Ada apa di Senen? Banyak. Sebagian besar sejarah Ibukota, di Senen. Sebagian besar realisasi dari kebijakan pemerintah Ibukota—juga kegagalannya, di Senen. Sebagian besar rivalitas-rivalitas sosial dan budaya Ibukota, di Senen. Siasat dan daya muslihat warga—baik asli maupun pendatang—atas tuntutan ekonomi, di Senen. Intinya, sebagian besar narasi dan peristiwa massa Ibukota, di Senen.
Kalimat-kalimat itu jadi semacam kesimpulan awal saya, sebagai seorang perantau di Ibukota Jakarta, mengenai Senen.
Memang, sih, semua tempat di belahan dunia mana pun pasti juga begitu. Akan tetapi, jika ngomong soal Jakarta, Senen jadi salah satu bahan utama. Sebagaimana kata salah seorang saudara yang sudah merantau lebih dulu ke sini, “Kau tak akan mengenal Jakarta kalau belum mengenal Senen.”
Lebih kurang setengah bulan sudah, saya dan beberapa kawan melakukan riset mengenai Senen. Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan yang diinisiasi oleh Program akumassa Forum Lenteng, yang dinamakan proyek akumassa Ad Hoc, dalam rangka berpartisipasi pada Jakarta Biennale—sebuah perhelatan seni rupa kontemporer berskala internasional yang diselenggarakan dan didukung penuh oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Dinas Pariwisata & Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta—tahun 2013, dengan tema ‘SIASAT’ (Tactic). Berpijak pada pengertian perhelatan biennale sebagai sebuah pembacaan yang berkelanjutan atas kota melalui perspektif seni kontemporer, akumassa ditantang untuk melihat dan menanggapi dinamika kota melalui aksi merekam kenyataan sosial dalam lingkup ruang dan waktu yang spesifik, demi mendapatkan suatu tafsir berupa produk karya terkait soal hubungan antara praktik sosial dan kemungkinan estetik.
Tim akumassa Ad Hoc sendiri terdiri dari para partisipan yang berasal dari beberapa komunitas dampingan akumassa. Otty Widasari, Koordinator Program akumassa Forum Lenteng, memimpin awak akumassa Ad Hoc, yang diantaranya adalah Anib dan Ghembrang (perwakilan dari Komunitas Anak Seribu Pulau, Blora), Umam (perwakilan dari Komunitas Djuanda, Tangerang Selatan), Ageung dan Jayu (perwakilan dari Komunitas Suburbia, Depok), Siba (perwakilan dari Komunitas Pasir Putih, Lombok Utara), Ari (perwakilan dari Komunitas Sarueh, Padangpanjang), dan Andre serta saya sendiri, Zikri (perwakilan dari Forum Lenteng, Jakarta).
Setelah melalui proses pemantapan ide dan identifikasi isu mengenai Senen—lokasi yang menjadi fokus akumassa dalam proyek kali ini—Anib, Umam dan Andre, partisipan yang sudah berada di Jakarta sejak awal Bulan Oktober, melakukan tinjauan awal ke lapangan beberapa kali. Mereka berkeliling kawasan Senen dan sekitarnya, mulai dari sekitaran rel kereta api di Timur hingga ke area bantaran Sungai Ciliwung di Barat, dari pagi hingga malam hari. Tinjauan itu bahkan sedikit diperluas ke wilayah Kecamatan Johar Baru, yakni di Galur dan Kota Paris, demi memperluas kemungkinan-kemungkinan tangkapan atas bentuk aktivitas sosial masyarakat di sekitar Senen, untuk dapat didedah lebih jauh dan dibingkai menjadi sebuah karya. Hal ini sesuai dengan konsep dan metode kerja akumassa, yang selalu berhubungan dengan tiga hal utama, yakni lokasi, narasi-narasi kecil, dan peristiwa massa, sehingga wilayah-wilayah yang berbatasan atau bersentuhan dengan daerah yang menjadi fokus pun seringkali juga menjadi wilayah riset dan bahan tambahan untuk berkarya.
