Pada zaman penjajahan Belanda, Jalan Kitarung adalah sebuah jalan bagi para penjaga Kebon Kelapa untuk melintas. Nama Kitarung diambil karena, konon ada orang-orang yang dahulu tinggal di sana, yaitu orang-orang yang selalu siap bertarung atau berkelahi dengan siapa saja yang menantang mereka. Wilayah itu adalah wilayah perkebunan milik orang Belanda yang bernama Tuan Sloten, dan dijaga oleh bapak Rabian yang tinggal di dalam perkebunan itu. Perkebunannya cukup luas kira–kira 30 hektar, dan perkebunan itu dikelilingi oleh dua aliran sungai Ciberang dan sungai Ciujung.
Pada masa kemerdekaan, perkebunan itu terlantar, tidak ada yang mengelola. Hasil perkebunan menjadi hak pengurus, yaitu Pak Rabian. Akan tetapi, setelah tahun 1955, salah seorang teman Pak Rabian mendirikan rumah di perkebunan itu beserta temannya yang lain. Orang pertama yang mendirikan rumah itu adalah kakekku sendiri yang bernama H. Bahrudin dan seorang temannya yang bernama H. Halimi. Mereka berdua dapat dikatakan sebagai orang pertama yang membuka perkebunan yang akan menjadi awal sebuah kampung. Saat itu, tidak ada penerangan listrik maupun sarana pendidikan, dan bahkan daerah itu hanyalah sebuah perkebunan kelapa yang dikelilingi oleh dua sungai.
Pada tahun 1960, Kampung Muara Kebon Kelapa mulai banyak didatangi orang-orang. Mereka diajak secara langsung oleh istri H. Bahrudin untuk meramaikan kampung itu. Karena mulai ramai dan penduduk dengan sembarangan membangun rumah, Kampung Muara Kebon Kelapa dipecah menjadi dua, yaitu Kampung Muara Kebon Kelapa dan Kampung Muhara Tengah. Sementara itu, Kampung Jeruk dipecah menjadi RW sendiri, yang berdiri belakangan kira-kira pada era 2000-an. Maka, salah satu penduduk dan sekaligus ulama di situ, yaitu H. Abdulhadi, mengurus pembagian tanah ke Pemerintah Daerah Lebak dan membagi-bagikannya sesuai dengan jumlah keluarga.
Seiring berjalannya waktu, Muara Kebon Kelapa menjadi sebuah kampung yang mulai padat karena letaknya dekat pinggiran sungai yang membuat para penduduk dengan mudah mengambil air untuk kebutuhan sehari–hari. Mungkin, pada tahun 1990-an, air ledeng mulai masuk Kampung Muara Kebon Kelapa, sedangkan listrik lebih awal lagi masuk ke Kampung Muara Kebon Kelapa, yaitu sekitar tahun 1983an.
Kurang lebih, 30 tahun sudah aku tinggal di Kampung Muara Kebon Kelapa dan setelah riset ini dilakukan, aku baru mengetahui mengapa kampung itu diberi nama Kampung Muara Kebon Kelapa, yaitu karena di kampungku ada pertemuan dua sungai,yaitu sungai Ciberang dan sungai Ciujung, maka diberi nama “Muara”. Kata “Kebon Kelapa” diambil dari asal mula tanah di kampung itu, yaitu perkebunan kelapa milik tuan Sloten dari Belanda.
Mayoritas penghasilan penduduk yang berada di Muara Kebon Kelapa serta Muhara Tengah adalah berdagang di Pasar Rangkasbitung, dan aktivitas tersebut telah dilakukan dari dulu sejak istri H. Bahrudin dan istri H. Halimi pertama kali datang ke Muara Kebon Kelapa. Sampai sekarang, semua penduduk Muara Kebon Kelapa sebagian besar adalah pedagang, dan yang paling banyak adalah pedagang tahu dan tempe serta pedagang ayam keliling. Di kampung itu berdiri kurang lebih 12 pabrik tahu, dan satu pabrik tempe. Semuanya berbasis home industry, yang cukup membuat para penduduk Muara Kebon Kelapa bertahan hidup. Produksi tahu dan tempe ini dijual keliling dan terkadang dijual di Pasar Rangkasbitung. Usaha ini cukup menyerap tenaga kerja, karena sekarang banyak pendatang yang dengan sengaja datang ke Kampung Muara hanya untuk berdagang tahu dengan cara berkeliling dari tetangga ke tetangga atau di kereta ekonomi. Jumlah penduduk Muara Kebon Kelapa sekarang ini semakin bertambah, dari pertama kali hanya 2 orang sampai puluhan. Sekarang menurut data Rukun Warga 09 Muara Kebon Kelapa, jumlah penduduk mencapai 400 kepala keluarga. Dan menjadi kampung yang terpadat di antara Kampung Muhara dan Kampung Jeruk.
