Dari kemarin-kemarin, temanku, Zikri, selalu saja menagih tulisanku tentang pabrik. Kenapa harus pabrik? Karena kini lingkungan itu menjadi tempat aku menghabiskan waktu, seharian. Untuk apa? Tentu saja untuk bekerja. Kata Zikri, “Seharusnya kamu punya banyak cerita yang menarik untuk bisa ditulis!” Oke, tanpa dibilang pun, aku sudah tahu. Makanya, aku menulis.
Pekerjaan ini memang benar-benar menyenangkan. Aku menemukan banyak hal unik yang sebelumnya tak pernah kuduga ada di lingkungan kelas buruh pada sebuah pabrik yang terletak di lokasi bernama Angkrong—sebuah pertigaan yang saban hari dipenuhi oleh barisan sepeda motor ojek dan angkot—sebuah pabrik di Parungkuda, Kabupaten Sukabumi. Mulai dari ritual upacara di pagi hari, coretan-coretan di dinding kamar kecil (yang terlihat seperti history percakapan di Yahoo Messenger), hingga aktivitas “perdagangan gelap” jualan cireng di antara para buruh pada jam kerja.[1]
Sebulan sudah aku menjadi seorang buruh di lingkungan pabrik itu. Banyak hal yang dapat diperbincangankan dari dalam sana. Di tulisan kali ini, aku ingin berbagi cerita tentang suatu hal yang membuat kita semua bekerja untuk mendapatkannya, yaitu gaji. Gaji di pabrik tempat aku bekerja itu, para buruh mendapatkan nominal gaji yang berbeda-beda. Ya, tergantung pada jabatan mereka.
Hari itu 18 Februari 2012, pukul delapan pagi aku berlari-lari menuju pos satpam dengan membawa amplop berwarna cokelat berisi persyaratan melamar kerja karena hari sudah cukup siang untuk jam kerja. Di sana sudah ada sekitar sepuluh orang perempuan pelamar lainnya yang membawa harapan sama sepertiku. Di sekitar pabrik itu, hanya kami yang terlihat berada di pos satpam sementara buruh-buruh yang sudah resmi menjadi pegawai telah “ditelan oleh raksasa”.[2] Dari gerbang, datang seorang pria setengah baya dengan motor besarnya melenggang melewati pos satpam yang berada persis di samping gerbang. Dia menggunakan topi wol pegawai villa, jaket dan tak lupa sarung tangan. Meski hari itu matahari sudah muncul terang, tapi udara dingin tidak juga menghilang.
Pria itu akhirnya aku ketahui bernama R, setelah dia masuk ke dalam pos dan memperkenalkan diri. Para pelamar lain menyodorkan amplop-amplop mereka kepada R, aku pun mengikuti mereka. Asumsiku saat itu, R adalah pegawai yang ditugaskan untuk melayani para pelamar kerja yang datang. Amplop-amplop itu kemudian dia taruh di bagian pojok meja. Hanya satu sampai tiga amplop yang dibukanya, salah satunya amplop dariku.[3]
Pidato pertama yang R kemukakan adalah tentang dua peraturan yang ada di pabrik tersebut bagi karyawan baru. Dan keduanya seputaran gaji. Pertama, karyawan akan dianggap sebagai karyawan magang pada dua bulan pertamanya bekerja. Sehingga upah selama dua bulan itu akan dibayar perharinya sebesar Rp. 28.030. Mengingat Upah Minimum Regional (UMR) di Kabupaten Sukabumi adalah Rp. 1.201.000, upah yang didapatkan oleh karyawan baru kurang lebih adalah setengahnya. Itu adalah kebijakan yang dibuat oleh pabrik tempatku bekerja. Tapi, bukankah kesepakatan tentang UMR itu telah ditandatangani oleh Gubernur Jawa Barat? Kedua, uang ‘gantungan’ akan diberikan jikalau karyawan sudah bekerja lebih dari satu minggu. Gantungan itu, maksudnya, upah tiga hari menjelang gajian yang disimpan oleh pihak pabrik yang akan dibagikan ketika karyawan tersebut keluar atau berhenti.