Tinjauan awal mereka itu menghasilkan beberapa catatan mengenai titik-titik lokasi yang lebih sepesifik dan identik dengan narasi-narasi warga setempat yang menarik dan unik. Dan berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan selama proses tinjauan awal tersebut berlangsung, titik-titik lokasi beserta narasi-narasinya itu lah yang menjadi kepingan-kepingan fragmen dari konstruksi wacana terkait Senen—hasil dedahan dalam proses riset—yang nantinya akan dirangkai menjadi fragmen dari konstruksi wacana Senen yang baru sebagai suatu pembacaan atas problematika warga masyarakat sehubungan dengan kebertahanannya menghadapi segala macam keterbatasan, ancaman dan masalah-masalah yang dihadapi.
Ada apa di Senen?
17 Oktober, 2013, saya turut bergabung dengan rombongan Anib, Umam dan Andre, melakukan observasi lanjutan demi mendapatkan informasi-informasi tambahan. Yang menjadi penekanan, riset kami ini bukan “menggali-gali peninggalan bersejarah” terkait Senen, melainkan merekam peristiwa-peristiwa massa dan narasi-narasi kecil yang menyertainya untuk dilihat dalam konteks sekarang, dari perspektif kami sebagai orang pendatang (atau lebih tepatnya, pendatang di Senen).
Berbekal hasil temuan pada riset awal di lapangan dan kesepakatan pada diskusi-diskusi sebelumnya, titik-titik lokasi yang kami datangi di sekitaran Senen terasa lebih mudah dan lebih tentu arah. Tidak seperti cerita Anib, yang mana pada hari-hari sebelumnya mereka benar-benar harus mengelilingi seluruh kawasan Senen, hari itu kami hanya mengobservasi beberapa tempat saja.
Titik-titk lokasi yang kami datangi hari itu umumnya berada di area Proyek Senen, di antaranya adalah sebuah tempat sholat dan toilet umum pada salah satu blok di area Proyek Senen; ibu-ibu penjahit tangan yang duduk berjejer di sekitaran tangga pada salah satu blok di area Proyek Senen juga; blok-blok bagian dalam Proyek Senen, di mana para penjual baju bekas berdagang saling bersebelahan dan hadap-hadapan; dan tempat parkir yang berhadapan langsung dengan Jalan Pasar Senen. Selain itu, agak jauh dari area Proyek Senen, kami juga mengunjungi sebuah warung makan di bawah jembatan (koridor) Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo (RSCM) Kencana yang melintasi Sungai Ciliwung, di Jalan Inspeksi Kenari.
Tempat sholat dan toilet umum yang kami kunjungi itu menarik karena, sebagaimana pendapat Umam yang melakukan riset di sana sedari awal, titik lokasi itu memiliki persoalan tentang bagaimana ruang religiusitas dalam bentuk yang memiliki kontradiksi dengan pemahaman wajar masyarakat umum tentang tempat ibadah. Yang pertama, gelaran sejadah dan pembatas dinding dengan triplek yang serta merta—atau, lebih tepatnya, mau tidak mau, karena keterbatasan akses—dijadikan ‘musholla’. Kontradiksi kedua ialah tentang ritual ibadah sholat yang identik dengan kebersihan, namun pada realitasnya hal itu berbanding terbalik dengan keadaan tempat ibadah yang kumuh dan berhadapan langsung dengan pintu WC (toilet umum terletak persis di arah kiblat sholat). Sedangkan kontradiksi ketiga adalah persepsi tentang kebebasan dalam beribadah, yakni tak ada tanggungan lain selain penyerahan diri kepada Sang Khalik, menjadi kian dipertanyakan karena pertimbangan ekonomis; kebutuhan mengakses air wudhu mensyaratkan para pengunjung musholla untuk mengeluarkan uang seribu-dua ribu rupiah (tempat ibadah menjadi komoditas).
