dengan keleluasaan dan peluang bekerja di perusahaan luar yang disediakan oleh sekolah.
“Di SMK itu, penghasilan bisa dua bulan sekali!” seru Atras.
Ketidakkakuan dan ajang bereksperimen inilah yang tidak Atras temui di sekolah dasar dan kuliahnya saat ini.
Salah seorang guru yang pernah mengajar Otty (41 tahun) di kelas 1 SMP-nya, ternyata, memberikan banyak pengaruh pada Otty yang sekarang menjadi seniman. Sejak kecil, Otty suka menggambar. Walaupun mendapat dorongan dan dibanggakan oleh ayahnya, sang ayah tidak melihat itu sebagai sesuatu yang bisa dianggap serius.
“Tapi dia (sang ayah—red) gak salah…” ujar Otty. Kecacatan sistem pendidikan yang ada di Indonesia membuat ayahnya tidak melihat kesenian sebagai salah satu profesi intelektual.
Sang Guru, yang bernama Bu Eni, salah seorang guru matematika, melihat bakat seni rupa pada Otty.
“Pak, anak Bapak berbakat di seni rupa. Tolong diperhatikan,” tulis Bu Eni pada ayah Otty dalam surat khusus yang diserahkan di akhir semester. Surat tersebut terabaikan bertahun-tahun lamanya, dan baru ditemukan kembali oleh Otty saat ia berusia 25 tahun.
“Saat itu, gue juga memutuskan berhenti kuliah jurnalistik dan memutuskan menjadi seniman,” kisahnya.
Dari jawaban-jawaban tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa kurangnya jam pelajaran di jadwal sekolah, dan kekurangan pemahaman guru untuk dapat menggali kreativitas para siswa, menjadi alasan dipunggunginya pelajaran kesenian di antara pelajaran-pelajaran lain. Guru-guru yang memiliki kesadaran akan pentingnya seni rupa pun sifatnya kasuistik, seperti yang saya dan Otty dapatkan. Padahal, saya rasa pelajaran seni rupa sangatlah penting bagi pembangunan karakter manusia Indonesia. Seni itu menghaluskan jiwa, menebalkan empati. Sensitivitas dan metode kerja yang kreatif dapat terlatih dengan cara kerja seni rupa. Kebanyakan, tugas dari mata pelajaran yang hanya mengikuti hapalan yang disuapkan kurikulum itu mematikan “daya kejut” yang sebenarnya bisa dipantik dari tiap siswa, yang sayangnya, rumus dan kaedah tersebut selalu berkesan sebagai kebenaran absolut. Saya rasa, ada yang harus diubah di dalam kurikulum pendidikan Indonesia, untuk tujuan dimaksimalkannya “daya kejut” itu.
Inisiatif untuk mengubah itu, saya temukan di pameran Kurikulab di Galeri Cipta II, Bulan Oktober lalu. Serrum, organisasi seni rupa yang sudah lama berkiprah di arus seni Indonesia, didirikan oleh alumni-alumni Universitas Negeri Jakarta yang dulunya IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Dengan latar belakang mereka yang berasal dari Jurusan Pendidikan Seni Rupa, mereka mengangkat isu tentang pendidikan dan menampilkannya dalam aksi pameran seni rupa yang berbeda di pameran tunggal mereka.
II
“Apa yang bisa ditampilkan?” pikir Serrum, sebagai sebuah organisasi yang bergerak dalam lingkup sosial-pendidikan melalui medium seni rupa, ketika mendapat tawaran untuk mengadakan pameran tunggal oleh Dewan Kesenian Jakarta. Belum lagi, sebagai sebuah organisasi, Serrum tidak ingin tertawan oleh sistem “pameran kolektif” yang menampilkan karya-karya tiap anggotanya.“Tapi, pengen ada partisipasi …,” kata MG Pringgotono, yang biasanya dipanggil Eemji, salah satu pendiri Serrum dan kurator dalam pameran ini. Partisipasi publik ini sebagai langkah untuk menjawab kegelisahan, apakah persoalan-persoalan pendidikan yang mereka akan angkat juga dialami orang lain.
Isu pendidikan apa yang akan dibawa, juga menjadi salah satu perhatian mereka. Keinginan untuk membawa pembahasan-pembahasan umum lalu menampilkannya dengan cara yang berbeda (yang dalam momen ini, melalui perspektif seni rupa) tentu menjadi tantangan tersendiri.
Laboratorium terbuka akhirnya dibuat selama dua minggu, 16 – 30 Oktober, 2014 di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Satu minggu pertama diisi dengan kegiatan Focus Group Discussion (FGD).
Sesi tersebut dibagi menjadi empat tahap. Pertama-tama, kelas eksperimen Rupamatika. Rupamatika ini dulunya dibuat dan dicoba di Sekolah Menengah Kejuruan Seni Rupa. Di kelas tersebut, Serrum melakukan eksperimen untuk melihat apakah metode ini dapat sesuai jika diterapkan di sekolah umum. Di akhir pelaksanaan belajar-mengajar di kelas, pihak SMA Diponegoro mengaku menikmati metode tersebut dan mengubah persepsi mereka tentang matematika.
