Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Lang-layangan

Lang-Layangan
Avatar
Written by Fuad Fauji
Luas petakan sawah di sela-sela perbukitan daerah Leuwidamar. Sepertinya hasil panen akan mencukupi setengah tahun hidup warga. Bagi warga yang memiliki lebih padi akan ditampung oleh para tengkulak. Gabah padi kotor dijual murah karena perubahan musim yang tidak menentu. Panen datang biasanya setelah Idul Fitri. Masa tanam dan panen padi di tiap-tiap daerah selalu berbeda waktunya. Tergantung melimpah atau tidaknya pasokan air ke sawah. Di sini, para petani hanya mengandalkan pasokan air dari kebaikan alam. Mereka akan membuat prediksi kasar berdasarkan pengalaman turun temurun, tentang tibanya musim kemarau ataupun hujan. Tradisi ini gelap dirasakan petani generasi sekarang. Suara gesekan dedaunan padi tertiup angin seperti jutaan manusia sedang berbisik-bisik akan hukum alam yang hina. Menyambut panen yang akan datang dan anak-anak di perkampungan menjadi gembira karena musim layang-layang segera tiba.

Pematang sawah di sela-sela perbukitan daerah Leuwidamar.

Jajaran pohon kelapa dan kiray tumbuh ditanam di jalan-jalan setapak petakan sawah. Rimbun daun pohon dijadikan tempat peristirahatan jika para petani kelelahan. Matahari tidak akan menghanguskan bumi dengan panas dan sinar kosmik yang begitu mematikan sampai akal cerdas manusia tidak mampu membuat perlindungan untuk menghadapinya. Nyala hijau warna pohon padi tua menyergap mata. Gerombolan belalang melompat menghindari ancaman hama burung yang melayang kesana-kemari mencari tumbuh buah padi. Sebentar lagi aku menyeberangi sungai kecil yang membelah-belah perkampungan di dekat rumah ibuku. Dua aliran sungai mengalir di sepanjang perkampungan, menjadi sumber kehidupan paling penting sekaligus sumber perselisihan. Ketika aliran sungai menggerus sawah salah satu kampung, maka warga kampung lain segera membuat susunan batu dalam keramba bambu. Membelokan aliran sungai kembali ke pesawahan tetangga kampung lain, begitu seterusnya. Cekcok mulut mereka akan menjadi tontonan paling katarsis semasa kecil. Sumber kerakusan dan ketamakan menggelapkan akal sehat mereka. Tetapi seiring waktu manusia tidak akan mampu menjaga kelestarian akibat kodratnya sebagai pemangsa yang rakus.

Para pembuat lang-layangan, atau umumnya disebut layang-layang, berkumpul di bawah deretan pohon kiray. Pohon yang banyak kegunaanya. Daunnya bisa digunakan untuk bahan baku atap rumah (hateup). Batang daun bisa dipakai untuk kayu bakar. Serat batang pohonnya adalah bahan baku sagu. Kulit pohonnya banyak digunakan petani sebagai talang air. Tetapi bagiku, pohon itu hanya sumber bahan baku mainan rumah dan mobil gabus. Daunnya bisa digunakan untuk main perahu-perahuan, dan getah dahan bisa menjadi bahan lem lang-layangan. Saat itu seseorang dari kerumun anak-anak menyarankan menebas dahan kiray muda. Sambil menunggu gembalanya. Anak-anak yang lain asyik bermain perahu-perahuan di pinggir kali. Perahu yang terbuat dari daun pohon kiray meliuk-liuk mengikuti arus sungai yang berakhir di irigasi tua. Irigasi bekas Belanda yang sudah dipugar kini tidak jelas fungsinya.

‘Tak ada rotan akar pun jadi’. Kertas dipotong menggunakan pisau raut (pisau yang terbuat dari lempengan paku). Para petani menamainya begitu. Biasanya digunakan untuk membuat ukiran pada gagang golok, arit, dan pacul. Kertas ragam warna dibentuk menjadi beberapa bagian. Dibuat pola, seolah tersusun menjadi semacam penyalur hasrat akan imajinasi liar, langsung ke tangan yang haus akan mainan. Masa panen tinggal beberapa bulan lagi. Hari kesembilan bulan Ruwah. Angin dingin kemarau turun dari perbukitan Pasir Eurih. Lengkingan suara burung hama terdengar sedih. Mereka tak kuasa berurusan dengan bebegig sawah petani sebelum menikmati buah padi.

“Bagus hasilnya, kan?” Kata salah satu anak.

Jumatra menjawab, “Tapi lebih baik hati-hati. Jangan sampai sobek kertasnya.”

Hembusan angin mengobrak-abrik rambut yang menebarkan aroma bulu ketek terbakar. Dua bilah bambu sepanjang 55 cm dan 60 cm, diserut halus dengan pisau. Tak lama kemudian Jumatra menggerutu sambil menggisik-gisik bola matanya. Rupanya sebelah mata anak itu terkena serpihan serutan bilah bambu yang tertiup angin. Ia ambil salah satu bilah bambu yang sudah terserut 55 cm, dan diukur 27 cm dari ujungnya. Seterusnya ia tandai dengan pisau. Lalu diambillah bilah bambu yang satunya lagi. Ia ukur 65 cm dari ujungnya dan ditandai lagi. Anak yang lain memegang kedua bilah bambu tadi. Satu persatu disatukan dengan tepat di tempat yang sudah diberi tanda. Kini sudah terlihat berbentuk salib. Lalu diikatlah dengan akurat supaya tidak miring dan tidak mudah lepas. “Masih besar sebelah kanan!” kata anak yang lain sambil menatap Jumatra yang akan menimbang kerangka layang-layang dengan benang jahit. “Cukup imbang, di sini!” ucapnya. Satu jam berlalu tanpa kejadian.