Aktivitas menjahit secara manual, atau menggunakan tangan, yang dilakukan oleh ibu-ibu di sekitaran tangga di salah satu blok pada area Pasar Senen juga menarik perhatian kami karena terbersit rasa penarasan: mengapa di antara begitu banyak toko jahit pakaian yang berproduksi menggunakan mesin, masih ada orang yang mau melayani pesanan dengan menggunakan tangan? Setelah melakukan riset lebih jauh, kami mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh ibu-ibu itu ternyata merupakan bagian dari proses pembuatan pakaian dari setiap toko-toko jahit yang ada di titik lokasi tersebut. Dengan kata lain, mereka merupakan pegawai dari toko-toko jahit tersebut. Mereka menjahit dengan tangan karena, dalam proses penjahitan pakaian, memang ada satu proses yang tidak dilakukan menggunakan mesin, yakni teknik tusuk som dan pasang kancing. Namun, pemandangan menjahit dengan menggunakan tangan itu tetap menarik karena ibu-ibu duduk berjejer di lantai keramik, bersandar ke dinding-dinding toko dan memakan tempat di perlintasan pejalan kaki. Alasan mereka, seperti yang diutarakan oleh salah seorang ibu (yang tak mau menyebut namanya), “Kalau di dalam agak gelap dan gerah, makanya duduk di luar.”
Sementara itu, di area blok bagian dalam, fenomena jual baju murah juga tak kalah menarik. Masuk ke area itu seakan-akan masuk ke dalam timbunan baju-baju. Para pembeli dengan bebas mengobrak-abrik gunungan pakaian untuk memilih model yang mereka suka. Meskipun padat dan pengap, orang-orang yang membeli tetap bersemangat menawar-nawar harga penuh harap. Para pedagang yang umumnya berdiri di tengah-tengah gunungan pakaian, meneriakkan harga obral dagangan masing-masing, saling beradu suara dari lapak siapa yang lebih keras, terkadang mereka saling sahut-menyahut, menjadi sebuah interaksi yang memiliki keunikan sendiri sebagai sebuah peristiwa massa yang terjadi setiap hari. Selain visual, audio pada lokasi tersebut dapat ditangkap sebagai representasi sebuah persoalan terkait rivalitas-rivalitas warga dalam isu jual-beli di pasar.
Sedangkan di area luar Proyek Senen, tepatnya tempat parkir, juga menjadi titik lokasi yang kami incar karena alasan mobilitas dan pergantian bentuk aktivitas para warganya. Siang hari, tempat itu adalah lahan parkir sepeda motor, berbagi tempat dengan para pedagang baju murah yang membuka lapak di lahan pejalan kaki. Mungkin, karena ‘tak kebagian tempat’ di area dalam rumah-rumah toko (blok bagian dalam Proyek Senen). Menjelang sore, ketika area parkir mulai sepi, satu per satu mobil box berhenti di pinggir Jalan Pasar Senen, dan orang-orang menurunkan kotak-kotak berisi beragam jenis kue dari mobil tersebut, mulai dari kue basah, kue kering, kue tart hingga ke makanan jenis roti, yang siap didagangkan pada malam hari, sampai waktu subuh esok harinya. Hiruk pikuk keramaian yang diciptakan tak kalah riuh dengan siang hari. Selain itu, terpaan visual warna-warni yang dihasilkan dari kue-kue yang dipajang seolah menjadi muslihat yang menggoda mata dan perut pembeli agar mau mampir ke salah satu lapak. Orang-orang menyebut ‘wajah malam’ tempat parkir itu sebagai tempat jual kue subuh.
