Pada penyelenggaraan Piala Dunia 2014 kali ini, banyak sekali cerita yang aku temukan ketika mengobrol dengan teman-temanku. Obrolan tersebut bahkan telah dimulai sebelum piala dunia berjalan. Narasi-narasi yang aku temukan tentang piala dunia bahkan tidak sebatas cerita di atas lapangan, tetapi juga hal-hal lain yang berada di luar lapangan. On the pitch dan off the pitch, begitulah kira-kira istilah yang sering digunakan para jurnalis atau penulis tentang sepakbola ketika membicarakan dua macam narasi tentang sepakbola.
Bayangkan saja, di hampir semua tempat yang aku singgahi, pasti semuanya akan membicarakan sepakbola. Di kantorku misalnya, hampir setiap pagi, aku dan teman-temanku membicarakan pertandingan yang dimainkan malam sebelumnya. Hal ini selalu berulang-ulang. Belum lagi ketika pulang kantor, aku mampir ke kampus atau ke kos-kosan teman, pasti akan ada topik piala di dunia dalam obrolan kami. Di rumah pun begitu, aku dan sepupuku pasti akan membicarakan piala dunia dan saling mengejek ketika tim jagoan masing-masing kalah. Kebetulan, jagoan kami masing-masing pernah mengalami kekalahan.
Salah satu yang khas ketika piala dunia akan dan sudah dimulai adalah semua orang berlomba-lomba untuk menjadi “pengamat” sepakbola. Hal-hal seperti inilah yang aku tunggu-tunggu karena lebih baik mendengarkan mereka yang sotoy membicarakan sepakbola ketimbang mereka sotoy membicarakan kampanye pilpres. Setidaknya, hal ini juga diamini oleh beberapa teman yang aku temui di kampus saat piala dunia ingin diselenggarakan. Bahkan, ada seorang teman yang sampai menuliskannya di akun Facebook miliknya untuk mengingatkan orang-orang bahwa piala dunia akan segera dimulai. Hal ini ia lakukan karena ia sudah bosan melihat kampanye-kampanye yang beredar di Facebook dan lebih merasa nyaman ketika orang-orang membicarakan sepakbola.
***
Dari sekian banyak obrolan tentang piala dunia yang aku temui, ada satu obrolan yang sangat seru. Saat itu, aku dan beberapa teman sedang mengikuti pemutaran video dan diskusi yang diselenggarakan oleh Wepreventcrime (WPC). Selepas diskusi, kami yang belum pulang saat itu masih bersantai di markas WPC. Saat itu ada aku, Kaspo, Zikri, Drajat, Kahfi, dan Meiki. Seperti biasa, obrolan selepas diskusi selalu ngalor-ngidul tidak jelas ke mana arah pembicaraannya. Hingga saat hening sejenak Meiki berkata:
“Sabar ya, Gas!” ujarnya sambil tertawa.
Ia berkata kepadaku seperti itu karena pada malam sebelumnya, tim jagoanku, yaitu Italia, dipastikan tidak lolos ke babak enam belas besar setelah mengalami kekalahan dari Uruguay. Aku langsung saja merespon dengan kalimat-kalimat yang terkesan menyalahkan wasit. Salah satu alasanku adalah ketika sang wasit tidak memberikan hukuman kepada Luis Suarez yang terlihat jelas menggigit pundak Chiellini. Selain itu, menurutku, masih ada lagi kontrovesi-kontrovesi yang dilakukan oleh wasit pada pertandingan tersebut.
“Ah, setting-an FIFA itu mah!” jawabku menambahkan pernyataan sebelumnya. Mendengar jawabanku yang seperti itu, Kaspo dan Kahfi langsung meresponnya dan mengaitkannya dengan mafia-mafia judi sepakbola yang ada di Amerika Latin.