“Untuk Apa Guru Ada?” menjadi topik FGD pertama itu. Berbagai guru dari sekolah swasta dan negeri pun diundang untuk terlibat. Dalam prosesnya, para guru diajak menuliskan apa yang mereka lakukan ketika masuk ke dalam kelas, kemudian tulisan itu digilir dan dikomentari oleh peserta di meja.
“Untuk Apa Sekolah Ada? – Sekolah: Antara Cara dan Tujuan” menjadi bahasan FGD yang kedua, dan dihadiri oleh Kepala Sekolah dari SMA Negeri, Swasta, Anak Berkebutuhan Khusus, Bimbingan Belajar, dan Rumahnya Ruang Belajar (Literasi). Para Kepala Sekolah Swasta berpendapat bahwa mendapatkan siswa sebanyak-banyak merupakan tujuan dari sekolah. Caranya, melalui ekskul-ekskul yang dimiliki dan program akhlak yang diajarkan kepada siswa-siswanya. Sementara itu, pihak Sekolah Negeri berpendapat bahwa tujuan mereka adalah maksimalnya capaian persentase kelulusan dan jumlah siswa yang masuk ke perguruan tinggi bergensi. SMK Seni Rupa bertujuan menjadikan institusi mereka sebagai tempat yang menyenangkan bagi anak, sedangkan Rumahnya Ruang Belajar berusaha membuat masyarakat lebih suka membaca dan menulis. Para kepala sekolah ini juga diminta untuk menulis dan menggilir tulisan, berupa denah dari masing-masing sekolah, dan diminta untuk membandingkan tujuan-tujuan tersebut dengan fasilitas yang ada.
Hari berikutnya, aktivis pendidikan , anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta kritikus pendidikan mendiskusikan topik “Untuk Apa Pendidikan itu Ada?”. Topik itu kemudian mengerucut pada “Kebijakan Pusat versus Inisiatif Lokal”. Eemji, fasilitator FGD, bercerita bahwa partisipan diskusi kurang spontan dalam menjawab pertanyaan di sesi diskusi tersebut. Setiap orang mempunyai konsep masing-masing mengenai pendidikan yang unik. Namun, mereka akhirnya sepakat bahwa pendidikan berfungsi untuk membongkar potensi manusia.
Eemji menyampaikan bahwa FGD ini tidak dimaksudkan untuk mencari solusi, tapi membongkar masalah dan membiarkan pengunjung untuk mengambil kesimpulan sendiri. Dalam pamerannya kemudian, melalui instalasi dan presentasi dari arsip yang didapatkan selama proses FGD, pengunjung dapat melihat lika-liku berjalannya diskusi yang sebelumnya telah dilangsungkan.
Selain itu, Pameran Kurikulab juga menghadirkan showcase dari Serrum, berupa karya-karya yang sebelumnya pernah dibuat, yang juga menyinggung isu-isu pendidikan. Ada Komik Rada Lucu (KRL) dengan judul “Guru Berdiri, Murid Berlari”, ada juga ilustrasi dari Angga Cipta yang merespon sampul-sampul buku pelajaran dari jaman dulu, serta video residensi Serrum di Jatiwangi dan dokumentasi Propagraphic Movement.
Kemudian, ada program Rec Ayo Rec yang mengundang para pengunjung untuk berbagi cara, ide, dan pengalaman mengenai pendidikan, melalui medium video.
“Banyak guru yang ingin berbagi, tapi ada kendala,” ujar Eemji, menjelaskan latar belakang program itu. Pada sudut Rec Ayo Rec ini, disediakan kamera video yang siap merekam siapa pun yang ingin berbagi pemikiran mereka.
Pameran ini juga menyediakan sebuah tembok hijau. Siapa saja boleh membagi rumus tentang kehidupan di sana—ketika saya melihat, tembok itu sudah penuh dengan coret-coretan dari tangan-tangan kreatif pengunjung. Tembok hijau itu juga bertindak sebagai parameter yang menakar respon pengunjung yang hadir. Semakin hari, selama pameran berlangsung, tembok semakin penuh!
Mereka juga membuka kelas menggambar, yang mengundang berbagai seniman untuk mengajar. Dari sana, mereka mengumpulkan cara mengajar, tahapan-tahapan, kata-kata, dan tugas yang digunakan untuk “memancing” interaksi dalam mengajar.