Kedua peraturan itulah yang aku dan kawan-kawan dengar. Di antara kawan-kawanku itu, ada beberapa orang yang sebelumnya sudah pernah bekerja di pabrik itu. Lalu, muncul pertanyaan dari salah seorangnya, “Saya pernah bekerja di sini selama tiga tahun, apakah upah saya sama seperti para pelamar baru lainnya?”
“Tentu saja, tapi kami akan lihat kinerja Anda terlebih dahulu!” R menanggapi.
Setelah tak ada pertanyaan lain, kami diminta untuk kembali esok hari untuk memulai pekerjaan dengan membawa materai tiga ribu dan sandal jepit.
Di bagian belakang rumahku, ada kamar kosong. Untuk menambah penghasilan, Ibu menyewakannya kepada seorang perempuan paruh baya, namanya Teh A. Dia bekerja di pabrik yang sama denganku. Aku jadi merasa ada kawan seperjuangan di rumah. Tak jarang, kami sering bertukar cerita tentang pekerjaan di hari-hari yang kami jalani.
Sebelumnya, Teh A bekerja di perusahaan yang sama, tetapi cabang kedua. Namun, dia berhenti dan memutuskan bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga. Kini, dia memutuskan kembali bekerja di pabrik, dan pilihannya jatuh kepada pabrik cabang pertama. Dia melamar ke pabrik ini sebagai karyawan baru meskipun sebelumnya sudah pernah bekerja di perusahaan yang sama[4].
Meskipun aku dan dia sama-sama pegawai baru, tapi gaji kita berbeda. Dan cara penghitungannya pun berbeda. Aku diupah perhari, sedangkan Teh A perjam. Pegawai yang dibayar perjam sering disebut dengan kata ‘borongan’. Biasanya para pelamar yang tidak memiliki ijazah sekolah akan mendapat bagian borongan ini. Sehari-harinya, Teh A berkutat dengan kertas-kertas tisu yang dibuat menggumpal menyerupai bola. Bola itu nantinya akan dipakai untuk mengganjal wig yang akan dipak.
Aku sebagai karyawan baru diupah sebesar Rp. 28.030 perharinya, sedangkan Teh A sebagai karyawan baru di bagian borongan diupah sebesar Rp. 3.000 perjamnya. Setelah dua bulan lamanya, gaji akan naik menjadi Rp. 3.700 perjamnya. Dan lagi-lagi aku bertanya, apa kabarnya kesepakatan tentang UMR yang ditandangani oleh Gubernur Jawa Barat?
***
Kata lemburan sangat melekat dengan pekerjaan dan para pekerja. Bukan pabrik, namanya, kalau tidak ada lemburan. Maksudnya, tambahan jam kerja. Hak dan kewajiban jam kerja untuk para pekerja umumnya adalah delapan jam dalam sehari. Begitu juga dengan tempatku bekerja itu, kami bekerja dari pukul setengah delapan pagi sampai dengan setengah empat sore. Setelah pukul setengah empat sore, bagi yang tidak diijinkan pulang akan kebagian jatah lembur. Tambahan jam kerja ini dibayar dengan tarif perjam sebesar Rp. 6.900. Bagi karyawan sepertiku yang saat ini masih menjadi karyawan magang, lemburanku dibayar sebesar Rp. 4.800 perjamnya. Dan untuk Teh A yang berada dibagian borongan, tidak ada istilah lemburan, karena mereka dibayar perjam.
Lemburan dibagi menjadi dua periode, yaitu pukul enam sore dan pukul setengah sembilan malam. Biasanya, bagian borongan akan diijinkan pulang pukul setengah sembilan setiap hari kerja. Setelah bekerja selama dua minggu, aku selalu mendapat tugas lembur, minimal sampai pukul enam sore. Tak jarang, saat hari-hari menjelang tenggat waktu ekspor barang oleh perusahaan tempatku bekerja itu, aku pulang setengah sembilan malam. Dan kini, aku benar-benar ditelan oleh raksasa itu.
