Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Kopi Hanya Sebuah Nama Kampung di Lebak #2

Kopi Hanya Sebuah Nama Kampung Di Lebak #2
Avatar
Written by Fuad Fauji
Peristiwa itu aku lihat dalam perjalanan mencari seorang kawan, Syuhada, di Serang. Aku menyempatkan diri mampir ke Merak sambil menunggu kabar darinya. Butuh dua jam perjalanan dari Lebak ke Pelabuhan Merak menggunakan kereta api. Di atas kapal ferry menuju Lampung, dua anak laki-laki yang masih umur belasan tahun memegang erat batangan pagar besi pengaman. Seorang laki-laki berusia 40 tahun melambai-lambaikan sapu tangan kecil dari kantong saku celananya. Anak dan istrinya membalasnya dengan melambaikan tangan kiri-kanan dari balik kaca jendela gerbong kereta di stasiun. Di Merak, tempat pemberhentian kereta dan pelabuhan dibuat menyatu. Cukup jauh jaraknya jika berjalan kaki menuju sandaran kapal. Tetapi mata mereka yang penuh perhatian sangat awas dari kejauhan. Keduanya memberikan tanda perpisahan yang sudah lazim bagi para petani dari Lebak yang menuju Lampung. Peristiwa itu mengingatkanku pada orang tuaku dan para tetanggaku yang selalu bepergian ke Lampung. Dulu.

Perkampungan di Rangkasbitung, Lebak, Banten.

Pada tahun 1986, di Lebak, orang tua laki-laki sudah pasti akan menjadi tulang punggung keluarga. Hingga saat ini aku kira prinsip itu masih berlaku. Dan istrinya bertanggung jawab mengurus anak dalam rumah tangga. Mereka akan melatih anak laki-lakinya yang sudah menginjak dewasa untuk belajar bekerja untuk dirinya. Begitupun anak perempuan. Sang anak akan diajari bagaimana menyiapkan masa depannya menjadi lebih baik menurut caranya, sebagai warga kelas pekerja. Dan kelak kedua orang tuanya memakai rasa bijaknya untuk tidak menuntut apapun kecuali berdoa dan berharap anaknya menjadi orang yang bisa memperbaiki statusnya sebagai pelanjut riwayat.

Kapal penumpang berkapasitas seribu orang siap berangkat. Suara bunyi peluit kapal melengking memecah jutaan suara gulungan-gulungan ombak air laut di dermaga. Aku berusaha keras mengingat secuil peristiwa lama yang sudah dua puluh lima tahun silam. Memiliki ayah yang sering bepergian ke luar daerah telah menjadi hal biasa bagi anak-anak di pinggiran Kota Lebak, termasuk aku. Semasa kanak-kanak aku berusaha untuk tidak mempedulikan hal itu. Persoalan itu di luar pikiranku pada masa itu. Pada tahun 90-an orang tua dan laki-laki yang sudah menginjak dewasa di daerahku biasanya pergi bekerja dengan waktu yang cukup lama. Kerja apa dan kemana mereka bekerja aku juga tidak tahu. Tetapi pada saat itu ibuku banyak mendongeng menjelang tidur tentang kesuburan daerah Lampung. Terkadang ia lantunkan sepenggal lagu yang dikenalnya ketika ia di Lampung, untuk pengantar tidur:  “Kamana jalan Kaliwa, Teluk Bitung, Tanjung Karang, kamana jalan ka Jawa. Rangkasbitung nagara urang.” (Kemana jalan Kaliwa, Teluk Bitung, Tanjung Karang. Kemana jalan ke Jawa. Rangkasbitung negeri kami). Dan fantasiku segera masuk ke dalam hutan luas,  lembah, perbukitan dan tinggi gunung.

