Awal jalan di hari seperti biasa. Aku tiba di Saidjah Forum. Serakan buku-buku dalam pandangan mencolok mata. Berjejer di atas tembok pagar berwarna abu-abu. Terik sinar di atas. Angin ini memang cukup untuk mengeringkan apapun. “Siapa di pintu pustaka menebar bau lembab kertas menyengat? Rasanya seperti mencium Cuka. Aku dibuat bersin-bersin seperti mengidap penyakit tropis agraris. Siapa yang membersihkan ruangan tengah hari bolong?” Bicaraku dalam hati sambil mengerutkan kening.
Rupanya kawan Saidjah Forum sedang kerja bakti. Perpustakaan yang sepi tak terurus. Jejak kaki-kaki di lantai keramik. Sepi tidak ada penghuni? Atau apalah sehingga aku harus menghampiri mereka sedikit. Malu karena ulah sendiri. Di dalam kawan banyak berdiri.
Sudah cukup lama genteng Ci Awi pada atap ruang perpustakaan bocor. Kata-kata kawan seolah menyindir. Kebocoran bukan karena disengaja, tapi memang sudah begitu adanya, jawabku. Seminggu ini hujan dan angin sangat kencang. Tempatku kini gentengnya masih belum diperbaiki karena hujan angin kemarin. Peristiwa dalam hari secara kebetulan kembali terjadi. Semua kawan Saidjah Forum hadir kecuali Aboy Sirait. Ia masih bekerja di Kampung Baru untuk beberapa waktu. Aku larut dalam canda yang lama. Tidak ada tanda terjadi pura-pura dalam kerja. Aku mengeluarkan beberapa batang rokok. Kilatan blitz kamera milik Fuad sering mengagetkan kami yang sedang bekerja. Kain lap memakan kotoran dalam warna lantai keramik kusam. Jemuran buku sudah mulai dirapikan kembali. Ruang. Aku, Fuad, Kuni, Helmi, dan Abeng memulai tukar cerita tentang kesibukan bulanan dalam hari. Bicara penyebab buku yang dilupakan pembaca. Sungguh tidak banyak tahu kenapa buku bisa begitu. Mengkerut ditiap-tiap lembarnya. Merapat di setiap helai. Sulit untuk dibuka.
Kuceritakan pada mereka soal si monster yang suka buat masalah, Komputer namanya. Mungkin karena banyak pengguna, atau pengguna yang tidak tahu caranya. Beberapa bulan ini sering tidak mau menyala. Kemudian Fuad cepat menyarankan untuk diperbaiki. “Coba bawa ke atas,” ujarnya sambil berjalan menuju warung Mak Mimi. Seolah meng-iyakan, Helmi menyambung omongan; “Beng!! Komputerna bawa ka luhur, Beng. Coba urang deleu. Sakalian urang nonton film bareng.” (Beng!! Komputer bawa ke atas. Coba kita lihat. Sekalian kita nonton film bersama).
Gerobak dagangan melintas ke arah barat di depan rumah. Pertanda hari akan berubah gelap. Komputer diletakan di atas meja kayu ukuran kecil tidak setinggi lutut. Meja itu sudah tidak kaku. Sofa merah mirip Kaktus digeser merapat tembok. Helmi mengeluarkan cakram CD dalam bungkus plastik polos. Serentak tangan kami berebut cangkang CD yang terbuat dari kertas karton berwarna ungu. Dari cangkang CD itu tertulis judul film; Intan Berduri. Huruf judulnya dicetak miring. Sekilas bungkus dan judulnya sedikit asing bagi kami. Bukan filem Eropa atau Amerika, ini filem kita.
