Ketika awal ditemukan dan dilayarkan oleh Lumierre bersaudara atau dalam film dokumenter pertama “Nanok of the North”, filem hanya terdiri dari serangkaian adegan bergerak yang bisu,..
Pernyataan tersebut mengganggu pikiran saya beberapa waktu lalu, tepatnya ketika menyertakan diri dalam proses pengeditan sebuah filem di Forum Lenteng. Filem tersebut merupakan kali pertama saya. Namun bukan filemnya yang akan coba saya ceritakan di sini, karena filemnya sudah dapat bercerita sendiri.
Yang membuat saya “sadar” sesaat setelah melakukan perekaman adegan, tepatnya saat mengedit, saya seperti menemukan yang lebih eksotis dari sekedar keeksotisan pantainya yang terhampar, mulai dari Sengigi hingga Tiga Gili, yang amat memukau para pelancong. Apa itu? Suara!
Seketika saya merasa tertarik dengan suara-suara hasil tangkapan kamera yang diputar kembali sebelum disusun menjadi sebuah realitas lain di dalam layar. Boleh setuju atau tidak, menurut saya, suara merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam sebuah karya audio visual (dokmenter, khususnya) yang sangat menuntut “keaslian” dalam rekaman suatu peristiwa. Saat di Lombok, saya merasakan atmosfer daerah yang sangat kaya akan bebunyian yang sangat khas, seperti dituntun untuk melihat sebuah gambar imajinatif yang dihantarkan melalui bebunyian.
Di tempat ini, saya akrab mendengar bunyi langkah kaki kuda yang biasa dikenali dengan panggilan “Cidomo”, karena tempat yang saya singgahi jaraknya sangat dekat dengan pasar di Pemenang. Cidomo digunakan sebagai salah satu alat transportasi lokal yang mengandalkan kuda sebagai motornya, biasanya dipakai warga bepergian untuk jarak yang dekat, selain itu dipakai pelancong untuk menuju kawasan Bangsal, sebuah tempat penyeberangan dari Lombok Utara menuju tempat wisata mahsyur, Tiga Gili.
Tentunya, sebuah daerah yang sangat agamis, di tempat saya singgah, ada dua kelompok agama yang sepenglihatan saya besar, yaitu Hindu dan Islam, yang sangat kasat mata terlihat artefak-artefak megah yang menjadi simbol besarnya kedua kepercayaan tersebut. Sekali waktu, saya melintas tepat di depan pemukiman Hindu terdengan puji-pujian yang sekali lagi membuat saya tertarik. Sama menakjubkannya ketika awal pertama kali saya mendengar musik dari Raavi Shangkar atau bagian bridge dari “Accros The Universe”-nya The Beatless. Indah! Sangat peacefull! Tak lupa, syahdunya suara adzan dan senandung puja puji dari masjid sekitar dengan irama dan dialek khas lombok yang dilagukan.
Suatu siang, ketika duduk di sebuah “berugaq” (semacam saung yang biasa digunakan warga Lombok untuk bersosialisasi), sayup-sayup harmoni khas terdengar saat pertama kali saya terduduk di sana. ‘
‘Treng rong deng…’ suara yang sangat empuk dan renyah.
Sejenak lalu, saya bertanya kepada seorang kawan, “Suara apa itu?”
Kawan menjawab, “Ah, itu tukang manisan. Pak Pung, namanya.”
Seketika itu saya penasaran akan bentuk visual dari tukang manisan yang berbunyi empuk dan renyah tersebut. Apakah bergerobak? Sepeda dan suara yang renyah-empuk, bersumber rekaman kaset, kah? Seperti yang saya sering temui sehari-hari di sekitaran rumah, mulai dari tukang roti hingga es krim?
Sedikit menunggu, akhirnya bunyi itu datang dengan sosoknya yang sangat khas: berkacamata dan topi serta kemeja rapi dan bercelana panjang. Dipinggangnya terlilit sebuah tempat manisan. Dan yang sangat ajaib, tempat manisan itulah yang mengeluarkan bebunyian khas yang membuat penasaran sebelumnya. Bukan sebuah rekaman suara yang diputar berulang-ulang, melainkan sebuah musik yang dimainkan secara manual dengan komposisi nada yang mengalun organik, yang tak statis, sehingga terasa menghibur sepanjang satu bulan saya berada di daerah ini. Dan bahkan, saat saya kembali lagi, bebunyian Pak Pung menciptakan pengalaman visual personal yang kehadirannya saya rasa tak akan pas tanpa bebunyian dari tempat manisannya, tentunya sangat berbeda dengan bebunyian tukang roti dan eskrim yang sering saya jumpai sehari-hari. Mereka tidaklah menghibur, namun menyiksa kepala saya seperti sebuah “doktrin” halus akan produk yang dijual yang tertempel paksa di kepala (Tokoh pak Pung ini juga sudah pernah ditulis, selengkapnya di www.akumassa.org).