III
Satu hal lainnya yang saya temukan dari hasil wawancara saya dengan Diki, Yuki, Indira, Atras, dan Otty. Mereka, sebagai “produk” kurikulum 90-an dan 2000-an awal, merasakan bahwa ada pengkotak-kotakan di tiap disiplin ilmu atau mata pelajaran di sistem pendidikan Indonesia, yang akhirnya membentuk cara pandang terhadap seni rupa yang hanya seperti ekstrakurikuler. Kurikulum yang mereka ikuti saat itu membatasi guru untuk lebih mengeksplor seni rupa dan kaitan-kaitannya dengan disiplin ilmu yang lain. Di Pameran Kurikulab inilah, kita dapat melihat sejauh apa seni rupa dan disiplin ilmu yang lain dapat cair, lebur dan saling berkait. Nilai-nilai tentang pentingnya seni rupa dalam kehidupan manusia juga dihadirkan melalui karya-karya tersebut.Pameran ini menawarkan sudut pandang tentang seni rupa yang bisa menonjol dengan cara yang berbeda.
“Si Guru Seni Rupa sendiri gak sadar seni itu penting bagi manusia,” kata Eemji, lagi-lagi memaparkan latar persoalan yang mendorong Pameran Kurikulab. Di pameran mereka, seni rupa ditunjukkan sebagai media untuk mendistribusikan pengetahuan.
Pengkotak-kotakan tersebut mungkin bisa terlacak dari fakta bahwa di antara musyawarah guru sendiri, jarang terdapat diskusi lintas disiplin. Untuk itu, Serrum menunggu interaksi antar anggota FGD setelah acara ini berakhir. Kita dapat melihat segi komposisi dan proporsi partisipan yang terlibat dalam FGD bahwa para peserta berasal dari berbagai kalangan. Ada yang sebelumnya sudah malang melintang di berbagai forum pendidikan, ada juga yang sama sekali baru.
“Ada guru-guru yang tertarik karena organizer-nya dari seni rupa. Menarik untuk menyoal edukasi,” cerita Eemji.
Mungkinkah Kurikulab ini dilakukan di daerah lain? Serrum mengamini hal tersebut. Transfer ilmu melalui pameran ini juga membuka kemungkinan bagi publik untuk melakukan metode yang sama. “Apalagi guru-guru yang [web]-blog-nya bagus, biasanya berasal daerah.”
“Ini baru awal,” kata Eemji, akhirnya.
Sebagaimana falsafah dari nama Serrum, yang berarti “share room”, dalam aksinya mereka mengedepankan pentingnya pendistribusian pengetahuan secara merata dan egaliter.
Saya masih meragukan kebaruannya. Sebab, betapa dapat disadari bahwa irisan antara pendidikan dan seni rupa kontemporer, apalagi dihadirkan dalam bentuk pameran, tentulah masih sesuatu yang jarang kita temui di kedua ranah itu sendiri, apalagi di Indonesia—kendati saya tidak melupakan Moelyono dengan “Seni Rupa Penyadaran”-nya yang tahun lalu dipamerkan di Jakarta Biennale-2013, dan bukunya menjadi bacaan wajib kami para mahasiswa di kelas Aktivisme Seni.
Menurut saya, kesegaran dalam pameran ini muncul dari segi presentasinya, keragaman karya yang ditunjukkan, serta identitas “Serrum” yang tidak lenyap di tiap segi itu. Mereka mampu menampilkan sebuah pertanyaan yang sesungguhnya sudah lama dan sering ditanyakan oleh banyak orang. Ketika teman saya, Kaspo, bertanya apakah kira-kira orang lain boleh meniru metode FGD tersebut, dengan penuh semangat Eemji dan Angga Wijaya menjawab, “Ya!”
Melalui suatu peristiwa “pameran” yang diniatkan sebagai “media pendidikan”, memungkinkan lenyapnya batas-batas dan mencairkan pertukaran wawasan dari masing-masing disiplin ilmu. Maka, publik dapat mencerna sendiri dan meneruskan informasi tersebut ke mana pun dia pergi. “Share room” dari Serrum tentu mengharapkan munculnya share room-share room lain untuk dapat terus berbagi. Melalui cara ini, langkah untuk mendidik kurikulum pendidikan pun bukan lagi sekadar bualan.∎
____________________
Dokumentasi pameran oleh Bunga Siagian.
Pendidikan yg seperti Anda utarakan itu yg belum banyak di Fahmi oleh sebagian besar guru….padahal nilai dan hafalan itu tidak pernah ditanamkan disaat mereka terjun kemasyarakat….mereka banyak tidak menanamkan pemahaman sehingga murid tidak menguasai…..apa2 ..beruntung klo guru tersebut dibesarkan dalam keluarga yg bebas berpendapat sehingga disaat mengajar mereka bisa menghargai kemampuan siswa…saya masih ingt orangtua berpesan kamu tidak perlu dapat nilai 10 biarlah angka 6 tetapi kamu menguasai. Dan matang…..sehingga kamu bisa hidup ditengah masyarakat…tidak ada ilmu yg tidak berguna…..sementara sebagian kita yg dikejar nilai tinggi……lulus terbaik ….disaat terjun kemasyarakat isinya Nol….inilah salah satu biang pengangguran tingkat tinggi…