Ketika melihat muka tokohnya aku dan yang lainnya tertawa-tawa. Biang kerok terpajang di muka cangkang CD. Kecil huruf di bawah. Nama sutradara, Turino Djunaidy. Buru-buru dimasukan CD pada mulut CD Room. Tiba-tiba muncul suara. Kami pun larut dalam tontonan. Ini tontonan lain. Ini komedi. Gelak tawa dan obrolan dalam ruang tontonan itu akan sedikitnya aku urai:
Badrul: “Film ini terasa sangat dekat. Tidak ubahnya dengan situasi sekarang. Apa mungkin soal-soal dulu itu belum selesai sampai sekarang. Semua menyisakan tanda tanya di kepala. Tapi aku tidak tahu adegan yang mana. Terkadang kebiasaan-kebiasaan dalam citraan filem itu tersisa sampai kini. Minuman, uang, cara-cara transaksi, sampai ke soal-soal lokal yang mengakar di desa.”
Fuad : “Mungkin karena Si Aboy banyak tertawa. Kita lupa akan filmnya. Tapi menurut kalian bagaimana?”
Aboy: “Aing te kuat haying seuri, filem-na lucu Oom. (Aku tertawa karena filmnya lucu, Oom). Tukang ukur baju, tukang gerobak mendadak berubah jadi angkutan mobil. Belum soal dilema Si Jamal dan kekagetan hidupnya. Saya seperti diseret untuk larut dalam kelucuan-kelucuan.”
Kuni : “Satir. Yang kaya tetap saja kaya. Tetapi pada mulanya kenapa agama di bawa-bawa?”
Badrul : “Tafsiran agama memang begitu adanya. Harta akan membuat lupa yang lainnya. Tetapi bukankah benar kalau harta tidak bisa dibawa kemana-mana? Kalau mati ya matilah. Akan berlalu sama dengan namanya.”
Fuad : “Apa yang mesti kita bicarakan bukan soal itunya saja. Menurut bacaan kalian bagaimana tentang filmnya? Tidak apa juga tahunya hanya dengan benda-benda.”
Dableng: “Si Jamal terperangkap buwu. Baheula jaman keur leutik di Kampung Muara loba tah, kamarana nyah?”
Hendra: “Jaman kuda ngegel (gigit) besi ya, Bleng.”
Helmi: “Seragam Polisi-nya mirip jaman Soeharto ya…”
Fuad: “Saya tidak tahu banyak tentang Soeharto.”
Dableng: “Polisi banyak di kampung atau Polisi kampung? Yang jelas sekarang Polisi sudah tidak di kampung, diganti Hansip.”
Kuni: “Lucu tah hansip. Sekarang masih ada? Tapi itu biasa, Beng. Namanya juga peralihan zaman.”
Bima: “Filem na pikarunyaeun jing. Karak ngajual intan leutik geh minumana botol. (Filem-nya menyedihkan. Baru jual intan sedikit minumannya kemasan botol),” ungkapan gusar. “Ka Empu, si Atang (tokoh dalam filem) kenapa gak dibawa ke dokter? Bukannya keluarganya sudah kaya?”
Fuad: “Saat itu kebanyakan dukun ketimbang dokter, mungkin.”
Aboy: “Si Atang mati muda. Padahal dia baru sebentar menikmati harta temuan ayahnya. Si Atang pemberani. Cukup dengan pistol mainan, warga jadi takut sampai angkat tangan. Saya tidak kuat mau tertawa lagi.”
Aku berusaha mencari bacaan kotor dalam kriteria bahasa tontonan. Haruskah dengan bentuk yang khusus. Sepertinya bahasa gambarnya sudah umum terjadi di tiap kehidupan masyarakat juga. Ambilan gambar-gambar yang biasa dengan mengandalkan kekuatan narasi cukup membuat kami lupa diri. Tertawa untuk sendiri. Jelas kami melihat kebiasaan terbingkai dalam sebuah kontruksi fiksi. Membicarakan tetangga, menjilat, sampai merekayasa. Si pengacara bilang dengan ambigunya; ‘’Dunia sekarang dunia kerta’’. Kaitan gambar ke gambar lain cenderung menyamakan gambaran tokoh dengan masalah saat itu. Pada saat menonton filem. Filem ini berusaha berkomunikasi dengan penonton sampai pada batas-batas sinkronisasi perubahan dari desa ke kota. Anggapan umum kami sebagai penonton yang awam.
