Jurnal Kecamatan: Kasemen Kota: Serang Provinsi: Banten

Lauk Asin dari Karangantu

Avatar
Written by Fuad Fauji

Saat mereka akan menanyaiku. Aku meninggalkan mereka menuju Serang. Rencananya menemui beberapa kawan yang duduk di kursi pemerintahan.

Perselisihan

Kepergianku adalah untuk mencari tahu, apa masih ada peluang kerja paruh waktu yang mereka tawarkan tujuh hari yang lalu di bulan Februari. Bukan hanya atas dasar itu saja aku memutuskan pergi. Keadaan di rumah orang tuaku saat itu sedikit kurang nyaman. Kurang nyaman bagi si anak ketika melihat mereka berselisih atau silang pendapat tentang nasibku. Perselisihan merupakan perkara hukum adat dengan hukum berada. Antar kaidah dan peraturan, antara pendirian dengan pengalaman. Penyeleseian dengan menyingkir ternyata berbuntut pada temuan yang akan aku tulis.

Stasiun Karangantu

Stasiun Karangantu.

Kemunculanku di rumah orang tua setelah lima bulan lamanya menghilang membuat mereka bertanya didasari pada angan-angan mereka sebagai orang tua asuh. Hal ini sesuai dengan kebiasaan kini yang dialami banyak orang di daerah. Namun,Dan tanpa melupakan kenyataan-kenyataan atau fakta-fakta bahwa mereka bagian dari orang yang paling aku cintai. Pencarian materi adalah bekal untuk melangsungkan perjalanan hidupku dan generasiku kelak, tetapi tidak mengukuhkan secara prinsip itu akan berjalan mulus. Malam itu kupandangi meja makan dan adiku yang terkulai lemas mirip cacing. Ibu hanya seorang biasa, kulihat dia akan menghampiriku. Dadaku terasa sesak seperti ada batu besar merayap cepat ke batang tenggorokan. Aku sadar duduk di sampingnya hanya akan memperparah suasana. Tanpa sepatah katapun terucap, kutinggalkan rumah menuju Saidjah Forum. Situasi diri kuceritakan saat kawan-kawan Saidjah selesai berunding tentang diskusi ambilan gambar Pabrik Tahu dan Adjidarmo,  lalu aku pamit ke mereka. Perasaan dan perilaku sulit untuk di ajak berpura-pura. Kurencanakan dan akan aku lakukan esoknya. Pergi dari Lebak ke Serang.

Perjalanan

Masinis dan penumpang dalam gerbong

Masinis dan penumpang dalam gerbong.

Lebih baik datang awal daripada terlambat. Perjalanan menuju Serang menggunakan kereta, mengulang masa-masa saat sekolah tahun 2002-2007. Saat itu aku masih tidak banyak memikirkan beban hidup, tetapi kini sebaliknya. Maka pikirku saat keberangkatan dari Lebak. Sesampainya nanti di kereta, aku akan mencari bangku yang nyaman untuk merenung sejenak. Kereta biasanya tiba pukul 09:30 WIB, dan kereta akan pergi pukul 10:00 WIB. Idealnya, waktu akan menjadi patokan jika tidak ingin tertinggal. Situasinya lain, setengah berlari dari Saidjah Forum, dan hampir saja tertinggal. Kereta jurusan Serang sudah berjalan pelan menuju arah barat.  Aku berlari menelusuri rel dan segera meloncat menggapai pegangan gerbong. Sayang gerbong tidak ada pegangan, akhirnya sisi pintu yang dapat ku pegang. Tak sadar kalau yang ku naiki adalah gerbong depan. Gerbong yang akan sedikit banyaknya tertuliskan.

Pedagang bakul sedang duduk di dalam gerbong

Pedagang bakul sedang duduk di dalam gerbong.

