Setelah beberapa tahun berdiri Gardu unik melibatkan berbagai kalangan antara lain generasi muda putus sekolah, pengrajin, dan seniman di kawasan Cirebon. Aktivitas kelompok ini antara lain workshop, kursus (secara privat maupun kelompok), pameran, dan pementasan teater. Even terbesar yang digagas oleh kelompok ini adalah Festival Jaga Kali—yang merupakan festival kesenian partisipatoris di Kali Jaga yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat.
Program akumassa di Gardu Unik diikuti oleh delapan partisipan (6 laki-laki dan 2 perempuan) pekerja kreatif muda. Mereka terdiri dari mahasiswa, guru, pegawai negeri, dan seniman. Tepat workshop dan diskusi bertempat di sebuah ruangan sempit di kawasan Cirebon Sentral Blok (CSB) Arya Kemuning yang merupakan kawasan bisnis baru yang sedang dibangun oleh pemerintah kota Cirebon. Di daerah ini telah berdiri mall dan pusat perbelanjaan yang super megah, di antaranya hadir Carefour dan Hypermart. Rumah Bayu (salah seorang partisipan) merupakan tempat yang aku maksud. Rumah ini adalah rumah pertama yang berdiri di kawasan ini. Rumah tua yang dihimpit oleh rumah-rumah baru ini seperti menjadi “monumen” penting bagi kawasan ini. Di rumah sederhana ini Bayu tinggal bersama “Mak” (nenek Bayu) dan Putri (adik Bayu).
Saat mengunjungi workshop di rumah Bayu yang bertempat di ruang sempit berukuran 2,5 x 3 meter itu para partisipan berdesak-desakan mengikuti diskusi yang dipandu oleh Riezki (Kiki Pea) dari Forum Lenteng. Saat itu, para partisipan mendiskusikan hasil riset tentang Cirebon. Para partisipan mencoba mengidentifikasi kota ini dari berbagai perspektif; sosiologis, antropologis, budaya, ekonomi, dan politik. Dari identifikasi itu muncul berbagai tanda-tanda yang mewakili Cirebon sebagai kota transit dengan percampuran etnis yang cukup kompleks. Juga, ditemukan bagaimana peran “keraton” yaitu Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Cirebon sebagai kota nelayan, transit, dan pesantren.
Selain mengunjungi workshop akumassa, aku juga mengunjungi aktivitas Gardu Unik. Salah satunya adalah aktivitas workshop/kursus melukis yang dilakukan di Saung Gardu Unik. Kursus ini diikuti oleh anak-anak umur 3 – 15 tahun. Para pengajar dari komunitas ini. Sampai saat ini murid yang mengikuti kursus ini 20 orang murid dengan tingkat umur berbeda.
Saung adalah tempat workshop yang disewa oleh Gardu Unik untuk kegiatan belajar dan mengajar. Bangunannya dibangun dengan swadaya komunitas ini berupa bangunan bambu. Di saung ini juga ada tempat workshop/kerja seniman binaan Gardu seperti Bapak Joni yang merupakan pematung kayu otodidak. Pak Joni, istri, dan anaknya tinggal di Saung, selain untuk bekerja membuat patung, ia juga diminta oleh kawan-kawan Gardu untuk menjaga Saung.
Saat aku mampir di Saung ini sedang ada aktivitas kursus melukis dan pak Joni yang sedang membuat patung pesanan dari seseorang langganannya. Patung-patung Pak Joni adalah patung yang melepaskan segala sekat-sekat tradisi. Aku sangat terkagum-kagum dengan intensitas seniman yang sempat dituduh sebagai pencuri ayam ini di kampungnya. Guratan-guratan kayu di patungnya begitu ekspresif, tidak peduli dengan kehalusan. Bagiku dialah “the real seniman” yang melemparkan hidup istri dan anaknya ke bongkahan-bongkahan patung kayunya.
