Karya berjudul Perahu Niaga (2006) itu saya anggap sebagai fasad pameran ini, yang juga mungkin menjadi simpul atas tema yang berusaha dihantarkan karya-karya dalam pameran Amrus Natalsya, “Terakhir, Selamat Tinggal, dan Terima Kasih.” Dikuratori oleh Mahardika Yudha, pameran yang berlokasi di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, ini menghadirkan karya patung dan lukisan kayu yang dibuat oleh Amrus Natalsya dalam periode 20 tahun terakhir, terutama kurun waktu 1998-2011.
Pameran ini menggarisbawahi dekade-dekade menjelang masa purna berkarya Amrus Natalsya. Melihat ulang jejak Amrus Natalsya sebagai salah satu pendiri dan anggota Sanggar Bumi Tarung, pameran ini membawa kembali semangat aktivisme Amrus Natalsya melalui praktik keseniannya dalam bentuk yang berbeda. Meski saya katakan berbeda, saya harus jujur bahwa pengetahuan soal beda ini saya dapatkan dari teks kuratorial di katalog. Bagi saya, pameran ini adalah tatapan pertama saya kepada karya-karya Amrus Natalsya. Pada tatapan pertama ini, napas aktivisme itu tetap kental terasa pada visual yang dihadirkan Amrus Natalsya, walaupun tidak dengan kemenggebuan yang biasa saya temukan pada karya seni lukis yang membawa intensi aktivisme. Ia justru hadir dengan semacam keceriaan, nyaris serupa utopia-isme yang menggiring imajinasi penonton tentang keidealan dunia jika ia dihadirkan sebagaimana baiknya. Sang kurator menghadirkan kepingan-kepingan utopian Amrus Natalsya menyoal permasalahan etnis Tionghoa di Indonesia serupa dengan sebuah diorama akan peristiwa-peristiwa massa.
Peristiwa-peristiwa massa itu ia hantarkan pertama-tama lewat dua buah puisi ciptaan Amrus Natalsya, yang bertengger di kanan-kiri pintu ruang dalam pameran, usai fasad tadi.
Jendela Terbuka
Lima puluh tahun jendela ini terbuka
Pagi malam menghadap bulan dan matahari
Tempat cahaya masuk memanasi rumah
Dan angin membawa wangi kembang melati
Lima puluh tahun jendela ini terbuka
Di dalamnya ada aku dan istriku
Juga anak kami yang masih kecil
Di dinding ada sajak Agam Wispi – tentang Latini
Ada sajak Klara Akustia – “Sebutkan Semua Penjara Itu Adalah Aku”
Ada sajak paman Ho Chi Minh – “Tunggu Aku Masih Berperang”
Ada sketsa poster tua lukisan Affandi – “Bung Ayo Bung”
Juga ada sketsa lukisan – Peristiwa Djengkol – Marsinah-dan Munir
Lima puluh tahun telah berlalu
Sajak dan sketsa itu masih ada
2011
Puisi itu seolah menghantarkan saya masuk ke diorama Amrus Natalsya. Lalu, dimulailah kira-kira perjalanan saya menelusuri kepingan bingkai Amrus Natalsya. Bingkai-bingkai itu, ukurannya, tak semua sama, tetapi nyaris semuanya berukuran di atas satu meter, kecuali satu bingkai yang berhadapan dengan kapal di fasad tadi. Kayu yang digubah menjadi kanvas itu rata-rata penuh dengan orang-orang mungil tak berwajah dalam tatanan ruang tempat mereka tinggal: kampung, kota, dan leburan keduanya. Sesekali, saya melihat warung-warung tengah ramai dengan aksi transaksi; figur-figur perempuan dengan atasan lengan panjang dan bawahan berupa kain. Mereka seolah sedang bercakap-cakap, menawar harga atau sejenisnya. Di lain sudut, di bawah payung-payung yang menaungi pedagang yang berjualan dekat muara, figur-figur lelaki terlihat seperti sedang duduk bersantai dengan gestur membungkuk. Mereka juga kelihatannya sedang bercakap-cakap. Gambaran ini saya dapatkan dalam satu lukisan berjudul Kampung Nelayan (2001). Gambaran semacam ini sangat akrab bagi saya meskipun pada hari ini tidak lagi kita saksikan perempuan-perempuan memakai kain jarik untuk kesehariannya.