Bagi mereka itu jalan satu-satunya yang bisa ditempuh untuk memperpanjang kelangsungan hidup. Tidak ada yang bisa menghindar dari kesulitan ekonomi saat itu. Tetanggaku di Lebak bersusah payah melewatinya, masa depan yang kian tidak menentu. Mereka biasanya membuat rombongan kecil untuk pergi ke Lampung. Melakukan perjalanan dari Lebak menggunakan kereta api menuju Pelabuhan Merak. Biasanya mereka memilih pergi sebelum musim hujan tiba. Alasannya untuk menghindari musim muriang Lampung (sakit Lampung/penyakit Lampung), sebutan untuk penyakit mematikan, malaria. Tidak sedikit pemuda dari kampungku meninggal begitu saja terjangkit penyakit muriang Lampung. Sangat kecil kemungkinan bisa bertahan lama dari serangan muriang Lampung. Jarak yang sangat jauh menuju rumah pengobatan menyebabkan banyak yang meninggal di tengah perjalanan.

Sekali lagi, kata ‘Lampung’ tidak asing bagi telingaku, begitupun bagi telinga orang-orang Lebak. Bertanya soal Lampung, maka akan keluar kisah-kisah kesuburan tanah dan kisah ironis migrasi warga. Mereka pergi bukan untuk kopi, lada, dan cengkeh. Umumnya niatan mereka memperbaiki nasib. Orang-orang yang pulang dari sana akan membawa kopi dalam bentuk yang sudah digiling maupun mentah dalam karung. Untuk kopi yang sudah ditumbuk di sana, disebut Kopi Lampung. Biasanya biji kopi mentah dijual ke toko-toko milik pedagang Cina di Rangkasbitung.

Adakah perkebunan kopi di Lebak? Sepengetahuanku tidak ada. Kopi di Lebak hanya sebuah nama perkampungan saja. Kampung Kebon Kopi. Perkampungan yang banyak dihuni oleh para pedagang di Pasar Rangkasbitung tidak memiliki pohon kopi. Nama perkampungan Kebon Kopi yang kedua terletak di daerah Sajira. Distrik pertama Kabupaten Lebak. Tetap saja daerah ini tidak memiliki sejarah perkebunan kopi. Kebunnya tidak ada, yang ada hanya basis pangkalan pasukan Angkatan Darat. Keberadaan pohon kopi kini di Lebak hanya beberapa batang pohon saja milik segelintir keluarga yang sengaja menanamnya di belakang rumah atau di kebun mereka.

Aku berusaha mencari tahu tentang apa yang terjadi ketika migrasi warga. Aku bersilaturahmi ke rumah kawan yang sudah berkeluarga di Serang. Kenangan masa lalu itu menyulut obrolan ulang masa kecil yang sempat dibicarakan pada tahun 2007 tentang Kopi Lampung. Pengalaman kolektif kami soal Kopi Lampung menjadi secuil catatan berdasarkan obrolan di teras mesjid Dinas Pendidikan Provinsi Banten.

Syuhada mengawali kisah berulang itu dengan tertawa …

Hahaha… masih dibahas saja. Sewaktu saya kecil, kakek sering cerita ke cucunya. Menurut ceritanya, ia datang ke Lampung dari Serang menggunakan sampan. Ia meninggalkan istrinya di Serang. Ia bekerja di tempat saudagar Lampung. Orang Lampung menyebut saudagar dengan panggilan Pangeran. Akhirnya kakek saya mendapat beberapa petak tanah untuk digarap. Kopi, cengkeh, dan lada adalah pohon yang paling menghasilkan banyak uang waktu itu. Menurut dia, banyak warga Serang dan sekitarnya yang memilih pergi ke Lampung ketimbang ke Kota Jakarta pada masa sebelum kemerdekaan.”

“Ibu saya dikawini oleh saudagar kaya di Serang. Ia dibawa saudagar kaya ke Lampung. Dari Lampung ia memilih pulang kembali ke Serang. Tetapi perkawinannya tidak lama berakhir karena perceraian. Ibu saya akhirnya pulang lagi ke Lampung bersama anaknya. Setelah umur dua belas tahun, lulus Sekolah Dasar di sana, saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah dan masuk pesantren Salafiah di Serang. Setelah empat tahun di Serang. “

Syuhada berusaha mengingat tahun kembalinya dia ke Serang.

Hmm…sekitar tahun 1990 orang tua saya akhirnya kembali ke Serang dan menetap sampai sekarang.”

Aku bertanya, ”Di Lampung mananya, sih, tinggalnya? Ibuku juga pernah tinggal di Sakapa.”

