Jalanan di kawasan Hutan Pusuk sore ini masih terlihat basah setelah di guyur hujan yang cukup deras siang tadi. Bentang pelangi di balik bukit menemani perjalananku ke Mataram.
Aroma alam tercium begitu segar dan daun-daun di sekitar jalan juga masih enggan bergerak setelah sempat tertidur oleh suasana dingin karena hujan. Monyet-monyet sebagai tuannya kawasan ini, pun tidak sebanyak biasanya, mungkin sedang menenangkan diri memanfaatkan suasana hening setelah letih mendengar deru laju kendaraan yang cukup banyak melintas di kawasan ini.
Aku sesekali memperhatikan deretan gunung hijau di sebelah barat sebagai perbatasan Desa Pemenang dengan Desa Malaka. Sungguh betapa Tuhan menyediakan sesuatu yang sangat luar biasa kepada manusia untuk dijaga.
Sambil memperbaiki dudukku di atas jok motor yang sudah ditempeli dengan Lakban berwarna hitam, aku sedikit memaksa otakku untuk berpikir terhadap suatu kemungkinan yang bisa saja terjadi. Apalagi ketika musim penghujan seperti ini, di kawasan Pusuk seringkali terjadi kecelakaan karena longsor. “Longsor”, Kata itu muncul lebih awal sebagai wakil dari sekian permasalahan yang coba aku pikirkan. Aku sempat ngeri ketika kata itu terlukis dibayang-bayang imajinasiku. Tapi apa boleh buat, kata itu telah bertarung dengan jutaan kata-kata di Brocha (pusat kata) otakku. Kondisi ini serentak berimbas kepada pandanganku yang mulai melirik tebing-tebing di sisi kiri ku yang ditumbuhi oleh pohon-pohon besar. Sembari membayangkan, seandainya kayu-kayu besar di sisi kiri ku itu tumbang dengan tiba-tiba. Sehingga, aku harus menuju ke tempat peristirahatanku yang terakhir atau paling bagus aku sampai ke tempat yang berbau obat-obatan yang menyengat. Apalagi tanah di sisi kananku beberapa sudah kelihatan agak menghawatirkan dan jangan main-main, sisi kanan jalan ini berhubungan langsung dengan jurang yang memungkinkan kita juga untuk beristirahat panjang dari hidup di dunia ini.
Aku teringat cerita yang beredar di masyarakat tentang seorang pengendara motor yang dengan berat hati harus menuju rumah sakit dengan luka berat di otaknya karena tertimpa oleh pohon yang tumbang pada suasana persis seperti suasana yang kulalui sekarang, yakni ketika Tuhan menurunkan Rahmatnya kepada umat manusia berupa air dari langit yang dikenal oleh semua orang Indonesia dengan Musim Hujan.
“Longsor”, kata itu begitu memiliki kekuatan terhadap otakku sehingga file-file yang pernah terekam dalam ingatanku kembali terbuka. Mulai dari cerita bapakku yang terpaksa membiarkan para ibu-ibu dan bapak-bapak menunggu di Musholla Daarul Ihsan di Dusun Midang, menunggu hingga sore hari karena salah satu pohon di kawasan Pusuk tumbang. Aku juga teringat dengan kejadian longsor di Dusun Kerujuk yang juga berdekatan dengan kawasan Pusuk sekitar 5 tahun yang lalu, meskipun tidak ada korban jiwa, namun longsor itu telah menimbun puluhan rumah warga yang kemudian oleh pemerintah dibangun perumahan RSSSSSSSSS (Rumah Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat Sangat Sederhana), namun bagi warga itu sudah sangat cukup untuk membantu warga yang rumahnya tertimbun oleh tanah, juga kejadian ini terjadi saat suasana persis dengan suasana yang aku rasakan sore ini, saat Tuhan menurunkan rahmat lewat air hujan, namun kemudian menjadi sebuah bencana bagi manusia.
Otakku mulai berpikir keruh tentang seandainya itu terjadi pada saat ini. Aku masih muda, masih energik, masih mampu berpikir dan bergerak dan aku…. belum kawin. Aku ingat sebuah ayat dalam Al-qur’an “telah nyata kerusakan di laut dan di darat karena akibat tangan manusia (Al-ayat)”. Dan itu benar adanya.
Saat ini, bagiku Kawasan Hutan Pusuk tidak lebih dari sebuah ancaman besar saat musim penghujan tiba. Lihatlah tanah-tanah di sisi kiri jalan ini sudah banyak yang longsor, untungnya itu masih dalam skala sangat-sangat kecil, pohon-pohon besar di sisi-sisi jalan beberapa sudah tumbang dan menumpahkan tanah di sekitarnya sampai ke tengah jalan. Dan sekali lagi pemerintah diberikan suatu pekerjaan yang mulia yakni membersihkan kayu-kayu dan tanah-tanh dari jalan raya agar tidak menggangu pengandara sepeda motor seperti aku dan pengguna jalan lainnya.
