Jika melihat tahun 1945, deklarasi kemerdekaan yang dilakukan para founding fathers (Bapak-bapak pendiri bangsa) juga bertepatan pada momen yang sama, bulan Ramadhan. Di Jakarta, pada pukul 10.00 pagi, mantan Presiden Soekarno dan Wakilnya Hatta membacakan teks proklamasi yang kemudian disiarkan oleh RRI. Sejak saat itu Indonesia menjadi bangsa yang menang melawan penjajahan dan merdeka, meskipun dalam tahun-tahun selanjutnya masih ada serangan-serangan bersenjata yaitu, Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II.
67 tahun sudah berlalu. Kini permasalahan tidak lagi berkecamuk pada persoalan penjajahan bersenjata. Banyak persoalan yang justru lahir dari dalam negeri. Terutama kurang sehatnya aktifitas bermedia arus utama di Indonesia. Kurang maksimalnya pengawasan pemerintah serta dominasi kekuatan modal pemilik media membuat konten informasi yang disajikan tidak mendidik khalayak. Khususnya di bulan Ramadhan ini, banjir promosi berbagai macam barang membuat meningkatnya perilaku konsumerisme yang justru jadi melenceng dari makna puasa.
Padahal dalam momentum menjelang hari kemenangan ini, banyak budayawan yang menafsirkan Ramadhan sebagai masa melatih diri untuk menerapkan hidup yang sederhana. Artinya ketika hari kemenangan tiba, semestinya kita sudah menjadi pribadi yang sederhana dan tidak dikuasai nafsu. Namun tafsiran itu sepertinya belum sejalan dengan kenyataan. Seorang sosiolog dari Universitas Oxford, Walter Armburst, pada tahun 2004, pernah melakukan penelitian tentang perubahan perilaku orang Indonesia sebelum, saat, dan setelah Ramadhan. Hasilnya ia menyimpulkan, justru pada waktu-waktu itu para pelaku bisnis memanfaatkan momen tersebut untuk menggencarkan promosi berbagai macam barang – para pemasar kelas dunia sejak lama menandai kedatangan Ramadhan sebagai the most important business period – yang pada akhirnya perilaku masyarakat berubah menjadi ekstra konsumtif. Ia juga menjelaskan, perihal banjir promosi ini juga bukan hanya berkutat pada soal yang bersifat matrealis, namun promosi yang bersifat politik praktis juga meningkat.
Antitesis dari esensi keberadaan Ramadhan, bisa menjadi gambaran nyata di mana aktivitas bermedia di arus utama membuat warga negara yang melangsungkan ibadah puasa kehilangan makna ibadah itu sendiri. Sehingga menjadi pribadi yang sederhana belum dapat tercapai. Hasilnya Indonesia menjadi bangsa yang mendapat citra sebagai masyarakat yang konsumtif.
Melihat hal ini perlu diketahui, teori jarum suntik – teori yang menjelaskan informasi berjalan satu arah, dan para pelaku media seolah menyuntikan serum dalam benak khalayak – yang didapat mahasiswa-mahasiswi komunikasi ternyata memang benar diterapkan oleh para pelaku media di arus utama. Artinya sudah semestinya masyarakat memerdekakan diri dari ketergantungan informasi arus utama, misalnya dengan membuat blog atau bulletin komunitas yang menyajikan informasi sesuai dengan kebutuhan khalayaknya. Hal ini perlu dilakukan, karena cita-cita reformasi tentang kebebasan berpendapat ternyata tidak terlaksana. Keleluasaan gerak media yang sudah tidak lagi diatur Surat Izin Usaha Perusahaan Pers (SIUPP), justru berubah menjadi corong berbagai macam kepentingan, baik yang bersifat matrealis maupun pencitraan politik praktis kelompok tertentu.
Secara keseluruhan,dalam momentum yang sarat nilai-nilai spiritual ini akan ada perayaan hari kemenangan dan kemerdekaan. Semoga saat-saat yang hangat ini, kemenangan melawan hawa nafsu sehingga menjadi pribadi yang sederhana dapat terealisasikan. Kemudian besar harapan pula para pelaku media arus utama dapat memerdekakan dirinya dari kekuatan modal dan kepentingan-kepentingan politik praktis tertentu.
Selamat Hari ke-Merdeka-an dan Hari ke-Menangan-an.