“Di Lampung Selatan. Di sana banyak sekali pendatang dari Banten. Mereka menetap dan bertani sampai menjadi warga Lampung. Di daerah lain juga mungkin banyak. Tapi setahu saya populasi orang Banten paling banyak di Lampung Selatan. Biasanya para pendatang dari Serang numpang dulu di rumah orang Lampung. Biasanya ditampung di tempatnya Pangeran (sebutan untuk orang berduit).”

Aku menambahkan, “Dulu banyak tetangga kampung saya ikut program transmigrasi ke Lampung.”

“Transmigrasi itu sudah ke Lampung Tengah, arah Bantar Jaya. Sekarang Lampung Selatan ada Unila (Universitas Negeri Lampung) dan sudah jadi pusat pemerintahan kota. Orang Lampung lebih suka panggil orang Banten dengan sebutan Orang Jawa. Tapi memang mereka akui bahwa Banten itu terkenal di Lampung.”

“Bahasa Serang dimengerti sama mereka. Mereka paham Bahasa Jawa Serang. Sejak saya kecil pun mereka paham Bahasa Serang,” jelas Syuhada saat kutanya apakah orang Lampung mengerti Bahasa Serang atau tidak.

Saya punya paman di Pasir Putih. Tapi dia kesulitan dengan Bahasa Jawa Serang.”

Syuhada menjawab, “Yaa… tidak semuanya paham. Di sana bahasa yang digunakan adalah Bahasa Lampung. Saya tidak tahu bahasa aslinya Lampung. Tapi yang saya tahu Bahasa Lampung itu ada macam-macam, seperti Lampung  Ogan, Lampung Semendo, Lampung, Parahyangan, dan banyak lagi.”

“Di daerah kita istilah Parahyangan itu identik dengan kota Bandung?” Aku menyela.

Syuhada menjelaskan, “Di Lampung sebutan untuk Parahiangan adalah daerah yang sudah mendekati Palembang. Pokoknya mendekati daerah kerajaan dulu. Apa, yah, namanya…? Hmm… Kerajaan Kutai (yang dimaksud adalah Sriwijaya-red), kalo tidak salah. Kalo di sini mungkin daerah Tubagus. Daerah khusus yang memiliki keturunan Sultan.”

“Sewaktu saya kecil, saya dapat cerita dari nenek saya kalau orang Ogan itu terkenal dengan Golok Ogan?” Saya sedikit penasaran.

Syuhada malah hanya menjelaskan tentang Ogan, “Lampung Ogan adalah Lampung pesisir. Kalau dulu jangkauan pendatang dari Banten banyak berakhir di pesisir. Berbeda dengan sekarang. Seluruh daerah Lampung pasti ada orang Banten. Mungkin karena transportasi sudah bagus. Dari Serang sampai dan menetap di pesisir saja sudah Alhamdulilah waktu dulu. Mungkin para pendatang dari Lebak banyak yang diterima oleh warga Lampung Ogan atau Lampung Pesisir saja.”

Aku kembali bertanya tentang keluarganya, “Waktu di sana keluargamu bertani apa?”

“Paling bertani rempah-rempah. Kopi, cengkeh, lada, dan buah-buahan. Dulu harganya sangat mahal kalo dijual. Dan para pendatang dari Banten banyak yang menanam pohon itu. Makannya zaman dulu ada istilah: Kalau orang Jawa ke Sumatera, pasti jadi kaya.”

“Waduh istilah dari mana tuh?”

“Hahaha… saya tidak tahu. Tapi kakek dan nenek saya suka cerita itu, “pergi lah kamu ke Sumatera, maka sukseslah kamu.” Orang ‘gede’ kalo membuat slogan suka jadi undang-undang. Makanya orang-orang pada berbondong-bondong ke sana. Kadang saya sebagai orang awam suka berpikir, mungkinkah ini politik orang besar untuk menyelamatkan posisinya di daerah Jawa?”

“Apakah semua orang Serang di masa lalu sama dengan kakekmu, pada pergi ke Lampung?”

“Awalnya pergi ke sana karena kesulitan ekonomi. Siapa saja warga yang pergi dan menetap ke Lampung pasti sisi ekonominya kurang. Termasuk saya mungkin.”