Sesampainya di dalam gerbong, sudah tidak ada pilihan karena kursi di gerbong lain sudah pasti penuh terisi, aku melihatnya dari balik sambungan gerbong kereta. Gerbong berwarna biru yang dinaiki ternyata tanpa jendela dan kursi duduk. Di dalam gerbong, aku mengikuti penumpang lain, jongkok massal. Hanya masinis dan pedaganglah yang berdiri, dan bebas berjalan ke sana kemari. Aku berkerumun di tengah suara bising dan deru mesin kereta. Penumpangnya banyak di dominasi nenek-nenek. Mereka pedagang ikan asin dari Jambu, daerah yang banyak dikenal sebagai stasiun kereta api saja. Wilayahnya terbagi dua, sebagian masuk Lebak dan sebagian lagi masuk Pandeglang. Setengah melamun sambil jongkok melihat pematang sawah dari balik gerbong, sambil sesekali aku mendengarkan obrolan mereka. Penumpang itu asyik membicarakan hasil dagangannya, di pasar pagi Rangkasbitung. Penumpang lain banyak masuk ke dalam gerbong jika berhenti di stasiun. Gerbong tanpa kursi terasa cepat penuh. Saat itu kereta berhenti sedikit lama di stasiun Catang. Disinilah aku berbaur bersama obrolan mereka.

Mak Sarwiah, kedua dari kiri

Mak Sarwiah (kedua dari kiri).

Aku masih ingat dengan jelas obrolan mereka. Diketahui dari perkenalan, seperti mak Siti (75) seorang pedagang pete, dan mak Sarwiah (73) pedagang lauk asin. Keduanya mengaku dari daerah yang sama, Jambu. Saat aku menanyainya, “Dimana Jambunya?”.

Mak Sarwiah menjawab: “Jambunya sudah tidak ada, yang ada hanya pohon jambu kelutuk dan jambu air letaknya di dekat stasiun.”

Penumpang di sebelahku pun tertawa mendengar obrolan kami. Akupun melanjutkan pertanyaan kembali. Memangnya mak dagang apa?

Mak Sarwiah: “Mak dagang lauk asin dan dia dagang pete”, sambil matanya melirik ke mak Siti

Fuad: “Sudah Lama?”

Mak Sarwiah: “Sudah dari jaman dulu. Aceng darimana?”, dia balik menanyaiku

Fuad: “Dari Lebak Picung, Mak. Ikan asin dijual kemana mak?”

Mak Sarwiah: “Dijualnya pasti ke pasar, Ceng!!! Tapi biasanya sebelum di jual dibawa dulu ke rumah.”

Fuad: “Biasanya sebakul ikan asin yang dibawa dapatnya berapa yah (untungnya)?”

Mak Sarwiah: “Paling besar Rp.40.000,-. Bersih.”

Tiba-tiba mak Siti ikut dalam obrolan kami, “Aceng nanya-nanya mau jualan?”

Aku menjawab tidak.

Sawah dari jendela gerbong

Sawah dari jendela gerbong

Aku pun mengalihkan pertanyaan pada mak Siti. Dari mana dia belanja Pete. Dia menjelaskan, petenya di beli di Karangantu seharga Rp. 7.000,-/ikat. Satu ikatnya ada 15 papan. Dia membelinya dari pedagang asal Cinangka. Pete yang dijual biasanya milik kebun si pedagang. Cinangka merupakan daerah yang berdekatan dengan obyek wisata pantai Anyer, masuk dalam wilayah Kabupaten Serang. Tidak terasa, kami asyik ngobrol tentang Karangantu, penjualan, perjalanan, perkampungan di Jambu, lapak pasar pagi, dan lauk asin. Menurut mak Sarwiah, lauk asin tidak hanya dijual di pasar tetapi dijual ke kampung lain.

Lauk asin atau Ikan asin merupakan bahan makanan yang terbuat dari ikan yang diawetkan. Pengawetan lewat penambahan garam, proses penjemuran oleh sinar matahari. Ikan yang sudah melewati proses tersebut dinamai ikan asin. Menurut Wikipedia dalam penjelasan singkatnya:  “Ikan adalah anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup di air dan bernapas dengan insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata yang paling beraneka ragam dengan jumlah spesies lebih dari 27,000 di seluruh dunia. Secara taksonomi, ikan tergolong kelompok paraphyletic yang hubungan kekerabatannya masih diperdebatkan; biasanya ikan dibagi menjadi ikan tanpa rahang (kelas agnatha, 75 spesies termasuk lamprey dan ikan hag), ikan bertulang rawan (kelas chondrichthyes, 800 spesies termasuk hiu dan pari), dan sisanya tergolong ikan bertulang keras (kelas osteichthyes).” Sedangkan di daerah Lebak, ikan disebut lauk.