Sisa–sisa peninggalan perkebunan kelapa sudah tidak terlihat lagi, yang tersisa hanyalah pohon–pohon kelapa yang berada di pinggiran kali Ciberang dan itupun hanya beberapa saja. Dan katanya, hanya sekedar untuk penahan tanah dari arus sungai Ciberang yang semakin hari semakin membesar karena banyak penggali pasir yang mengambil pasir dari sana dengan menggunakan perahu kecil. Menurut salah satu warga yang sudah lama tinggal disitu, kurang lebih dia tinggal 55 tahun disana. Katanya, “dulu sungai ini kecil seperti selokan, dan kampung ini hanyalah kebun yang tidak terawat dan sedikit menyeramkan, karena sebelum memasuki Kampung Muara Kebon Kelapa kita harus melewati pemakaman umum yang cukup luas dan angker, apalagi katanya dulu banyak sekali pepohonan yang sangat besar yang tumbuh di kuburan tersebut.” Tapi berselang dengan kebutuhan masyarakat akan kayu, maka pohon–pohon tersebut ditebang agar kuburan tidak terlihat sangat menyeramkan dan kayunya dapat digunakan untuk kebutuhan membangun rumah.
Muara Kebon Kelapa sering terkena banjir besar ataupun banjir kecil yang membuat masyarakat merasa khawatir dengan luapan air sungai. Karena setiap tahunnya Muara Kebon Kelapa sering terkena banjir sebelum bendungan Pamarayan yang berada di Serang direnovasi. Pernah pada tahun 2000, Muara Kebon Kelapa terkena banjir yang sangat besar dan katanya banjir tersebut adalah yang paling besar sepanjang sejarah terbentuknya kampung Muara Kebon Kelapa, sampai banyak rumah dan pabrik tahu yang terletak di pinggiran sungai hanyut oleh banjir. Ada 9 rumah dan 4 pabrik tahu yang hanyut didera banjir. Dan pada tahun 2002, bendungan Pamarayan diperbaiki, maka banjir besar jarang terjadi walaupun sesekali banjir kecil mengancam kampung Muara Kebon Kelapa yang hanya membuat warga kampung waspada. Sampai pemerintah Kabupaten Lebak menetapkan kampung Muara Kebon Kelapa adalah daerah rawan banjir. Dengan memasang plang di jalan-jalan bertuliskan, “hati-hati daerah rawan banjir”. Itulah sekelumit sejarah kampungku yang rawan banjir dan dulunya adalah perkebunan kelapa milik Belanda.
surantap
mantabb… melanjutkan tulisan ku yang dulu ngak di kerjainn lanjutannya… mantab brooooooo
wooowww…….
widih kampung saya neh…:D
mana euy fhoto jaro jy
Rahmat Mulyadi Taman Bima Permai Jln, Sena III Bok A 11 Cirebon Jabar Indonesia,
Salam kangen buat (Ahmad Abdurrozaq Firdaus/Aa Ozaq)
juga buat keluarga Ibu Siti Masithoh,
di Jl.Kitarung Muara Kebon Kelapa Rangkas Bitung. Hub.(08567352172).Terimakasih wasalam (Rahmat Mulyadi)
Banyak sekali perubahan di zaman sekarang ini, dari perubahan Alam, hingga perubahan perilaku manusia, juga dari perubahan lingkungan kita yang jelas-jelas memang sudah berbah, contohnya pinggiran kali ciujung yang dulu bibir sungai itu, sangat lebar, sampai-sampai bisa di pakai main bola dan dll. sekarang sepertinya tak lagi bisa dipakai main-main lagi, karena sungai semakin melebar, dan daratan semakin menyempit, dulu saya seringkali bermain-main di pinggir kali ciujung tersebut, tetapi saya sekarang tidak berani karena kelihatannya sudah sangat dalam sekali. mengerikan. lalu bagaiman dengan penduduk di sekitar bantaran kali ciujung sekarang, semoga tidak terjadi suatu apapun walaupun curah hujan terus menerus, semoga Tuhan melindungi penduduk yang ada dibantaran kali tersebut.
…Pesan Buat Aa Ozaq… Muara Kebon kelapa Rangkasbitung, hati hati Aa jangan sering main di sungai kalau-kalau ada banjir.Wasalam (Rahmat Mulyadi)..
aaaaaaaaa