“Sumber Daya Manusia harus dilestarikan”, kalimat itu menjadi topik utama pikiran kami untuk melakukan sesuatu. Komunitas Pasir Putih, diharapkan masing-masing punya kinerja individual yang mampu menyokong komunitas ke depan.
Perbedaan skill dan pola pikir coba disatukan menjadi sebuah pergerakan. Kesibukan kawan-kawan di luar komunitas pun terus berjalan sebagaimana biasanya. Gazali sebagai ketua tetap mengarahkan kami sebagai partisipan dan observer akumassa, serta Komunitas Pasir Putih untuk tetap eksis mengembangkan kreatifitas yang dimiliki.
*****
Terdengar suara sepeda motor berhenti di luar rumah ku. Seseorang mengucap salam “Assalamaul’aikum Leks”. “Wa’alaikum salam,” jawabku menimpali. “Silaq tama wah” (Silahkan masuk), kataku sambil asyik memainkan gitar dan memegang pulpen yang sesekali menari di atas kertas. “Aislaaah… sibuk rua batur” (Waah…, kayaknya temenku sibuk banget nih) sapanya mengagetkanku. Ternyata Jatul yang datang negunjungiku, kami pun berjabat tangan dan ku lihat keluar ternyata dia datang dengan kemumun (sepeda motor yang sering kami pakai di komunitas). Kami pun duduk di Berugaq (bale-bale).
Toels, araq apa seh selun-selun kejengoq? (Toels, ada apa sih tiba-tiba nongol?) tanyaku kepada Jatul.
Jatul : “Mula wah, melet q ngupi.” (Tidak ada, lagi kepingin ngopi ni)
Aleks : “Sante wah, lamun diq wah dait ite pasti seh diq mauq ngupi” (Santai aja kali, kalau sudah sampai sini, kamu pasti dapat ngopi)
Jatul : “Araoo diq ni, taon diq bae polong” (Kamu ini, bisa saja saudaraku). “Begini Leks, aku ke sini bawain ente surat dari komunitas kita (sambil memberiku surat tersebut. Ketika aku mengambil surat dari tangannya, Jatul tiba-tiba memotong pikiranku untuk membuka surat itu).
“Leks maaf aoq, lemaq-sejemaq wah ta ngupi,” (Leks maaf ya ngopi-nya besok-besok saja ya), aku harus mengantar surat-surat ini ke teman-teman yang lain,” ucap Jatul sambil menjabat tanganku untuk berpamitan.
Setelah sekian menit Jatul pergi, aku membuka surat tersebut dan membacanya.
“Kita akan mengadakan Pameran Photo, Video, Film, Gambar, dan Pementasan DRAMA ‘Mentang-Mentang Dari New York’ yang bekerjasama dengan rekan-rekan Teater Jamak Kampus II UNW Tanaq Song. Rekan-rekan diharapkan kumpul besok malam di Markas Komunitas Pasir Putih”.
Begitulah sepenggal kata dari surat undangan yang aku terima. Aku pun datang ke Markas Komunitas Pasir Putih dan bertemu dengan teman-teman di sana. Ternyata pertanyaan kami sama, yaitu tentang Pementasan Drama yang melibatkan kami di dalamnya?
“Sebagai komunitas kita merasa perlu membangun jaringan dengan komunitas-komunitas lain yang ada di Lombok Utara, dan ini sebagai ajang teman-teman untuk menambah pengalaman dan pengetahuan. Acara ini juga didukung oleh Teater NOL dan Teater Putih FKIP Unram Mataram dan Subagan Com.” tutur Gazali, Ketua Komunitas Pasir Putih.
“Tentu kita harus punya gambaran terkait dengan acara ini,” Sahut Maldi yang dibalas anggukan kawan-kawan.
“Acara Malam Pagelaran Seni ini membutuhkan peran aktif kita semua, karena acara ini justru membutuhkan keterlibatan teman-teman. Misalnya kita butuh musik, shooting video, foto, gambar, pemutaran video, baleho, pamflet dan booklet. Jadi, kenapa tidak kita ada di dalamnya? Bukankah ini acara kita?” Tambah Gazali dan semua kawan-kawan juga sepakat.
Hari pertama memasuki kampus membuat sedikit kaku dalam bertindak, karena kebiasaan bercanda dan tertawa tak bisa dilepaskan seperti ketika berkumpul dengan kawan-kawan di Komunitas Pasir Putih. Di luar kelas terlihat tiga orang perempuan dan dua orang laki-laki yang sedang berdiskusi. Mereka mendekati kami sambil berkata ”Selamat datang semuanya”, perkataan awal yang membuat suasana baru pikirku (dengan sedikit senyum kaku). Tanpa banyak basa-basi kami menuju ruang kelas. Kursi-kursi di ruangan itu masih tertata rapi, karena baru selesai dipakai belajar oleh mahasiswa-mahasiswi satu jam yang lalu. Kami pun duduk bersila di lantai untuk mendengarkan penjelasan dari Gazali. Kemudian Kami diperkenalkan satu persatu, baik dari pihak Komunitas Pasir Putih maupun dari pihak Teater Jamak.