Penumpang membantu pedagang bakul naik ke gerbong

Penumpang membantu pedagang bakul naik ke gerbong

Sedang asyik mengobrol, mendadak kereta yang kami naiki berhenti. Penumpang yang berjongkok dalam gerbong pun kehilangan keseimbangan ke samping, depan, belakang, dan bertubrukan. Anehnya, tidak ada teriakan atau cacian atas kekagetan dalam peristiwa itu. Semuanya asyik ngobrol, dan hanya kembali meluruskan posisi jongkok masing-masing. Dan mereka pun melanjutkan obrolan. Akupun penasaran ingin berdiri dan menghampiri pintu kereta untuk melihat apa yang sebetulnya terjadi. Tetapi itu hanya keinginan belaka saja, karena tiba-tiba muncul dari pintu kereta seorang pedagang bakul dan pedagang telor asin sibuk menaikkan barang dagangan, dan sesekali dibantu penumpang dekat pintu itu. Aku menatap mereka agak lama. Pikirku, pemandangan ini sama sekali tidak berubah dari jaman dulu (2002-2007) dan kini masih terus berlangsung. Tidak tahu kapan berhenti. Sebuah kebiasaan atau sebuah perlawanan, sulit bagiku mengkategorikannya. Mereka (pedagang tradisional dan petani) bisa memberhentikan kereta sesuka hati. Stasiun yang ada bukanlah satu-satunya tempat pemberhentian wajib untuk kereta. Kereta berhenti di pematang sawah dan hutan bukan perkara besar. Itulah kereta dengan tujuan Serang-Cilegon-Merak. Tidak semua kereta bisa berhenti. Lain kali aku akan mencobanya dan menulis lebih detail tentang temuan kereta bisa diberhentikan di sembarang tempat.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

9 Comments

  • seperti itulah perjuangan hidup..dan mereka jarang mengeluh…
    gau salut abis.. pengalaman yang dashyat.. ayo buktiin bro sama nyokap bokap lu.
    bahwa kita bisa!

  • senyuman yang kau berikan selama ini pada kami menyisakan rasa optimisme besar pada diri. harapan – harapan sering kau taburkan pada kami acapkali kami terjemahkan dengan sangkaan2 positip. bro ternyata candaan – candaan pada kami selama ini hanya tuk menutupi segala masalah.. Mpoo.. kapan maen ke serang ??

  • waw……….
    fuat saya merinding membaca tulisan kamu matap……
    oh ya di padang ikan itu biasa di bilang lauk juga….

  • fuad,kali ini gue suka banget sama tulisanlo…indah nian, ad…jadi deh lo gue masukin ke daftar biro jodoh dan kasih sayang yang gue kelola. fuad, tetaplah ‘jongkok massal’ bersama orang2 ya. (kecuali kalau lagi kebelet itu urusan pribadi, jongkoklah sendiri, jangan ngajak2) karena jongkok massal itu kali makanya tulisanlo jadi gurihnyamnyam!!

  • bang………..fuad bener buangetz kt mba’ oty,
    n’ co2k l9e ma jelita wahahahahahahahaha
    (^0^)……….,

  • sebenarnya kawan-kawan di lebak ini sudah sangat bisa menjadi contoh bagaimana membaca persolan yang kecil menjadi “sesuatu”. Gw berharap semua kemampuan kawan-kawan di lebak ini dapat “ditransfer” ke video. inilah tantangannya. Gw yakin Saidjah akan menjadi besar kalau aktifitas menulis dan video dapat bekerjasama. salam Hafiz

  • Besar sekali harapan kami untuk itu, melibatkan, atau terlibatkan dalam sebuah penciptaan. Menelisik kepingan-kepingan kecil soal yang dekat dengan kami. Kami tidak ingin hanya beberapa tahun bertahan seterusnya menjadi mati. Pengorbanan terakhir kami yaitu terus bertahan, karena kematian saidjahforum tidak untukku, melainkan jika ia mati agar kalau mungkin kami masih nenjadi sesuatu yang berarti. Dalam kesukaran dan kesedihan, mudah-mudahan kami bisa melewatinya itu.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.