Jumatra mengambil gulungan benang jahit terlilit di kaleng susu bubuk bekas. Lalu diikatkan pada ujung bambu paling kanan. Kemudian menarik benang dari ikatannya ke ujung bambu paling bawah. Ia tarik benangnya, hingga bilah bambu sedikit melengkung. Setelah itu benang diikat di ujung-ujung paling bawah. Tangannya memegang ujung bambu paling kiri, dilengkungkan hingga seperti sayap kanan. Benang ditarik dari ujung kiri, ke ujung paling atas. Jumatra tidak membiarkan ada benang yang kendur rentangnya sedikitpun.

Selanjutnya ia tempelkan rangka layang-layang di atas kertas wajik yang sudah berpola warna lebah. Degan hati-hati ditekan dan diberi tempelan kertas hingga kerangka rapat pada kertas. Kertas dipotong mengikuti benang, dilebihkan 1 cm. Pada bagian kertas yang dilebihkan tadi dibubuhi getah pohon kiray sebagai perekat, lalu dilipat ke arah dalam sampai menutupi benang. Jumatra merogoh kertas warna-warni yang sudah digunting kecil dari kantong celana SD-nya. Bentuknya disesuaikan hati dan keinginan. Kertas dibubuhi getah untuk menutupi tulang ekor, tulang kepala, dan tulang perut layang-layang bagian dalam. Ditaruhlah layang-layang yang sudah siap tebang di bawah pohon kelapa agar kering, sedikit tersinari matahari. Setelah lem dari getah pohon kiray mengering, ia buat dua lubang kecil di tengah rangka, tepat pada pertemuan dua bilah bambu. Diikatkan benang jahit, direntangkan ke ujung kanan, lalu ke ujung bawah. Diikat di ujung bawah, agar layang-layangnya memiliki tali kama. Layang-layang diletakan di bawah rumput, ditariklah tali kama. Layang-layang bermotif lebah mengikuti tarikan tanpa berulah.

Tentu saja sudah jam tiga lebih. Tanpa pikir panjang lagi batang leher mereka mulai tengadah ke arah matahari.

“Hampir jam empat!”

Tiba-tiba bunyi teriakan kambing kesusahan memecah ketenangan. Dari semak-semak areuy yang banyak digunakan sebagai tempat kambing makan rumput. Rupanya kambing terlilit pohon semak. Matahari turun lebih rendah di sebelah barat, membawa kesejukan dan bau tahi orang yang mulai mengalir di tengah sungai muda.

Saking asyiknya memperhatikan mereka. Aku seperti dibawa mundur pada masa lalu. Memainkan layangan tersangkut di tiang listrik kota. Permainan lang-layangan datang dua kali dalam setahun di Lebak. Lang-layangan di tiap desa berbeda bentuk begitupun aturan mainnya dengan layang-layang di kota.

Permainan ini secara turun-temurun menjadi kebanggan anak-anak. Apalagi kalau layangannya buatan sendiri, bentuknya bisa dibuat sesuka hati. Jika sudah mahir, kita dapat membuat layangan berbentuk apa pun dengan rata-rata ketinggian mata anak-anak. Beradu tinggi dan kekuatan benang. Aku masih ingat bagaimana sahabatku kegirangan karena layangnya melebihi tinggi kapal terbang. Atau cerita sedih layangan plastik buatan Si Suramenggala yang ditelan awan dan tidak pernah kembali ke bumi.

Tali kama lang-layangan ditarik. Angin kencang mulai terasa disertai gemuruh daun pohon bambu. Layang-layang seperti hafal arah angin meliuk-liuk terus meninggi. Jumatra menarik layang-layangnya sambil sesekali mengulur gulungan benang dari bekas kaleng cat besi. Mengikuti arus angin hingga tampak lebih tinggi dari perbukitan. Para pengembala kambing menunggu para petarung layang-layang memamerkan puncak keahliannya. Adu tinggi dan kelincahan terbang. Layang-layang mulai berhamburan ke atas langit. Jumatra berjalan ke sana ke mari di tengah rumput lapang. Meninggalkan jejak rerumputan terkulai di belakangnya. Dengan segulung benang Cap Bedil ia akan menghasilkan ketinggian dua ratus kaki. Ia celaka karena hanya memiliki sisa puluhan meter saja untuk adu kekuatan benang.

Layang-layang ganas muncul dari balik perbukitan. Warnanya biru seperti langit. Layangan ini disebut layangan mata-mata. Sulit sekali mengetahui di mana ia dikendalikan. Tetapi dia hafal di mana musuh berada. Layang-layang biru mendekati Jumatra. Sementara Jumatra fokus sudah bertarung habis-habisan adu ketajaman benang dengan lawan. Mengulur benang sebanyak mungkin, hanya itu cara terakhir untuk memutuskan benang lawan. Sesekali saja kilatan merah dan putih warna layangan berputar-putar di atas langit. Tidak lama kemudian Jumatra menjerit-jerit tak jelas sambil membanting gulungan benang di kaleng susu bubuk bekas. Setengah percaya, setengah ragu, tidak tahu benar apa yang hendak dikatakan. Layang-layang biru putus. Benangnya numpang lewat di atas benang layang-layang Jumatra. Kerumunan anak-anakpun kecewa penuh prasangka. Soal ini menyebalkan bukan main, jauh lebih menyebalkan daripada hasil pertarungan hari ini. Padahal sudah empat layang-layang dikalahkan. Beberapa orang anak menyelendangkan layang-layang di balik punggung mereka. Lantas membubarkan kerumunan pulang ke rumahnya.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.