Semuanya berawal dari rasa penasaran fashionis yang sedang populer, mengingat gaya berpakaian band negeri Paman Sam, yaitu Blink 182, jadi role model bagi aku dan teman sepermainan. Celana pendek katun ¾ yang sekarang dikenal chinos, berbalut kaos kaki hampir selutut bersepatu skate, t–shirt dengan brand skateboard dan snapback mengikat di kepala adalah ciri fashion mereka. Apalah daya, ketika itu, impian menjadi fashionable ala Blink musnah terterkam pemalak Senen. Kejadiannya menimpa temanku. Belum sempat ia menego barang incarannya, keburu raib uangnya.
Pengalaman tersebut seolah menjadi pelajaran untukku dan temanku ketika kami ingin pergi ke Senen. Kami berdua berinisiatif mengakali supaya kemungkinan terburuk yang menimpa teman kami sebelumnya tidak terjadi. Terbesit ide mengakali dengan meyimpan uang pada tempat tak sewajarnya. Caranya, memotong kain kaos bagian bawah untuk menyelipkan uang. Ternyata, antisipasi ini berjalan mulus, entah secara kebetulan atau tidak, mulai dari naik metro mini P12 depan Roxi Mas jurusan Kalideres-Senen, sampai pulang lagi berjalan dengan lancar, dan kami berhasil membeli dua potong celana ¾ warna cream seharga dua puluh ribu rupiah. Ternyata, kekerenan pun berpihak juga pada kami.
Sedikit pengalaman singkat di atas, sehubungan mitos negatif tentang Senen, masih terekam dipikiranku. Rasa jiper ketika Senen hadir kembali dewasa ini saat aku ikut terlibat dalam proyek akumassa Ad Hoc—yang akan coba membedah berbagai lokasi di Senen dari perspektif kelompok pendatang—untuk Jakarta Biennale tahun ini. Seiring diskusi, proyek ini mengarahkan aku ke titik kerawanan lainnya seperti narkoba, tawuran, hingga prostitusi terselubung yang sempat menyiutkan nyali. Sekalipun, aku anak Roxi yang juga memiliki daerah kerawanan sama, tetap saja rasa jiper timbul.
Menurutku, kejiperan muncul dari pembawaan diri saat berada di lokasi. Aku sebagai pendatang di wilayah baru, berhadapan dengan warga setempat, memunculkan jarak yang perlu dicairkan. Karena proses riset akan berjalan lama, aku harus mencairkan jarak dengan warga meskipun jiper melanda.
Temanku menyarankan, “Bersikaplah seperti warga setempat untuk mencairkan jarak!”
Menongkrongi warung kopi adalah upaya ampuh mencairkan jarak, selain bisa menggali sumber informasi di sana. Sarannya kugunakan di setiap lokasi riset, walaupun aku belum sepenuhnya menguasai, dan bahkan terjadi kegagalan pada beberapa proses ‘pencairan’. Bahkan, di suatu lokasi, ‘kecairan’ yang dicari berubah ‘kebekuan’.
***
Di sini, hanya akan aku ceritakan seglintir rasa jiper dalam proses riset. Kejiperan pertama datang dari daerah Kota Paris, Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru. Meskipun daerah ini masuk Kelurahan Johar Baru, orang lebih banyak masih mengenalnya sebagai daerah Senen. Hembusan informasi media massa mewartakan kawasan ini dikenal sebagai zona rawan tawuran. Apalagi saat bulan puasa tiba, tawuran melibatkan warga Kota Paris versus Galur. Menurutku, mengherankan jika di daerah yang hanya dibatasi kali, sisi ke sisi kira-kira lima puluh meter, sangat sering terjadi tawuran. Menurut cerita yang berhembus dari seorang teman di Paseban, katanya hanya kumandang adzan subuh yang bisa menghentikan tawuran warga tersebut, kemudian berlanjut lagi setelah adzan selesai.Saat aku sedang melakukan riset, pedagang warung setempat yang kuajak ngobrol mengatakan bahwa tawuran semakin hari kian meresahkan karena material yang digunakan untuk menyakiti, seperti batu yang sempat jadi senjata andalan berbahaya, semakin beragam. Kini, Air keras bahkan digunakan menjadi bagian senjata mematikan untuk menyerang. Katanya, belum lama seorang polisi terkena siraman air keras pada bagian punggung. Akibat kejadian itu, patroli polisi digiatkan.