“Itu namanya teori fluktuasi. Soalnya, sekarang yang jadi tuan rumah, Amerika Latin. Makanya negara-negara Eropa pada kalah,” ujar Kaspo dengan senyum-senyum khasnya.
Sementara itu Kahfi menambahkan bahwa jika itu sudah diatur oleh bandar judi di Amerika Latin. Mereka, para bandar judi, lebih banyak menyuap FIFA ketimbang bandar-bandar judi dari negara di belahan dunia lainnya.
“Bener itu. Bayangin aja, pemain Kolombia yang ditembak abis pertandingan yang dia ngegolin bunuh diri. Ini tanah (Amerika) Latin!”
Kaspo meyakinkan apa yang disampaikan oleh Kahfi dengan merujuk pada kejadian penembakan yang dialami oleh Andres Escobar[1] pada Piala Dunia 1994. Saat itu, Ia melakukan kesalahan dengan melakukan gol bunuh diri yang mengakibatkan banyak orang mengalami kekalahan di rumah judi, termasuk para mafia di Amerika Latin. Hal tersebut menyebabkan ia dibunuh oleh salah satu anak buah dari salah satu kartel di Kolombia.
Aku berpikir sejenak, lalu menarik sebuah hipotesis bahwa yang disampaikan Kaspo dan Kahfi memang ada benarnya. Apabila dilihat dari statistik, memang sudah seharusnya negara-negara Amerika Latin menjadi penguasa karena pada seluruh piala dunia yang diselenggarakan di Amerika Latin, pemenangnya juga berasal dari wilayah tersebut. Maka, wajar saja jika negara-negara non-Amerika banyak takluk di Piala Dunia 2014 ini.
Selanjutnya, jika berbicara mengenai pengaturan skor yang dilakukan oleh bandar judi, juga bisa jadi ada benarnya. Kaspo mengatakan bahwa dulu, di Liga Indonesia, ada kode-kode tersendiri yang hanya dimengerti di kalangan pemain dan bisa dipahami wasit.
“Pasti di tingkat Internasional ada juga kode-kodenya,” ujarnya.
Aku pun menambahkan bahwa ada buku yang pernah aku baca tentang perjudian dan pengaturan skor dalam sepakbola. Dalam tulisannya, Declan Hill menyampaikan bahwa hingga penelitian yang dilakukannya selesai, ia belum bisa memastikan di belahan dunia mana yang tidak ada pengaturan skor di pertandingan sepakbola.[2]
“Ah, FIFA sekarang mah sama aja kaya PSSI jaman Nurdin Halid!” ujarku dengan kesal yang diiyakan juga oleh Kaspo, Kahfi, dan Meiki.
“Emangnya kenapa, Gas?” tanya Zikri.
“Ya begitu, Zik. FIFA udah jadi rezimnya Blatter sekarang, dari 1998, Bro!” jawabku.
Obrolan kami berlanjut membicarakan FIFA, yang sepertinya selama saya mulai menjadi penikmat sepakbola, presiden dari FIFA belum pernah ganti. Mengapa aku menyamakan Sepp Blatter dan Nurdin Halid ketika di PSSI? Karena mereka sama-sama menciptakan banyak skandal. Blatter sering sekali terlibat isu-isu terkait korupsi. Selain itu, aku mengatakan bahwa rezim Blatter yang sekarang cenderung otoriter.
“Liat aja pengundian grup Piala Dunia, masa tiba-tiba pot–nya berubah aturannya…?” ujar Kaspo.
Salah satu hal yang paling kontroversial ketika pengundian grup tersebut adalah ketika seharusnya Perancis, sebagai negara Eropa peserta Piala Dunia 2014 dengan ranking terendah, berada di pot kedua, tetapi FIFA justru memutuskan untuk mengundi negara mana yang akan masuk di pot kedua sehingga membuat Italia yang masuk ke pot kedua. Pada saat itu, banyak sekali fans dan jurnalis sepakbola yang mengatakan bahwa hal ini merupakan pengaruh dari Sekretaris Jendral FIFA, Jerome Valcke, yang merupakan orang Perancis. Skandal ini pun sempat dikenal dengan sebutan Potgate.[3]
“Emang sengaja itu, ama FIFA pengundiannya kaya gitu. Biar negara Amerika Latin bisa berjaya. Teori fluktuasi!” kata Kahfi sambil tertawa.
