Hampir setiap hari ketika berangkat sekolah atau kerja,
kita melewati alun-alun.
Apa yang kita lihat?
Perasaan apa yang muncul ketika melewatinya?
Datar. Kosong. Tidak muncul perasaan memiliki bahkan terpanggil untuk sekadar singgah berteduh. Itulah yang Soca rasakan. Lalu terbit rasa ingin tahu apakah yang dirasakan oleh Soca juga dirasakan teman-teman lainnya?
Berangkat dari pertanyaan inilah Soca Tasikmalaya mengajak teman-teman lain dari berbagai komunitas berbincang tentang keberadaan alun-alun dan fungsinya. Obrolan tersebut dikemas dalam acara bernama ‘Bengkel Foto: Mencari Alun-alun’ (Sabtu-Minggu 9-10 Oktober 2010).
Bengkel Foto: Mencari Alun-Alun ini merupakan ajang bagi anak muda Tasikmalaya, untuk menggunakan fotografi sebagai media untuk mengenali potensi dan permasalahan ruang publik kota, lewat cara pandang warga biasa. Peserta dibolehkan untuk menggunakan kamera digital apapun selama proses ini, termasuk kamera HP. Peserta dipandu oleh Des Syafrizal, fotografer profesional yang sudah malang-melintang di bidang foto jurnalisme. Acara ini diselenggarakan oleh Soca Tasikmalaya dan Kampung Halaman, didukung oleh Kabar Priangan dan Art FM.
Dalam acara ini, sekumpulan anak muda Tasikmalaya dari berbagai komunitas berbagi tentang perasaan dan pemikirannya mengenai alun-alun di Tasikmalaya. Dari obrolan tersebut terungkap bahwa selama ini apa yang mereka rasakan terhadap alun-alun kotanya tidak jauh berbeda dengan perasaan Soca. Merasa kering dan tidak ada perasaan memiliki. Dari sana kami pun mencoba mencari tahu: Apa yang menyebabkan perasaan tidak memiliki itu muncul?
Alun-Alun Kota Tasikmalaya berbentuk lapang segi empat, berpagar, luasnya seperempat lapangan sepak bola. Sebagian besar area dipenuhi rumput, di tengahnya terdapat Patung Pahlawan Tasikmalaya. Tidak ada fasilitas yang memungkinkan bagi warga untuk duduk-duduk rehat, berteduh, juga tidak ada kegiatan (acara) bersama yang biasa dilakukan di sana. Nampaknya, itulah ‘kurang asyik’-nya alun-alun selama ini.
Teman-teman yang ikut dalam acara Soca ini berpendapat seharusnya alun-alun itu sejuk, indah, rindang, bersih, memiliki banyak tempat duduk, memiliki tugu khas kota, berpenerangan memadai di malam hari dan memiliki berbagai sarana lainnya yang menunjang kenyamanan warga kota untuk menghabiskan waktu di sana.
Lalu adakah selama ini area publik yang memiliki fungsi seperti yang seharusnya dimiliki oleh alun-alun?
“Pasar Kojengkang di Lapangan Dadaha!” Jawab Fahmi, salah seorang peserta. Menurutnya, Pasar Kojengkang yang hanya muncul seminggu sekali di Lapangan Dadaha adalah tempat terbuka di mana ia bisa menikmati berbagai macam interaksi warga kota, dari berdagang, berolahraga, hingga berekreasi.
Sementara, bagi Erna, yang bekerja di Tasikmalaya, namun tinggal di Ciamis (kota tetangga), tidak sulit mencari Alun-alun impiannya. Yaitu, alun-alun di tempat tinggalnya sendiri. Erna menjabarkan, alun-alunnya adalah alun-alun pintar, karena ada akses perpustakaan di sana. Juga, banyak permainan yang bisa dijadikan ajang rekreasi bagi masyarakat Ciamis dari berbagai usia.
Dan Edi Martoyo, seorang pegiat seni, lebih sering menikmati sajian kesenian di kafe, begitulah pengalamanya dengan ‘alun-alun’-nya. Baginya, kesenian kontemporer maupun tradisional harus mendapat tempat di alun-alun yang ada di tengah kota, sehingga bisa dinikmati oleh semua kalangan dengan lebih terbuka.
Walaupun setiap orang memiliki ‘alun-alun’ versinya sendiri, mereka semua tetap berharap alun-alun kota yang sebenarnya bisa berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Karena apa yang terdapat di alun-alun merupakan cermin dari seberapa besar warga kota dan pemerintahnya memperlakukan kota tersebut.
Bagi peserta yang terlibat dalam bengkel foto ini, alun-alun inginnya bukan hanya menjadi area terbuka berbentuk kotak di pusat kota. Namun, bisa sebuah alun-alun bisa dijadikan sebagai kebanggaan yang mengikat semua warga kota. Bukankah itu impian semua orang agar merasa memiliki tempat tinggalnya?