Duduk di gazebo (sebuah pendopo terbuka beratap genteng biasa. Di tiap sudut pendopo tesebut ada beberapa meja dan bangku permanen terbuat dari semen untuk orang singgah beristirahat) Universitas Brawijaya, sebuah kampus ternama di Kota Malang, Jawa Timur, membuat aku kembali merasakan suasana kampus beberapa tahun silam. Saat itu aku asyik mendengarkan cerita para mahasiswa yang baru saja menghadiri Seminar Proposal seorang teman mereka.
Seminar Proposal, seperti yang aku ketahui sejak jaman aku masih kuliah dulu sampai saat aku mendengarkan percakapan para mahasiswa di gazebo itu, tak ada yang berubah. Merupakan sebuah proses yang harus dilalui oleh setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan skripsi, di mana dalam seminar itu membahas mengenai abstraksi dari skripsi mereka. Seminar tersebut biasanya dihadiri oleh rekan-rekan sesama mahasiswa lain. Bagus, menarik atau tidaknya isi skripsi dari seorang mahasiswa dapat dilihat dari banyaknya mahasiswa yang menghadiri seminar tersebut. Namun sebenarnya, dulu para mahasiswa biasanya lebih tertarik dengan konsumsi apa yang disuguhkan dalam seminar. Si pelaksana seminar harus menyediakan konsumsi berupa kue-kue kecil bagi para peserta seminar dan dosen pembimbingnya. Selain itu juga, ada prasyarat yang harus dipenuhi oleh seorang mahasiswa untuk melaksanakan seminar proposal mereka. setiap mahasiswa yang ingin melaksanakan seminar, terlebih dahulu harus memiliki kredit absen sebanyak minimal 20 kali mengikuti pelaksanaan seminar mahasiswa lain. Itu kenapa acara seminar selalu dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa sesama jurusan.
Dulu, saat aku masih kuliah di kampus ini, aku pernah mempunyai pengalaman lucu. Waktu itu aku dimintai tolong oleh temanku yang akan melaksanakan seminar proposalnya, untuk mengundang teman-teman agar datang menghadiri seminarnya. Saat aku mengundang beberapa teman, 20 persen dari mereka menanyakan judul serta isi dari proposal temanku. Yang 80 persen sisanya menanyakan kue apa yang akan disediakan di seminar tersebut. Dapat kita bayangkan seberapa menariknya sebuah seminar karena suguhan kue yang disediakan gratis oleh mahasiswa bersangkutan.
Aku juga memiliki pengalamanku sendiri dalam seminar proposalku. Saat itu aku tinggal di sebuah rumah kost yang cukup dekat dengan kampus. Karena begitu disibukkannya oleh urusan mulai dari fotocopy, mengundang dosen pembimbing, mencari moderator, sampai-sampai aku melupakan bahwa aku harus memesan kue-kue untuk konsumsi teman-teman yang akan menghadiri seminarku. Sampai satu hari sebelum seminar, aku masih tidak ingat tentang konsumsi acara seminar. Tiba-tiba seorang temanku bertanya, “Ni, besok lo (seperti juga aku, kebanyakan temanku berasal dari Jakarta juga) nyediain kue apa buat teman-teman?” Untung temanku mengingatkanku akan hal tersebut. Dengan kebingungan aku menanyakan teman-teman yang sudah melaksanakan seminar sebelumnya. Mereka merekomendasikan sebuah toko kue yang kebetulan letaknya tak jauh dari rumah kostku. ‘Toko Kue Mba Yuni’ namanya. Mereka bilang kue di toko itu harganya cukup terjangkau bagi para mahasiswa, di mana harga satu buahnya masih 500 rupiah saja (saat itu tahun 2003). Saat itu aku membeli 20 buah kue bolu, 20 buah kue cum-cum, kue yang bentuknya hampir mirip dengan croissant (roti khas Perancis), berisi susu atau saus fla dengn harga per-buahnya 600 rupiah, serta 20 gelas plastik air mineral dengan harga satuan 250 rupiah. Jadi saat itu aku yang anak kost dengan uang pas-pasan, harus mengeluarkan uang sebanyak Rp.27000,-. Seharga tagihan listrik kost untuk 2 bulan.
Untungnya aku sengaja hanya mengundang sedikit teman-teman untuk hadir, karena aku tidak ingin terlalu mendapatkan banyak pertanyaan dari mereka atas penelitianku. Karena kondisi keuangan saat itu sedang tipis, aku cukup menyediakan sesuai dengan undangan yang ada, yaitu 15 orang saja. Beruntungnya aku, saat itu adalah liburan semester. Jadi mahasiswa yang ada di kampus hanya mahasiswa yang memiliki keperluan saja. Kueku cukup untuk peserta seminar. Bahkan masih lebih, karena seminarku hanya dihadiri oleh sekitar 12 orang saja. Ditambah 1 dosen pembimbing dan 1 dosen penguji.