“Ada yang lebih gila lagi, tuh! Masa, abis menang sama Italia, tujuh orang pemain Kosta Rika disuruh tes doping?” Kahfi menambahkan.
“Itu, tuh! Maradona aja sampe ngamuk-ngamuk juga!” ujarku.
Kemudian Meiki menanyakan kepadaku mengapa Maradona marah. Aku pun menjelaskan bahwa di aturan FIFA, memang ada yang menyebutkan bahwa setelah pertandingan, harus ada tes doping untuk dua pemain dari masing-masing tim. Akan tetapi, apa yang menimpa tujuh pemain Kosta Rika dipertanyakan oleh Maradona, yang pernah melalui proses tersebut dan terbukti doping di Piala Dunia 1994.
“Gimana caranya menentukan dua pemain itu, Gas?” tanya Zikri.
“ Nggak tahu juga gue, random kali…” jawabku.
“Kalau begitu, mah FIFA cuma nggak mau tim gede yang ilang. Tapi teori fluktuasi terbukti lagi!” ujar Kaspo disambut tawa semua orang.
“Kalo Socrates masih hidup, gimana, ya reaksi dia ngeliat FIFA sekarang? Dia, kan pemain bola sekaligus filsuf juga…” tanyaku.
“Socrates orang Yunani, ya?!” seru Zikri.
“Bukan!!! Ini Socrates pemain bola dari Brazil. Gitu-gitu, dia dokter dan filsuf,” seru Kahfi setengah berteriak.
Membicarakan piala dunia dan sepakbola memang tidak bisa dilepaskan dari “bumbu-bumbu” yang berasal dari luar lapangan. Narasi-narasi di atas adalah contohnya. Bagiku, sepakbola adalah olahraga yang paling menggambarkan kehidupan. Di dalamnya kamu tidak bisa berdiri sendiri, ada pemain lain, ada pelatih, dan ada juga fans. Di sepakbola juga ada kemenangan yang diiringi dengan rasa senang, bangga, dan haru. Ada juga kekalahan yang diiringi dengan kekesalan, kecewa, amarah, dan bahkan dendam. Bagian mana yang tidak menggambarkan manusia? Aku rasa tidak ada.
Obrolan tersebut pun selesai karena malam sudah terlalu larut dan pertanyaanku belum terjawab dan tetap menggantung di kepalaku. Bagaimana komentar Socrates?
[1] Lihat http://www.independent.co.uk/news/colombias-owngoal-star-shot-dead-1418013.html
[2] Dalam bukunya yang berjudul The Fix: Soccer and Organized Crime Ia melakukan penelitian tentaang pengaturan skor pertandingan sepakbola di beberapa negara. Salah satu penyelenggaraan piala dunia yang ia teliti adalah Piala Dunia 2006. Di Piala Dunia 2006 itu, Ia memastikan bahwa telah ada pengaturan skor di dalamnya. Untuk melihat prediksinya tentang pengaturan skor di Piala Dunia Brazil 2014 silakan lihat di http://declanhill.com/blog/item/will-there-be-match-fixing-in-brazil-why-not
[3] Dalam skandal ini, bukan hanya Italia yang dirugikan tetapi negara-negara lain banyak yang menjadi korban. AS dan Chile juga dirugikan, karena berdasarkan ranking, mereka berada di posisi yang menguntungkan, akan tetapi pengaturan pot 2, 3, dan 4 mengabaikan ranking akan tetapi berdasarkan wilayah geografis.
paling epic foto Drajat, bro wkwkwk..