Pernah satu kali aku berangkat kerja bersama Teh A. Maklum, biasanya kalau jarum jam belum menunjukkan pukul tujuh pas, aku enggan untuk berangkat. Teh A biasanya berangkat pukul setengah tujuh, katanya sih biar bisa istirahat dulu sebelum kerja. Dalam perjalanan, Teh A bergosip tentang Oni (panggilan untuk bos Korea) yang marah. Gosip ini tak jauh-jauh dari soal gaji.
Katanya, biasanya perusahaan tempatku bekerja itu mengeluarkan uang untuk membayar gaji karyawan sebesar Rp. 6 milyar setiap bulannya. Akan tetapi pada bulan ini, pengeluarannya membengkak hingga sebesar Rp. 8 milyar. Menurut gosip yang beredar di kalangan buruh, kemarahan Oni muncul karena ia merasa bahwa membengkaknya pengeluaran itu disebabkan oleh terlalu banyaknya pekerja yang kebagian jatah lemburan.
Gosip ini wajar muncul di kalangan para buruh. Sebab, beberapa hari ini kami jarang mendapatkan lembur sampai pukul setengah sembilan malam. Pada hari-hari sibuk, seperti menjelang ekspor barang pun, kami tetap pulang pukul enam sore. Gosip lainnya menyebutkan bahwa membengkaknya pengeluaran perusahaan disebabkan juga oleh semakin bertambahnya karyawan-karyawan setiap harinya. Menurut Teh A, katanya penerimaan karyawan baru yang terus-menerus bertambah itu merupakan salah satu cara Oni untuk berjaga-jaga jikalau ada karyawan yang memutuskan untuk berhenti kerja.
***
Tanggal lima adalah tanggal yang paling ditunggu-tunggu oleh para buruh pabrik: waktunya gajian! Pada pukul setengah empat sore, nomor yang tertera di time-card[5] karyawan dipanggil satu persatu. Tapi pemanggilan itu sebenarnya tidak berpengaruh banyak, karena buruh-buruh sudah berkerumun di pos-pos pembagian gaji. Para pekerja ini seolah tak sabar untuk melakukan semacam pesta-foya membeli berbagai barang, baik bagi keperluan pokok maupun barang-barang tersier lainnya.
Tidak hanya parah buruh pabrik yang menunggu-nunggu tanggal lima, para pedagang yang biasa mangkal di pekarangan si ‘rakasasa’ pun menunggu dengan ragam atribut dagangannya: terpal lebar, kayu-kayu penyangga tenda, persis seperti bazaar di acara-acara besar semacam festival atau sejenisnya. Ini lah pesta versi buruh di pabrik tempaku bekerja itu.
Aku sering bercerita kepada Zikri tentang peristiwa massa yang terjadi di tanggal lima itu. Memang, sebagai karyawan baru, aku juga mendengarnya dari buruh-buruh yang sudah lama bekerja. Pokoknya, tanggal lima adalah tanggal untuk menghambur-hamburkan uang.
“Widih, kaya, dong?! Padahal gajinya cuma segitu… berapa, gak nyampe dua juta, kan?” ujar Zikri satu kali.
“Iya, tapi bagi masyarakat sini itu udah banyak banget! Hidup di sini kan gak mahal,” aku menanggapi.
Jawaban itu berdasarkan pengalamanku selama berada di Parungkuda. Rata-rata harga barang kebutuhan di sini memang murah. Dengan kata lain, dengan penghasilan seadanya, masyarakat dapat hidup ‘mewah’ dan mengkonsumsi barang-barang yang tak kalah mode dengan masyarakat kelas menengah ke atas.