Di akhir pekan, biasanya saya selalu mendengar alunan keras musik dangdut yang dilokalkan pada arakan yang dimainkan langsung oleh beberapa orang. Sambil beriring tarian puluhan orang yang dengan rapih berbaris, berjoget bebas yang mengiringi mempelai pengantin yang sedang “berkenalan” dengan lingkungannya, berkeliling menyusur sebagian wilayah desa seperti sebuah parade kecil dari perselingkuhan kebudayaan Muslim, Hindu dan kebudayaan populer kekinian. Dan lebih hebatnya lagi, parade ini diselenggarakan secara personal. Jadi, jangan heran ketika di jalan Anda menemukan dua atau tiga parade seperti ini, namun dengan playlist lagu yang sama, yang biasa disebut warga sekitar dengan sebutan “Nyongkol”. Sebuah pengalaman auditiv dan visual yang sangat berkesan selama meninggali daerah Lombok Utara, tepatnya di Pemenang.
Dari semesta bebunyian yang hadir di sana, yang membuat saya terkesan sambil merinding ajaib sehingga membuat “pecah” semua imajinasi saya adalah bebunyian yang saya dengar setiap malam Jumat, yang berlokasi tepat di lantai bawah “markas” komunitas Pasir Putih, komunitas yang bekerjasama dengan Forum Lenteng, yang dalam beberapa tahun memproduksi informasi, baik teks dan visual. Suasana malam di Pasir Putih sangatlah hening seperti malam-malam biasanya. Paling-paling, dapat terdengar puja-puji dari suara pengeras suara masid itu, pun saat waktu-waktu shalat. Selebihnya, hening yang syahdu dengan nyanyian alamnya.
Setiap malam Jum’at, yang menurut saya selalu menjadi sebuah malam yang sangat psikadelik buat saya, ada sebuah pengajian rutin di rumah “Bapak” saya di sana, H Amir. Pertama kali saya singgah di sana, saya tidak mengetahui adanya acara rutin tersebut. Sampai suatu ketika, pada malam Jumat, saya kehabisan rokok. Saya sedang membeli sebungkus rokok, kemudian menapaki tangga untuk turun. Lalu, setibanya di bawah, saya melihat orang-orang mulai berdatangan dengan mengenakan baju rapih dan membawa beberapa botol air, yang dalam hati saya hanya berfikir mungkin ini pengajian rutin biasa seperti yang saya sering temui sehari-hari. Benar saja, ketika pulang dari warung saya melihat ruangan sudah terisi penuh jamaah yang sedang mengaji tanpa banyak menoleh. Saya bergegas kembali naik untuk merokok dan mem-prieview atau bahkan mengobrol tentang rencana pengambilan gambar esok hari dengan kawan-kawan Pasir Putih. Di tengah obrolan, saya terdiam. Sejenak, ketika mendengar suara dzikir “La Illa Ha Illallah” dengan tempo yang semakin lama semakin cepat, obralan pun terjeda. Saya diam dan terus menyimak kalimat dzikir itu terus, terus dan terus, semain tinggi dan tinggi, dan saya pribadi merasa merinding.
Malam Jumat berikutnya, sudah saya tunggu bagian terakhir dari pengajian rutin si Bapak, tanpa basa-basi saya mengambil posisi duduk dekat jendela yang terbuka di lantai atas dengan maksud pada bagian akhir pengajian saya dapat kembali mendengar suara dzikir tersebut. Benar saja, kembali “La Illa Ha Illallah” mengalun dengan tempo yang sangat konstan dan menjeadi cepat, dan mulai menikmati senandungan jamaah sebagai sesuatu yang sangat menegangkan jiwa saya seketika, karena memang saya bukan seorang penganut agama yang “baik”. Mata saya pun terpejam dengan mencoba menenanggkan diri dan sangat pecah ketika tempo semakin meninggi sehingga tak sadar bagian tubuh saya pun bergerak terbang mengikuti irama dzikir jamaah Si Bapak hingga mencapai klimaksnya mata saya buka kembali, alhasil benar saya merasa teramat tentram. Sejak saat itu saya selalu menunggu kembalinya malam jumat selanjutnya, sampai suatu ketika saya memberanikan diri untuk melihat prosesi dzikir tersebut. Seperti yang saya alami, saya melihat jamaahnya pun seolah terbang khusuk dengan doanya.
Memejamkan mata di kota itu dan membiarkan suaranya menuntun untuk mendapatkan sesuatu yang dicari merupakan pengalaman terbaik. Saya pun bersyukur atas anugerah para pendahulu yang menjadikan filem menjadi bersuara. Jadi sedikit teringat dengan kutipan sebuah dialog dari filem “Le Petit Soldad” yag berbunyi “Photography is Truth,.. and Cinema is Truth 24 times a Second”. Yang dalam tafsiran dini saya: gambar adalah sebuah kebenaran, tetapi filem dengan semua atributnya adalah salah satu bagian kebenaran yang terdiri dari 24 “kebenaran” per detik. Memang, gambar dapat berdiri sendiri, tetapi bagi saya, suara/bunyi dapat membuat gambar lebih mempunyai ruh dan imajinasi.
Artikel ini merupakan bagian dari katalog Filem Dokumenter Elesan Deq a Tutuq (Jejak yang Tidak Berhenti). Foto-foto adalah potongan-potongan adegan dalam Filem Dokumenter Elesan Deq a Tutuq.