Niko Broer banyak bercerita tentang orang-orang yang menjadi bagian dari Gardu Unik. Salah satunya Pak Joni seperti yang aku tulis di atas. Selain itu ada juga beberapa guru Sekolah Dasar dan Taman Kanak-Kanak yang bergabung dalam komunitas ini. Gardu Unik bekerja lebih dengan cara swadaya para anggotanya. Komunitas ini memang belum mempunyai sistem organisasi yang terstruktur. Sampai saat ini selain dana sumbangan dari anggotanya, Gardu juga menerima pemasukan dari aktivitas kursus yang mereka lakukan. “Meski tidak besar tapi cukuplah,” begitu menurut Niko.
Pada kunjunganku kali ini, Niko Broer juga mempertemukan aku dengan Bapak Cepi dan Ratu Arimbi yang merupakan salah satu tokoh penting dalam Keraton Kanoman. Dalam pertemuan tersebut Keraton Kanoman menceritakan keinginannya untuk membuat program-program kebudayaan yang melibatkan masyarakat Cirebon. Keraton Kanoman saat ini sudah hampir dilupakan oleh masyarakat Cirebon sendiri. Pada kesempatan itu aku mengusulkan kepada Bapak Cepi dan Ratu Arimbi untuk memulai mendata ulang arsip-arsip yang dimiliki oleh keraton dan mendokumentasikannya dalam bentuk digital dengan bekerjasama dengan Komunitas Gardu Unik. Pada kesempatan itu pihak keraton menyambut baik keinginan Niko yang ingin membantu dalam pengembangan potensi yang ada di keraton. Aku mengusulkan mungkin untuk Festival Jaga Kali 2009, keraton Kanoman bisa memberikan kontribusi yang lebih signifikan untuk Gardu Unik.
Pada hari terakhir di Cirebon, aku dan Otty Widasari mengunjungi keraton Kanoman. Kunjungan ke keraton yang sempat menjadi pusat kekuasaan tanah Jawa Barat ini begitu menyedihkan. Bagian depan keraton ditutupi oleh pasar Kanoman yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Kotamadya Cirebon. Pasar Kanoman begitu kumuh. Aku pikir semua pendatang tidak pernah tahu bahwa di belakang pasar yang semrawut ini ada sejarah Cirebon yaitu Keraton Kanomanan.
Namun, yang paling menyedihkan bukanlah tentang pasar yang ada di depan keraton ini. Tapi kondisi keraton yang saat ini difungsikan sebagai museum dan tempat tinggal Sultan dan kerabatnya. Gedung yang aku kira dulunya megah ini, sekarang kumuh dan rusak di banyak bagian. Aku sempat masuk ke pendopo utama dengan ditemani seorang pemandu. Saat aku masuk, lantai utama pendopo ini telah dilapisi oleh batu granit. Namun, karena cara kerja penggantian lantai yang tidak terkonsep, banyak bagian asli yang rusak. Di antaranya keramik-keramik pada abad ke 17 dari eropa dan Cina yang menempel pada beberapa bagian lantai ditiban begitu saja. Ruang pendopo ini juga sangat tidak terawat. Seperti rumah tua yang telah ditinggalkan penghuninya bertahun-tahun.
Kemudian pemandu mengajak aku dan Otty ke ruang museum. Saat aku datang museum ini terkunci. Setelah melalui permintaan Otty ruang museum bisa dibuka dengan membayar Rp 5.000 per orang. Saat aku masuk ke museum ini, lengkaplah kesedihan seperti yang aku ceritakan di atas. Kondisi benda-benda bersejarah ini sangat-sangat menyedihkan. Benda-benda peninggalan Sunan Gunung Jati, Rafles, dan banyak lagi benda-benda pemberian dari Gubernur Jenderal Belanda pada jaman itu ditempatkan dengan sangat sembarangan. Tidak ada informasi yang jelas tentang benda-benda itu. Pemandu yang mengajak kami pun sepertinya tidak mengerti benda-benda ini. Di sudut ruang museum ini air menggenang yang menetes dari langit-langit gedung ini.
Setelah berkunjung ke keraton Kanoman, kami menyempatkan makan di Bakso Mas Kinclong yang berada di pasar Kanoman. Aku dan Otty bertemu dengan Kiki dan kawan-kawan yang sedang melakukan riset lapangan program akumassa di kawasan Kanoman dan Pelabuhan. Bakso kami santap bersama sambil memperhatikan Mas Kinclong yang dengan muka kinclongnya melayani pelanggannya.