Aku sendiri ditempatkan di bagian musik dan Maldi sebagai kameraman sekaligus mengkoordinir persiapan pemutaran video bersama Herlan. Sibawaihi ditempatkan pada Tata Lampu, Hanani dan Wiwin penyambut tamu untuk membagikan booklet akumassa sekaligus memberikan gambaran kepada pengunjung tentang video-video yang diputar. Jatul mengatur tata artistik dan mengkoordinir pameran gambar yang dia buat sendiri. Setelah pembagian tugas kami langsung mengosongkan ruangan dengan memindahkan kursi-kursi tersebut ke ruang sebelah dan kami bersihkan agar terlihat seperti gedung pertunjukan.
Untuk membuat tempat pentas terlihat manis, kami memasang kain hitam sebagai background ditambah empat kain kecil, dua dis ebelah kiri dan dua lagi di kanan. Untuk membuat kesan seperti ruang tamu (sebagaimana tuntutan naskah), kami mulai pada artistiknya. “Jatul, nanti ditengah-tengah kain kita pajang gambar Patung Liberty dan usahakan kamu saja yang gambar,” kata Gazali yang kemudian dianggukkan oleh Jatul. Kursi dan meja tamunya kami pakai yang terbuat dari bambu. “Baiklah, kita tunggu propertinya dulu dan langsung kita latihan agar Aleks punya gambaran untuk tata musiknya nanti, OK?” Tegas Gazali.
Malam Pagelaran Seni tinggal dua hari lagi. Setelah menyelesaikan persiapan pentas teater, kini tinggal mengatur tempat untuk pemutaran video dan film, serta pameran gambar. Untuk pemutaran video kami menyiapkan tiga televisi dan satu buah proyektor. Bahkan kami telah memasang baleho yang berukuran 2×3 meter di depan gedung kampus, pamflet juga sudah tersebar di sekolah-sekolah dan tempat-tempat berkumpulnya massa. Demikian juga persiapan booklet yang akan kami bagikan untuk pengunjung yang hadir. Persiapan kami rasa sudah cukup matang. Menunggu dua hari, membuat kami harus menginap di kampus sambil menjaga barang-barang penting kebutuhan acara.
Akhirnya, malam yang kami tunggu-tunggu datang juga, 20 Mei 2010 Malam Pagelaran Seni pun dimulai. Di luar gedung kampus terlihat pengunjung sudah banyak yang datang. Pihak kampus, dosen dan para tamu undangan juga telah hadir di lokasi pameran. Tepat 20.00 WITA acara kami mulai dengan pemutaran video akumassa. Baru setengah jam berjalan, tiba-tiba saja lampu mati. Suasana pun berubah, “Genset-nya teman-teman!” terdengar teriakan gugup sambil berlari ke stand panitia. Lampu pun menyala, tapi terdengar suara genset yang sedikit berbisik di telinga.
Panitia : “Maaf Pak, sekarang giliran kecamatan Tanjung mati lampu…”
Gazali : “Kenapa kalian tidak coba menghubungi PLN?”
Panitia : “Sudah Pak, kami sudah usahakan. Tapi, PLN minta maaf tidak bisa mengusahakannya karena jadwalnya sudah ditentukan.”
Gazali : “Ya sudah, yang penting kalian bisa atasi.”
Panitia : “Insya Allah, pak.”
Meskipun agak berisik genset itu membantu acara pemutaran video sampai selesai. Hingga berlanjut ke acara Pameran Gambar dengan tema Ekspresi, di mana terpajang sekitar 15 buah sketsa wajah-wajah manusia. Dengan pencahayaan seadanya, gambar-gambar tersebut terlihat jelas, membuat mata-mata tertuju pada coretan buah tangan Jatul tersebut. Panitia kemudian mengarahkan para pengunjung ke dalam gedung pertunjukan yang disambut dengan musikalisasi puisi yang dibacakan oleh Rohani (salah seorang mahasiswi) dan dinyanyikan oleh Sibawaihi dengan Nita sedangkan musiknya aku iringi sendiri.
Kini giliran para aktor untuk unjuk kebolehan. Pementasan drama dalam Lakon Mentang-mentang Dari New York segera dimulai. Lampu di dalam ruangan tersebut dimatikan, prolog mulai dibacakan, adegan diawali dengan video pesawat mendarat dari proyektor menembak bagian tengah kain background.