“Kalau persoalannya ekonomi, kenapa tidak ke Jakarta atau Bogor yang sudah ketahuan maju secara ekonomi?”

“ Mungkin karena menuruti petuah orang-orang sukses tadi yang hidup di Lampung. Cerita kakek saya juga merujuk ke Sultan Banten yang menyuruh warganya pergi ke Lampung, lho! … Kalau Jakarta, dulunya kan sudah jadi perebutan orang-orang penjajah dan sudah jadi ibu kota penjajah. Makannya kakek saya dulu ceritanya memilih pergi naik sampan ke Lampung.”

Aku terheran-heran, “Masa iya, sih, naik sampan? Memangnya waktu itu tidak ada kapal laut?”

“Menurut cerita kakekku jaman dulu belum ada angkutan kapal laut. Makannya ia naik sampan. Di bayangannya daerah Lampung itu jaraknya dekat dan dia yakin nenek moyangnya adalah pelaut.”

Aku menimpali, “Nenek moyang kita sekarang bukan orang pelaut, tapi Peluit (nama sebuah daerah di Jakarta Utara). Terus, apalagi cerita ketika di sana?”

Syuhada agak terusik, “Hahaha… kok jadi banyak nanya-nanya, nih? Kayak wartawan saja. Kalau diminta cerita banyak soal masa lalu saya di Lampung, banyak lupa dan hanya sedikit yang bisa diingat. Paling hanya cerita masa kecil saja. Cerita soal menjual kayu bakar. Kalau pulang dari ladang harus bawa dua ikat kayu bakar. Kalau tidak begitu rasanya rugi. Biasanya bawa dua hurunan (kumpulan) kayu bakar untuk dipikul. Yang satu untuk dijual dan satu ikatnya lagi untuk di rumah.”

“Pohon apa aja yang dijual?”

Syuhada kembali menjelaskan panjang lebar, “Kalau di ladang, sih, pohon apa aja banyak. Tapi orang tua saya akan marahin saya kalau nebang pohon sembarangan. Ngambil kayu bakar harus dari pohon yang sudah mati, jangan yang masih hidup. Tidak ada yang memiliki kalaupun pohon mati itu di tanah orang. Tapi jaman sekarang beda dengan jaman dulu. Kadang saking malasnya nyari kayu bakar pohon kopi, maen tebang pohon di ladang orang. Dibiarkan tujuh hari, setelah kering diambil dan dijual.”

Aku kembali penasaran, ”Kemana kayu bakar dijual? Ke rumah Si Pangeran?”

Seperti lupa pada kegusarannya ditanya-tanyai, dia kembali bercerita, “Bebas, kalo lagi ‘miliknya’ bagus, sebelum masuk tengah kampung sudah dibeli orang. Harga sekitar seratus sampai dua ratus rupiah. Uang jajan anak SD saat itu masih lima puluh rupiah. Sudahlah… lihat orang-orang sukses yang sekarang pindah dari Lampung. Kebanyakan PNS yang sudah jadi di Lampung. Mereka pada pindah ke Serang. Awalnya cuma jadi PNS di Lampung sebelum ada otonomi daerah. Dari pekerja sipil di perkebunan milik pemerintah hingga pekerja sipil di dinas-dinas. Banten sudah jadi provinsi, buru-buru mereka pindah ke sini.”

Saat itu terik matahari begitu panas. Kami pun bersepakat untuk shalat dzuhur di masjid milik Dinas Pendidikan Kota. Setelah itu bersantai sambil merebahkan diri di lantai keramik beranda masjid. Cuaca yang panas ternyata cukup membuat para PNS pada tengkurap mendinginkan perutnya di lantai keramik. Kami berdua duduk tidak jauh dari mereka. Setelah puas bertukar kabar dan rencana ke depan, aku dan Syuhada memilih berpisah melanjutkan aktivitas masing-masing. Dia pergi menuju ruang pamer mobil Jepang miliknya di daerah Patung, Arah menuju Jalan Pakupatan Serang, sedangkan aku memilih kembali pulang ke Lebak menggunakan kereta api.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.