Perjalanan ngeri di otakku terhenti ketika aku tiba di sebuah tempat yang biasa disebut “Gunung Malang”. Aku ingat kejadian 8 tahun lalu ketika ibuku dan rombongan terjatuh di tempat ini. Aku tidak tahu pasti apa itu. Yang jelas bentuknya kubus, memiliki enam buah tiang dari beton. Diatasnya terdapat jejeran benda yang kurasa itu terbuat dari tanah. Sungguh aku tidak tahu itu apa. Terlihat beberapa sepeda motor di parkir dekat tumpukan krikil di sebelah tempat tadi yang aku sendiri tidak tahu tempat apa itu.
Kendaraanku seperti ‘kafilah berlalu’ tanpa menyadari orang yang berada di atasnya sedang bingung perihal keberadaan tempat itu, dan kemudian aku tersadar kembali setelah sebuah lubang besar di tengah jalan kulindas dengan tidak hormat. Aku menghela nafas bukan karena kaget tapi karena jalanan yang penuh dengan lubang di sana-sini. Aku mencoba menghindari lubang-lubang itu dan bertindak layaknya Valentino Rossi di sirkuit balapan Motto GP meski jalannya 100% berbeda.
Sengaja aku pelankan laju motorku ketika akan sampai ke Pusuk Permai, karena ku lihat sebuah pohon yang terlihat baru saja dipotong karena tumbang dan terlihat tanahnya masih gembur pertanda kejadian ini tidak begitu lama terjadi. Pemandangan ini menimbulkan tanda tanya besar di dalam hatiku. Aku teringat ketika kami (anggota Pasir Putih) mengadakan bedah video tentang Pusuk sebagai Jalur Hijau. Kekhawatiran yang sempat terbincang saat bedah video, itu pun sudah nampak sekali. Seperti longsor misalnya. Meski sekarang longsor masih dalam skala kecil, namun suatu saat akan ada longsor yang lebih besar jika tidak segera ditanggulangi. Menurut beberapa teman-teman ku yang berasal dari Bentek (sebuah dusun didekat kawasan Pusuk) kawasan Hutan Pusuk sudah banyak ditanami pohon pisang, dan pohon-pohon sebagai penyerap air sudah banyak ditebang akibat Illegal logging.
Seperti semua orang sudah maklumi, jalan di kawasan Pusuk ini merupakan jalur yang sering ditempuh oleh pengendara karena jalur ini menghubungkan Lombok Barat dan Lombok Utara, bukan hanya karena Kawasan ini membuat dada sejuk dan mata menjadi bening, tapi juga jalur yang paling dekat sebagi penghubung kedua kabupaten tersebut, meski ada jalur Senggigi-Pemenang.
Ketika kita bertanya kepada masyarakat tentang Pusuk, mereka akan menjawab dengan kemungkinan jawaban bahwa Pusuk adalah : Kawasan Hutan Lidung dan Kawasan Wisata. Namun, bagiku keduanya bisa benar dan keduanya bisa salah, seperti hasil diskusi tentang video Pusuk yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan bahwa “layakkah Pusuk disebut Kawasan wisata mengingat Kondisi jalan dan kurangnya perhatian masyarakat tentang sampah, dan wajarkah disebut sebagai Hutan Lindung sementara Pusuk saat ini mampu memberikan ancaman besar terhadap para pengguna jalan dan Masyarakat sekitar?”
Kuambil HP dari dalam saku celanaku, jam menunjukkan pukul 17.18 WITA, namun hari terasa begitu gelap mungkin disebabkan oleh mendung. Mataku masih liar mengamati sekeliling, dan sesekali aku melihat-lihat Speedometer motorku utnuk memastikan laju kendaraan yang ku gunakan. Aku tidak berani melaju terlalu cepat karena kondisi jalan yang juga licin. Beberapa truk, sepeda motor dan mini bus kubiarkan saja mendahului ku, aku tak perduli “Biar terlambat Asal Selamat”.
Aku pun tiba di sebuah kawasan di dekat Dusun Sidemen Kecamatan Batu Layar, di tempat ini aku melihat penambangan batu di sebuah sungai. Sangat jelas ku lihat ekosistem sungai itu sudah rusak. Badan sungainya sudah melebar hingga bukit yang menghapit sungai itu pun sedikit mengalami erosi ringan yang kalau tidak segera disadari akan menyebabkan erosi Kronis yang membahayakan semua pihak apalagi sungai ini dekat dengan jalan raya. Pohon-pohon di sekitar sungai itu pun sudah banyak yang tumbang disebabkan tanahnya dikeruki dan diambil bebatuannya.
