Artikel ini telah dimuat di http://berajahaksara.wordpress.com/ (7 Agustus, 2014). Redaksi akumassa.org memuat kembali tulisan ini seizin penulis dengan ejaan yang disempurnakan.
_______________________________________________________________________________
Tidak banyak yang masuk sekolah hari ini meskipun sebenarnya hari ini adalah hari pertama masuk setelah libur puasa Ramadhan. Teman-teman sekelasku tidak banyak yang hadir. Setahuku juga, tadi malam, seorang temanku mengirim SMS (Short Message Service) bahwa mereka janjian tidak masuk sekolah.Hari ini memang hari Lebaran Topat. Mungkin di daerah lain istilah ini tidak ada. Hanya ada di Pulau Lombok saja. Lebaran Topat adalah lebaran yang diselenggarakan setelah enam hari puasa Syawal. Tepatnya, ritual ini dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal. Teman-temanku yang tidak masuk sekolah, mungkin sedari pagi sudah berada di lokasi-lokasi wisata untuk berlibur bersama keluarga, berkumpul menikmati kebersamaan di hari Lebaran Topat ini.
Akupun tidak mau kalah. Usai halal bihalal di sekolah, aku langsung bergegas pulang. Sebab, keluargaku juga akan memanfaatkan momen ini untuk berlibur bersama ke pantai. Sebab, Kabupaten Lombok Utara memang daerah yang berada di pinggir pantai. Dari sekian banyak pantai yang ada di Lombok Utara, kami memilih untuk mengunjungi Pantai Nipah. Keputusan ini diambil agar tidak perlu repot membawa banyak bekal dari rumah. Sebab, di sana banyak penjual ikan bakar. Jadi, sambil santai, sambil makan ikan bakar. Emmm… Sedaaaap…!
Kami berangkat dari rumah menggunakan sepeda motor. Menerobos ratusan sepeda motor yang juga berjejalan di jalan raya. Tampaknya, seluruh penghuni Pulau Lombok sedang merayakan Lebaran Topat ini. Semua membludak. Benar saja, ketika sampai di perempatan Pemenang, banyak sekali polisi lalulintas berdiri di tengah jalan, menertibkan kendaraan bermotor, yang semakin siang semakin ramai.
Perjalanan ke Pantai Nipah membutuhkan waktu sedikit lama dari biasanya. Jika kita ngebut, kemungkinan yang buruk akan terjadi. Oleh karenanya, kami melaju kendaraan dengan pelan. Seperti kata pepatah, “Biar pelan asal selamat.”
Siang itu, Pantai Nipah sudah dipadati pengunjung. Susah juga mencari tempat berteduh. Pondok-pondok yang disediakan oleh para penjual ikan bakar, sudah penuh oleh pengunjung. Awalnya, kami duduk di atas pasir. Namun, ketika melihat salah satu pondok yang ditinggalkan oleh pengunjung lain, kami segera mengambil alih tempat itu. “Siapa cepat, dia dapat…!” gumamku dalam hati.
Langsung saja orangtuaku memesan ikan bakar. Sementara ikan sedang dipanggang, aku menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di sepanjang bibir pantai. Meski indah, pantai ini terlihat tidak begitu menarik. Faktor utamanya adalah tidak dijaganya kebersihan dengan baik. Sepanjang pantai, misalnya, kita akan sangat mudah menemukan plastik-plastik makanan ringan, bungkus mi instan dan lain-lain. Belum lagi para pedagang ikan yang membuang tulang-belulang sembarangan, yang bisa sangat berbahaya jika tidak sengaja kita menginjaknya.
Ponselku berdering. Bapak menyuruhku untuk segera kembali. “Ikan bakar sudah siap,” katanya.
Aku segera bergegas kembali ke pondok yang tadi kami rebut, menikmati ikan bakar yang sedap dengan sambal terasi yang asoy. Tidak kusangka, sepiring nasi yang disuguhkan oleh penjual ikan bakar itu, habis kulahap. Apalagi, nasinya dicampur pelecing kangkung dengan kerupuk bakar yang sedap.
Makan sudah selesai. Kini, waktunya menikmati suasana riuhnya pengunjung Pantai Nipah. Bunyi-bunyi dentingan lonceng para pedagang rujak, musik elektrik dari para pedagang es krim, suara anak-anak bermain di pinggir pantai, suara gelak tawa orang-orang tua di atas tikar plastik, serta deburan ombak, membuat Lebaran Topat-ku kali ini sangat berkesan.
Suara adzan ashar membuatku tersadar, waktunya untuk segera melaksanakan sholat. Setelah sholat, aku akan segera pulang dan harus segera meninggalkan keriuhan tempat ini. Aku sholat di sebuah berugaq (bangunan seperti joglo yang bertiang empat) yang terletak di pinggir jalan. Di dekat berugaq tersebut, terdapat dua buah kamar mandi yang bersebelahan. Sebuah kertas yang ditempel di dekat pintu kamar mandi tersebut tertulis: Mandi: Rp 3.000, BAB: Rp 3.000, Wudhu: Rp 2.000.
Selesai melaksanakan sholat, aku bertanya kepada penjaga berugaq tersebut. Untuk siapa uang yang didapat dari usaha toilet dan tempat sholat itu? Bagaimana pengorganisasian keuangannya? Menurut keterangan sang penjaga, toiltet ini dibangun oleh koperasi. Maka pengelolaan keuangannya juga oleh koperasi, yang nantinya uang itu akan dimanfaatkan untuk perbaikan fasilitas di Pantai Nipah. Selain itu, ia juga memberikan keterangan bahwa puluhan lapak yang ada di sepanjang jalan di Nipah, dibangun oleh Pemda Kabupaten Lombok Utara. Untuk saat ini, penjual ikan bakar yang menempati lapak-lapak tersebut belum dikenakan pajak. Namun, untuk beberapa waktu yang akan datang, para penjual tersebut diharuskan untuk membayar pajak, sesuai ketentuan pemerintah yang belum ditentukan.
Ngobrol dengan penjaga berugaq itu pun tidak bisa lama-lama. Sebab, kami harus segera pulang. Yah, semoga semua orang bisa menjaga kebersihan dan kelestarian Pantai Nipah ini. Dan… sungguh liburan yang sangat mengesankan.
salam knal cin, http://www.facebook.com/ardian.hidayat3
sama anak lombok jdi temen yok di fb