Lain halnya dengan di Ibukota, Jakarta, tentu biaya penghidupan sangat tinggi. Gaji yang kurang dari dua juta tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Aku ingat, pernah melihat beberapa buruh di pabrik yang mengenakan seragam dari nama perusahaan lain, yakni PT. M. Logo perusahaan itu sama dengan pabrik tempaku bekerja. Menurut dugaanku, itu semacam cabang perusahaan pabrik ini. Katanya, sih memang di setiap periode tertentu, selalu ada karyawan dari PT. M di Jakarta yang dialihkerjakan ke pabrik ini di Parungkuda untuk sementara waktu. Tapi, gosip baru yang beredar belakangan ini mengatakan bahwa perusahaan tempatku bekerja ini memang punya agenda akan membangun sebuah pabrik baru di Parungkuda, yang nantinya akan diisi oleh karyawan-karyawan di PT. M Jakarta itu. Beberapa kawan sesama buruh sempat menceritakan gosip bahwa PT. M di Jakarta itu hampir bangkrut karena terkendala oleh tuntutan membayar gaji buruh sesuai batas UMR DKI Jakarta. Beberapa kawan buruhku menduga bahwa karena UMR di Jakarta itu sekitar dua juta-an, PT. M memutuskan pindah ke Parungkuda supaya dapat membayar gaji sesuai dengan UMR Kabupaten Sukabumi. Dengan kata lain, mendapatkan tenaga kerja dengan tarif murah.
Nah, ini sesuatu yang menarik menurutku. Berangkat dari menimbang-nimbang soal gaji yang kuterima setiap bulannya, ternyata aku mendapati kenyataan bahwa sistem memang bisa bermain-main dalam hal ini. Ujung-ujungnya, buruh dan kelas bawah lagi yang menjadi korban. Sampai kapanpun, si raksasa tidak akan pernah kenyang, dia akan terus menelan begitu banyak buruh tanpa harus membayar mahal. [6]
Parungkuda, 31 Maret 2013
Artikel ini sudah pernah dimuat oleh penulis pada blog pribadinya, yakni www.dariwarga.wordpress.com
kenyataan realitas, gilaaa…keren Di…
Sebagai sesama buruh, saya salut dengan penulis yang bersedia berbagi cerita tentang suka-duka pekerjaan di pabrik. Selama ini, memang, kami para buruh masih mendapat perlakuan tidak adil dari para kapitalis yang tahunya hanya menindas dan memeras tenaga kami. Saya berharap dengan tulisan ini, semua orang jadi tahu bagaimana perjuangan kaum buruh. Juga negara dan aparatur pemerintah, semoga lebih perhatian kepada nasib buruh. Tanpa buruh, nasib perekonomian bangsa ini tak akan ada apa-apanya. Hidup buruh!!!
Interpretasi yang menarik, Anda menggunakan kata “raksasa” sebagai metafora pabrik yang menjadi “mesin” dan buruh adalah sumber energinya. Tulisan yang ringan, tetapi sarat dengan persoalan sistemik yang sudah mengakar di bumi pertiwi ini. Salut…
Mengingatkan saya pada obrolan saya dengan ibu saya sore tadi. Sebagai anak buruh, saya mengerti sekali kondisi-kondisi yang Dian ceritakan.
Dari sudut pandang Dian yang terjun di sana langsung, adakah hal yang bisa dilakukan untuk memutus “kesewenang-wenangan raksasa” itu?
Oya, salam kenal…
:))
tulisan yg brani, tp tdk menggurui… sebuah curahan hati buruh, tp tdk bersedih-sedih hati… terasa ad jiwa optimis… terimakasih.
Data dan fakta yang pasti menggugah teman-teman di kota yang mapan. Penyajiannya yang halus membuat kepahitan-kepahitan menjadi tawar dan wajar. Entah apa namanya, eufemisme, optimisme? Keep reporting, Dian!
Inilah arti yang sebenarnya tentang…Hidup Buruh!! Hidup Mahasiswa!!
Menjalani keseharian sebagai seorang buruh dan mengkritisi kesehariannya sebagai seorang buruh.
Tulis terus brohhhhh………….. ketika mahasiswa cuma onani atas nama buruh, begitu juga pihak yg lainnya.
Juga kalo bisa penulis mengajak temen2 sesama buruh yg lain, supaya masif.
Saya suka tulisannya ! Sedikit bisa membayangankan kehidupan para buruh. Apakah tulisan tentang 3 topik yang sempat disebutkan diatas sudah tayang ?
Saya suka tulisannya…menggambarkan apa adanya kehidupan pekerja