Terdapat beberapa penggiat kreatif yang mengisi saung–saung di Kampung Hijau seperti penggiat bonsai dan tanaman hias baik yang berbasis kesenangan maupun komersial, penggiat sepeda ontel yang tergabung dalam Kelompok Sepeda Antik Tjirebon (KESANT), SINAU Art Course – Lembaga Pendidikan Keterampilan Seni, dan ada beberapa penggiat baru yaitu, kelompok musik keroncong dan musik tradisional (gamelan) serta kami, komunitas Gardu Unik. Ketika melintasi wilayah Kampung Hijau yang pertama kali terlihat adalah saung–saung bambu yang memajang tanaman-tanaman, sehingga menimbulkan rasa sejuk ketika memandang. Di mana Kampung Hijau bersebelahan dengan sungai yang berfungsi sebagai salah satu penopang ketersediaan air di wilayah ini. Oleh karena itu, Kampung Hijau menjadi salah satu tempat favorit untuk beristirahat santai bagi kami setelah melakukan kegiatan-kegiatan baik secara personal maupun komunal. Namun, ada pertanyaan yang dilontarkan oleh beberapa tamu undangan Jagakali Art Festival II, yaitu, “kalau kampung hijau itu di mana tempatnya?”. Karena memang kampung ini tidak ada dalam data pemetaan daerah Cirebon, Kampung Hijau berdiri dari inisiatif para penggiatnya yang menamai demikian. Kampung Hijau berdiri di atas tanah wakaf milik Yayasan Muhammadiyah.
Jika kita berbicara tentang Kalijaga tentunya sangat erat dengan keberadaan sungai Kalijaga, di mana Kampung Hijau merupakan salah satu daerah yang dilalui sungai tersebut. Sungai Kalijaga dapat diklasifikasikan sebagai sungai lebar yang ada di Cirebon, namun hal ini tidak dapat menjadi acuan bahwa sungai tersebut tidak akan meluap dan membanjiri daerah di sekitarnya karena beberapa waktu sebelum dilaksanakannya Jagakali Art Festival II, sungai ini membanjiri Kampung Hijau yang merupakan tempat pelaksanaan festival ini. Hal tersebut menjadi perbincangan di wilayah sekitar dan menciptakan polemik yang salah satunya mengacu pada pola hidup masyarakatnya yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuang sampah anorganik bahkan kategori sampah D3 seperti baterai mengandung merkuri yang jelas merupakan polutan. Pola hidup seperti ini sebenarnya telah menjadi percontohan pola hidup yang kurang baik dalam materi pembelajaran bagi jenjang Sekolah Dasar. Apakah tingkat pendidikan atau konsumsi masyarakat sebagai faktor utama kerusakan di Kalijaga yang menyebabkan terjadinya banjir. Mungkin sekarang hanya terjadi banjir, jika penerapan pola hidup masyarakatnya yang kurang memprioritaskan keberadaan lingkungan sekitarnya maka kemungkinan besar kehilangan wilayah karena abrasi atau longsor yang tidak dapat dihindari lagi. Memang Kampung Hijau tidak tertera dalam data daerah Cirebon maupun peta geografi yang dipelajari oleh semua jenjang pendidikan, namun Kampung Hijau tidak harus hilang dan tiada bagi masyarakat yang bersirkulasi di dalamnya.
emang susah ya kalau banjir telah tiba,kita harus gotong royong menanggulangi bencana tersebut !!! salam dari kawan-kawan anak seribupulau
Apresiasi dan salam lestari buat saudaraku2 ini. Emang disadari banget bhw “keterbatasan” kita semua untuk membentuk cerdas watak masyarakat butuh super sabar, blm lagi masyarakat dg sikap “ya ora ya embuh” (cuek abis). Tapi…. Jangan berhenti seh…! terus lakukan yg terbaik. Bermanfaat buat orang banyak. Ok. Salam dari blog kami : rw08secerahpagi.blogspot.com