Pagi itu, Rabu 20 Oktober 2010 genap setahun masa pemerintahan SBY-Boediono. Seperti yang telah diramalkan oleh berbagai media, iklim perpolitikan hari itu pun kian memanas oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya mahasiswa. Rencananya mereka akan menggelar demo besar-besaran atas kekecewaan terhadap pemerintah. Aku pun tak mau melewatkan momen ini. Maka, meluncurlah aku ke lokasi utama yang rencananya akan disambangi oleh para demonstran. Yaitu Istana Negara.
Benar saja, di situlah para masyarakat berkumpul, mencoba menyuarakan nasibnya kepada pemerintah. Banyak cara yang dilakukan para demonstran, mulai dari membuka Pasar Lupa yang berisikan para kerabat korban pelanggaran HAM, hingga aksi teatrikal mengenai kegagalan SBY dalam memberi penghidupan yang layak untuk rakyatnya. Tak lupa mereka juga menggunakan berbagai spanduk dan poster bikinan sendiri yang ertuliskan bermacam tuntutan.
Polisi ternyata habis kesabaran juga dalam menghadapi para demonstran, mereka pun menyemprotkan gas air mata, yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Kemacetan karena aksi demonstrasi terjadi di beberapa ruas jalan, salah satunya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, tepatnya di depan Markas Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), disebabkan para demonsran terlibat bentrok dengan polisi.
Usai menyuarakan berbagai rasa kecewa mereka terhadap pemerintahan SBY-Boediono, para demonstran pun pulang menggunakan transportasinya masing-masing. Yang tersisa hanyalah pagar pengaman berduri yang telah porak poranda serta beberapa orang pemulung sampah.
Tuntutan serta teriakan para demonstran pun tampaknya menguap begitu saja seiring kepulangan mereka. Mimpi para mahasiswa untuk dapat menggelar demo besar-besaran seperti saat Reformasi 1998, nampaknya memang masih menjadi mimpi.
Foto: Mufti Al Umam