Bingkai-bingkai gerak yang termaksud dalam film itu begitu mirip dengan perkembangan demografi pulau Jawa. Ladang kering yang tidak tahu untuk diolah. Jauh sebelum adanya sistem irigasi. Mungkin perkebunan akan cocok. Karena setiap orang desa pergi ke kota akan membawa hasilnya. Hingga kini orang tuaku masih beranggapan tanah itu begitu penting. Modernisasi. Terlahir oleh negara dan masyarakat yang masih bergulat dengan tradisi.
Keluarga Jamal yang masih malu-malu menyerap kebiasaan baru. Terkadang digambarkan dalam bentuk ancaman yang mengikatnya. Bukan temuan baru dalam bubu penangkap ikan. Dengan segala perlengkapannya. Tanda-tanda itu diperjelas. Seperti memasukkan sistem ukur lewat pengukuran busana untuk keluarga Jamal. Timbangan dan alat pembayaran yang seragam terselip pada peci hitam ketika menjual intan. Tidak lupa disinggung perkembangan tulisan dan pers lewat keluguan obrolan pengacara dengan Jamal. Sampailah pada perubahan di bidang pakaian dengan gerak-gerik pemaknaan bahasa jenaka. Kekacauan dan kebingungan estetika sebagai akibat pengaruh Barat dihadirkan dalam reaksi warga pada Jamal. Terputusnya hubungan tradisional dan modern sampai pada kepindahan Jamal dan istrinya ke pusat kota. Desa berubah menjadi kenangan masa lampau.
Filem Intan Berduri disuguhkan seperti tontonan untuk turis. Dalam logika terbalik. Orang kampung masuk ke kota dan membiasakan dengan tata cara barunya yang diserap dari Eropa. Keluguan perilaku Jamal dan istrinya dibuat seoah-olah tertinggal oleh pesatnya perkembangan kota. Tetapi penonton sebaliknya diajak ke wilayah persepsi yang berbentuk ancaman, penghancuran, kelucuan karena kehilangan akar dan fungsi dalam kebudayaan tradisi. Menerima atau menolak. Sutradara mencoba memberikan sebuah evaluasi pada satu pihak atau golongan masyarakat. Dan di bidang kehidupan, di mana pembaratan meninggalkan dampak yang cukup jelas yang banyak menyiksa. Terbungkus dalam kemewahan palsu dan ilusif. Lihat saja pada pembentukan mentalitas tokoh Jamal. Dia tidak tahan dengan aturan. Menginginkan kebebasan yang dinikmati di masa lalu.
Dua kebudayaan dihubungkan lewat peran-peran orang Asia pada umumnya. Benda-benda yang mendekati Eropa, Amerika, Cina dan India dihadirkan untuk melukiskan masa kosmopolitisme yang homogen. Prosesnya jelas terasa bagi penonton karena diajak meresapi kembali yang baru muncul pada abad 20-an. Borjuisme Islam di pedalaman. Mutasi mentalitas yang diakibatkan budaya Islam di indonesia. Menggantikan hubungan hierarkis yang tradisional berkat sistem ekonomi baru. Ekonomi kertas. Mungkin begitu pentingnya uang sebagai alat pertukaran. Pembaruan dalam konsepsi tentang ruang geografis. Di mana ide mandala disajikan sebagai mitologi dari India sebagai dasar semesta digantikan oleh pandangan realis.
Film Intan Berduri dirilis pada 1972. Disutradarai oleh Turino Djunaedy, dengan bintang utama Benyamin Sueb dan Rima Melati. Filem ini meraih penghargaan Festival Film Indonesia 1973 untuk pemeran utama pria terbaik dan pemeran utama wanita terbaik. (sumber: wikipedia)
selamat datang pustaka buku-filem. sampaikan salamku padanya yang belum sempat bertegur sapa. dan sampaikan salam semalat tinggalku pada sarang laba-laba.
alusst
jurdun