Setidaknya, kejiperanku terhadap Kota Paris telah mereda karena aku sudah memiliki teman di sana, yaitu tukang kopi yang telah memberikan banyak informasi. Beliau, sebagai warga setempat, tahu bahwa maksud keberadaanku di daerahnya bertujuan untuk melakukan riset/penelitian.
Namun, kejadian berbanding terbalik saat aku dan Anib meriset Bioskop Grand, akibat rasa takut kami yang melebihi biasanya, mengingat cerita Mba Otty, Koordinator Program akumassa Forum Lenteng, dan Mas Galis, dari Sanggar Budaya Paseban, tentang bioskop yang katanya telah berubah fungsi menjadi sarana prostitusi. Menurut cerita Mba Otty, teman bule-nya pernah suatu kali ketika nonton di bioskop tersebut diraba-raba seorang pria yang duduk di bangku sebelahnya dan ditawari pramuria pria atau wanita.
Ketika datang ke sana, aku melihat bagian lobi Bioskop Grand bercahaya remang-remang, keramiknya nampak lusuh, atapnya terlihat rapuh, ada beberapa wanita paruh baya berdandan menor duduk menunggu sambil menghisap rokok yang terjepit bibir berlipstik merah merona, pria-pria berseliweran kesana-kemari saling memperhatikan. Ruang pemutaran filem tak kalah remang, cat dinding telah kusam, bau pesing tercium pekat saat aku duduk di barisan paling depan, film yang diputar bergenre semi porno. Saat pemutaran berlangsung, keheningan tercipta tetapi gerak penonton begitu masif, ada yang berpindah-pindah tempat duduk entah mencari posisi apa yang diinginkan, mobilitas orang yang menuju ke dalam ruang toilet tak berpintu menimbulkan tanda tanya, ada apa di sana, jawaban yang sampai saat ini belum terjawab.
Aku, Anib, Andrie, dan teman-teman akumassa telah mencoba datang ke tempat itu beberapa kali. Akan tetapi akses yang kami punya sangat terbatas. Pada Hari Sabtu, 19 Oktober 2013, ketika kami beramai-ramai ke sana untuk mencoba menonton (sembari meriset), kami merasa diawasi oleh orang-orang yang, sepertinya, preman di lingkungan tersebut. Aku menyadari bahkan, beberapa wajah yang sejak awal mengawasi kami terasa begitu akrab dan sering kulihat berada di sana sejak pertama kali aku meriset Bioskop Grand. Dan ketika hendak masuk ke ruangan pemutaran filem, beberapa orang berdiri dan membentuk semacam lingkaran seakan-akan mengepung kami. Anib yang merasa situasi mulai tak nyaman, menganjurkan untuk beranjak dari tempat itu dan mencari tempat yang lebih aman, mengingat satu orang di antara kami, Ghembrang, adalah perempuan, demi menghindari kejadian yang tak diinginkan. Akhirnya, riset malam itu gagal, dan hingga sekarang kami belum mendapatkan informasi yang lebih jauh mengenai Bioskop Grand.
***
Demikianlah sedikit catatan terkait kegiatan riset yang kami lakukan. Dan ternyata, rasa jiper ini memang benar-benar menjadi kendala. Namun, aku dan teman-teman tetap optimis. Aksi membongkar Senen, termasuk Bioskop Grand, akan kami lanjutkan hingga menemukan hal-hal baru yang bisa dibingkai menjadi sebuah karya.Meskipun Bioskop Grand masih belum berhasil kami dedah lebih jauh, riset ini tak akan berhenti di sini. Sembari menaklukkan rasa takut yang selalu saja menghampiri ketika riset, kegiatan diskusi dan riset lapangan tersebut terus kami lakukan untuk melakukan pemetaan mengenai Senen dan sekitarnya.
_________________
Artikel ini merupakan bagian dari kegiatan akumassa Ad Hoc, sebuah proyek yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, dalam rangka berpartisipasi pada Jakarta Biennale 2013–SIASAT.