Sepertinya alam ini begitu tidak berharga dan begitu tidak diperhatikan oleh manusia. Walaupun kita sedang mengalami Global Warming, di saat pemerintah mencanangkan program untuk mengadakan reboisasi hutan namun ternyata masih banyak juga orang yang tidak memperhatikan hal ini dengan baik dan benar terutama di Kawasan Pusuk. Padahal dengan tegas pemerintah memperingati lewat sebuah plang di dekat Jembatan di Dusun Sidemen, yang kini sudah mulai buram, “Hutan Indonesia adalah Paru-paru Dunia”. Namun kurasa sejauh ini plang yang sudah berdiri kira-kira 8 tahun itu tidak cukup membantu untuk menyadarkan masyarakat tentang betapa pentingnya menjaga hutan serta alam di Indonesia, dan di Lombok pada khususnya.
Belum lagi di Dusun Wadon Kecamatan Gunungsari terdapat penambangn pasir yang juga berada di kaki bukit. Meski beberapa kali aku bolak-balik Pemenang-Mataram aku tidak melihat aktivitas di daerah penambangan pasir itu. Aku sempatkan diri untuk berhenti sejenak di pinggir jalan raya, melihat tempat tersebut. Aku perhatikan, ternyata tempat penambangan pasir itu dekat dengan rumah warga. Aku ingat seorang teman kelas ku di dusun ini. Namanya Junaidi yang akrab kami panggil dengan sebutan Kele. Setelah berhenti sejenak aku memutuskan untuk datang ke rumah Junaidi. Aku ingin bertanya tentang penambangan tersebut.
Sesampainya di sana kebetulan ia sedang duduk di depan komputer. Setelah segelas Kopi Dukun (kopi hitam) disuguhkan, aku memulai pembicaraan perihal penambangan itu. Namun, nihil. Ia sama sekali tidak tahu menahu tentang penambangan pasir tersebut. “Sih jage ngepe proyek hak tie, endeq ku taok” (siapa mungkin yang punya proyek itu, saya tidak tahu), jelas Junaedi. Aku hela nafas panjang, menghirup kopi lalu ku sulut sebatang rokok. Rasa heran meliputiku, kok bisa seorang warga yang dekat dengan tempat itu tak tahu-menahu.
Perjalananku kali ini membawa beban dan tanggung jawab yang berat terhadap diriku, masyarakat Lombok dan seluruh orang Indonesia untuk kembali menjaga Pertiwi.
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Slalu dpuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata
Itu bukan sebuah lagu bagiku, namun sebuah cita-cita bangsa Indonesia untuk memiliki tempat yang nyaman di hari tua hingga menutup mata di tanah pertiwi yang penuh dengan kesejahteraan, bukan justru dihantui oleh tempat yang gundul yang sangat menjanjikan sebagai tempat longsor dan bencana lainnya.
Kita tidak bisa menyalahkan siapa pun dalam masalah-masalah yang kita hadapi saat ini. Tidak masyarakat tidak juga pemerintah. Dalam susahnya peluang kerja masyarakat kadang mengambil jalan pintas yang mereka anggap pantas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, serta di satu sisi dibutuhkan bahan-bahan dari alam untuk menunjang pembangunan di Indonesia. Semua itu menjadi PR bagi seluruh masyarakat di Indonesia untuk menjaga dan melestarikan apa yang tidak dimiliki oleh Negara lain, yaitu kekayaan alam Indonesia.
Sekembalinya dari Mataram, aku mulai bercerita tentang perjalananku yang sangat melelahkan itu, dan mulai bertanya tentang beberapa hal yang ku temui di jalan, terutama mengenai sebuah bangunan yang aku tidak tahu itu bangunan apa, baru kemudian aku mendapat berita dari kawan bahwa akan dibangun sebuah tempat untuk kereta Gantung di sana, ada pula kawan ku yang mengatakan tempat itu akan dijadikan sebagai tempat persinggahan untuk para pengguna jalan, juga beberapa orang mengatakan bahwa itu akan menjadi Pos Penjagaan Polisi Hutan, yang dipengaruhi oleh maraknya penebangan liar akhir-akhir ini.
Yang jelas apa pun itu semoga bisa membawa dampak positif bagi masyarakat. Kini inginku dan aku yakin juga inginmu agar “Hutan Indonesia” berfungsi sebagaimana mestinya. Mampu menjadi harapan dunia di saat pemanasan global sedang terjadi saat ini. Hingga Indonesia tetap menjadi bumi “TOTO TENTRAM LOH JINAWE”. Semoga…