Di lain bingkaian, Amrus membawa mata pengunjung pada memori tentang sungai yang jernih, Pasar Nelayan, Pasar Jembatan Besi, dan berbagai lokasi yang penuh keramaian massa. Ia dibangun tak hanya dari bangunan fisik yang menandai konteks, namun juga dari detail gestur tiap individu yang mengkonstruksi sifat massa itu sendiri. Kepiawaian Amrus yang menstilasi detail gestur-gestur lokal telah memungkinkan gambaran tentang situasi dan konteks sosial masyarakat yang dibayangkan Amrus tersebut terkomunikasikan pada audiensnya. Visualnya membawa serta semacam kesadaran tentang massa yang dihadirkan melalui individu-individu anonim yang tengah menjalankan kesehariannya. Logika penataan visual yang menekankan keruangan dwimatra yang—mungkin dapat saya katakana—terhubung erat dengan logika fotografi, sering kali menempatkan detail-detail keseharian warga ini dalam pembacaan lanskap bidang yang dibagi-bagi. Logika demikian saya temukan terutama dalam karya yang berjudul Pasar Apung (1998). Pada karya itu, lanskap sosial yang menyatu dengan alam ia bagi menjadi lima bagian, yang pada tiap bagiannya terrekam gestur-gestur lokal. Di titik ini, meski saya menganggap bahwa impresi yang dihadirkan lokasi tersebut mengingatkan saya tentang diorama, karena intensinya yang menghasilkan impresi akan peristiwa dengan gambaran habitat yang signifikan, tetapi kesan tentang pembagian bidang yang dilakukan Amrus tersebut justru mengingatkan saya pada visual-visual karya Andreas Gursky. Baik pada karya Amrus Natalsya maupun Andreas Gursky, lanskap sosial hadir sebagai bidang massa yang dapat dibagi-bagi berdasarkan imajinasi keruangan tertentu.
Namun, pada karya Gursky, detail dihadirkan hanya sebagai impresi sehingga sulit bagi mata manusia untuk menelusur masuk merekam gestur manusia. Pada karya Amrus, audiens dapat dengan mudah memindai detail-detail gestur dan adegan warga yang kemudian membangun lanskap sosial pada lukisannya. Di era hari ini, ketika pengunjung pameran umumnya berbekal smartphone berkamera, stilasi gestur itu menjadi sebuah potensi terbuka yang mengundang aksi balik dari pengunjung untuk “menerobos” masuk ke bingkai dunia Amrus dan membingkainya lagi dengan cara yang lain, zoom in salah satunya. Bagi saya, situasi ini bisa dibaca sebagai cara aktivisme Amrus bekerja. Ia menghadirkan sebuah memori baru tentang peristiwa-peristiwa dalam masyarakat multietnis yang utopis, sekaligus menghadirkan rekaman lama tentang lokasi-lokasi dan peristiwa massa yang bersumber dari laci ingatannya dari masa lalu. Semacam mempertemukan masa lalu dan masa depan untuk hari ini atau menawarkan visi yang dibangun dari memori dan imajinasi. Ia berlaku layaknya buah permenungan seseorang di ambang jendela, yang dimula dari keempatian mendalam, hingga ia melihat jauh ke luar dan mengandaikan ke depannya soal keidealan kehidupan masyarakat multietnis, arsitektur fisik dan sosial di sebuah lokasi dengan populasi yang padat namun cair.
Orang-orang Berjalan dalam Taman
Ada orang berucap
Mengapa seni panjang abadi
Sedang hidup pendek sekali
Seni adalah benda mati yang berjiwa
Dibuat oleh manusia
Dalam kecukupan cinta
Orang-orang berjalan
Dalam taman
Ada orang berucap
Ada anak manusia
Hidup tanpa jiwa
Dalam perjalanan (waktu itu di taman)
Setiap orang pengen hidupnya punya arti
Seperti bumi yang melahirkan kembang-kembang melati
Putih-putih-putih sekali
1981