Sore itu tepatnya 28 Januari 2010, aku berada di kampus itu kembali, setelah beberapa tahun sudah aku meninggalkannya. Aku datang untuk melegalisir ijazah, demi suatu keperluan. Karena lama menunggu dosen yang akan kumintai tanda tangan, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di titik yang selalu menjadi tempat singgahku. Tepat di gazebo Fakultas Pertanian. Gazebo yang selalu menjadi tempat pertemuan kami para mahasiswa yang ingin mengerjakan tugas yang diberikan dosen yang seharusnya dikerjakan di rumah. Namun dengan alasan agar kompak, maka kami mengerjakan tugas kuliah bersama-sama di gazebo kesayangan. Ada juga yang hanya sekedar duduk untuk bercengkrama atau mencari perhatian dari para mahasiswi baru yang lewat.
Kami ngobrol-ngobrol panjang lebar setelah tidak sengaja berkenalan. Hari itu Umbu yang sedang duduk sendirian di gazebo, mendekatiku dan menanyakan maksud kedatanganku di kampus itu. Akhirnya kami pun saling tukar cerita. Aku menceritakan betapa sulitnya birokrasi yang ada di kampus ini dan betapa melelahkannya menunggu dosen hanya untuk meminta tanda tangannya. Kampus yang memiliki gedung-gedung berbeda untuk tiap jurusan, cukup membuatku lelah. Ditambah aku harus berjalan kaki menaiki tangga tiga lantai. Umbu pun bercerita tentang hal yang tak jauh beda. Dia selalu berhadapan dengan birokrasi rumit yang dia alami selama kuliah di kampus ini. Seperti untuk mengurus nilai, bertemu dengan dosen dan hal-hal berkaitan dengan birokrasi kampus semacam itu.
Tak lama aku pun masuk ke gedung yang berada tepat di samping gazebo untuk kembali mendatangi dosen yang harus kumintai tanda tangannya. Aku pamit kepada Umbu. Namun ternyata sang Dosen belum juga datang. Aku turun dari lantai tiga gedung yang memang belum mempunyai fasilitas lift ini, dan kembali duduk di gazebo. Namun saat aku kembali di gazebo, tak kujumpai Umbu.
Tak lama kemudian ada seorang mahasiswa datang menghampiriku. Menurutku, dari nama dan garis mukanya, anak ini tak berasal dari Pulau Jawa. Dan ternyata benar, setelah kami saling kenal dia bilang asalnya dari Sumba, Nusa Tenggara Timur. Umbu namanya, dia mahasiswa Alih Jenjang dari Sumba. Dia dari jurusan Budi Daya Pertanian, sama seperti aku. Kalau aku dulu mengambil Program Studi Hortikultura yang spesifik pada budi daya tanaman hias, buah dan sayuran, Umbu mengambil Program Studi Agronomi yang lebih mencakup bidang pertanian secara luas. Kulitnya hitam. wajahnya lumayan manis. Suaranya yang lembut sangat tak sesuai dengan wajahnya yang terlihat sedikit keras.
Tak lama kemudian beberapa mahasiswa datang dan duduk di meja dekatku. Ada Umbu di antara mereka. Lalu dia memperkenalkan aku kepada teman-temannya. Ada Tita yang sedikit pemalu dan beberapa mahasiswa lainnya yang tak sempat kutanyai namanya. Dengan penuh semangat Umbu memberikan aku sebuah bungkusan berisi kue-kue yang kebetulan kesukaanku. Sambil tersipu-sipu ia berkata, “Mbak, kuenya dimakan.”
Sambil tersenyum dalam hati, aku menerima bungkusan kue yang lumayan banyak dari Umbu sambil menanyakan asal kue tersebut yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Umbu menjawab dengan bangga, “Dari seminar temanku, Mbak.” Aku teringat kembali kenangan beberapa tahun yang lalu. Ya…ternyata tradisi kue seminar itu masih terus berlangsung hingga kini. Kue yang selalu menjadi alasan bagi para mahasiswa untuk datang menghadiri seminar mahasiswa lainnya. Kue yang selalu menjadi pokok pembahasan selain mengenai isi dari proposal yang akan dibahas dalam sebuah seminar.
Lucu juga. Kampus tidak cuma meninggalkan kisah akademik saja, tapi juga kisah-kisah di balik itu. Ditunggu lagi, ya, tulisan dari kampus-kampus lainnya.
Nia, menulislah terus. Karena tulisan adalah salah satu senjata kita untuk terus bertahan dalam arus perubahan di dunia. Salam Hafiz.
aih.. repot juga ya seminar.. tak disangka musti begituan. soalnya saya ga lama lagi semonar proposal juga ToT