Perhatian-perhatian, sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandar Udara Selaparang Nusa Tenggara Barat, diharapkan kepada para penumpang untuk memakai sabuk pengaman dan terima kasih sudah terbang bersama kami”.
Begitulah seuntai kata dari pramugari. Sayup-sayup irama lagu populer jaman ini mengiringi munculnya seorang ibu yang sedih memandangi ruang tamunya yang berantakan, sampah-sampah yang berserakan usai pesta anaknya yang baru pulang dari New York.
Kami terkejut, tiba-tiba lampu mati. Suara-suara terdengar sibuk di belakangku, “Cabut wah Proyector ca!” (cabut sudah proyektornya!) teriak salah seorang panitia. Aku bergegas mencabut semua kabel listrik pada roll, aku berpikir ada yang terbakar. Aku lihat Gazali juga cemas dan tegang karena pementasan yang diharapkan berjalan lancar ternyata ada gangguan yang tidak ia duga-duga sebelumnya. Ternyata genset yang kami pakai tidak mampu menahan beban dari alat-alat yang kami pakai, pementasan akhirnya ditunda beberapa saat. Dalam suasana panik, seorang panitia mendekatiku “Genset ta wah dateng, laguq khusus baq salon kanca gitar doang. Laun sekeq an nu baq Keyboard kanca lampu,” (genset sudah datang, tapi kita pakai khusus ke sound system dan gitar saja, genset yang satunya lagi ke keyboard dan lampu).
Tak lama kemudian semua normal kembali, tepuk tangan dari penonton mulai membangun suasana baru.
Pementasan berjalan dengan lancar dan penonton menikmati pertunjukan tersebut sampai akhir. Drama Mentang-mentang Dari New York Karya Marcelino Acana JR ini mengisahkan tentang seorang gadis desa “Ikah” yang baru pulang dari New York dan berganti nama menjadi “Francesca”. Kehidupan New York membuat dia lupa akan eksistensinya dan berlagak sok modern, angkuh dan sombong. Ibunya pun dipermak sedemikian rupa dan berganti nama menjadi Nyonya Ardiles. Sikap, prinsip dan budaya baru yang dia bawa membuat dia tidak disukai orang-orang bahkan teman sekampungnya sendiri. Anen (pacar Ikah) dengan cinta dan kesabaran berhasil merubahnya dari Francisca kembali menjadi seorang Ikah gadis desa.
Setelah pementasan teater selama 55 menit tadi, acara dilanjutkan dengan pemutaran film. Antrian penonton keluar dari gedung pertunjukan diarahkan oleh rekan-rekan panitia ke halaman kampus. Dua film yang kami siapkan ‘mengocok’ perut pengunjung, membuat mereka tak bergeming sedikit pun dari tempat duduk mereka. Pemutaran film menjadi penutup acara Malam Pagelaran Seni yang kami adakan. Para pengunjung berlalu satu persatu meninggalkan halaman kampus UNW Tanaq Song. Kami mulai membagi tugas membersihkan lokasi dan mengamankan barang-barang. Sedangkan rekan-rekan mahasiswi menyajikan makanan.
Malam sudah larut, rasa capek melanda tubuh-tubuh yang seharian bekerja mempersiapkan acara. Teman-teman yang lain sudah merebahkan kepalanya, ada di musholla, dalam kelas, ada juga di teras kampus. Sementara yang perempuan, sebagian ada yang pulang dan ada juga yang menginap di rumah pemilik kantin kampus. Alasannya, agar tidak capek lagi bolak-balik karena besok pagi pekerjaan akan dilanjutkan kembali. Tapi, aku malah heran dengan beberapa temanku, Sibawaihi, Aldi, Jatul dan Eleng yang sepertinya tidak mengenal kantuk. Justru mereka malah sibuk melanjutkan nonton film sambil tertawa terbahak-bahak.
Gazali ,yang biasa aku sapa Prabu, menemani ku membuang rasa lelah dengan memandang langit-langit yang penuh dengan bintang sambil menikmati isapan rokok kretek dan segelas kopi. “Ternyata hidup itu penuh hikmah Leks,” ungkapnya memecah kesunyian. “Iya… ya… di rumahku saja, orang yang bernama Hikmah banyak sekali, ha… ha… ha…” Jawabku dengan dengan tawa renyah yang sedikit jahil. “Deq diq tao aran srius diq ni” (Kamu tidak tahu namanya serius) Prabu memukul ku dengan sapu lidi yang di pegangnya, dan tawa kami meledak mengisi ruang-ruang langit. Hingga akhirnya aku dan Prabu memutuskan untuk beristirahat lewati malam.
gilaaaaa…………. kalian memang gilaaaaaa!!!
jangan lupa cup2 ring buat prabu ya!
He,,,,, berkarya terus,,,
Pasir Putih….