Yang terakhir, ialah sebuah lokasi di luar Kelurahan Senen. Terdapat sebuah warung kecil yang terletak di pinggiran Jalan Inspeksi Kenari, tepat di bawah jembatan RSCM Kencana yang melintasi Sungai Ciliwung. Pemandangan alat-alat berat yang mengeruk sungai menemani aktivitas para pembeli di meja makan. Di warung itu, jika kita mau lebih cermat memperhatikan pada jam-jam makan siang, terutama, ada peristiwa menarik, yakni orang memesan makanan dari atas jembatan. Jembatan yang sesungguhnya menjad koridor RSCM tersebut terbagi dua jalur, dan di tengah-tengah jalur tersebut ada celah jeruji yang menjadi atap warung. Cukup dengan menghampiri koridor, para pegawai RSCM yang merasa lapar, tapi enggan berjalan jauh, memanfaatkan celah jeruji itu sebagai jalan pintas untuk memesan makanan, tanpa perlu ke luar gedung dan memutari lahan parkir menuju warung.
Beberapa titik lokasi yang telah dijabarkan tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk ditangkap oleh bingkai kamera dan direpresentasikan secara visual, atau dijadikan bahan karya tulis yang mengulas fenomena itu dari perspektif seni, menyorot ‘SIASAT’ yang tercipta dari peristiwa massa maupun dari narasi lokalnya.
Sebenarnya, masih ada lokasi lain yang termasuk dalam daftar incaran tim akumassa Ad Hoc, di antaranya adalah titik lokasi di daerah Galur dan Kota Paris di Kecamatan Johar Baru. Dua lokasi yang dipisahkan oleh kali itu menjadi menarik karena ada fenomena warga masyarakat yang sering menerbangkan burung-burung merpati balap peliharaan mereka, dan juga keberadaan gang-gang kecil di antara rumah-rumah susun yang membentuk semacam labirin yang cukup membingungkan.
Fenomena Bioskop Grand yang terletak di persimpangan Jalan Keramat Bunder dan Keramat Raya juga termasuk dalam daftar titik lokasi yang menjadi incaran tim akumassa Ad Hoc, mengingat kabar angin mengenai lokasi itu terkait penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang dengan dalih menonton filem. Namun, bagi akumassa sendiri, titik lokasi itu menjadi menarik justru karena keterkaitannya dengan sejarah dan wacana filem di Indonesia. Melalui proyek ini, kami berharap menemukan harta-harta karun ‘sinematis’ yang mungkin selama ini luput dari perhatian akibat selubung-selubung aktivitas-aktivitas para pelanggan yang umumnya dianggap menyimpang oleh norma masyarakat umum.
Lokasi lainnya adalah Kelurahan Paseban. Di kelurahan tersebut ada sebuah komunitas, bernama Sanggar Budaya Paseban, yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan warga masyarakat dengan melibatkan perangkat-perangkat RT/RW. Rumah Bang Galis dan Mba Ira, yang merupakan markas komunitas tersebut, menjadi markas sementara tim akumassa Ad Hoc selama melakukan riset lapangan di daerah Senen.
Hingga sekarang, aktivitas riset di kawasan Senen, dan terkhusus di Kelurahan Paseban, masih terus berlangsung. Terutama untuk titik-titik lokasi yang disebutkan belakangan, observasi dan pengenalan secara lebih mendalam terus kami lakukan pada hari-hari selanjutnya sampai kami benar-benar mendapatkan angle yang pas untuk membingkai lokasi tersebut menjadi sebuah karya.
Dan dalam beberapa waktu ke depan, setiap harinya Redaksi akumassa akan menaikkan tulisan-tulisan terkait perkembangan proses kerja proyek akumassa Ad Hoc, serta tulisan-tulisan akumassa lainnya yang berhubungan dengan isu-isu yang ada di kawasan Senen.
Wah… Asyik nih! Seperti membedah buku karya Misbach Yusa Biran, “Keajaiban di Pasar Senen”. 🙂
bangeeet Yu!
Sumpaaaah. Asyik ya Nib! Hehehe. Semoga lancar aja yaaa. 😀
Gue tunggu kabar terbarunya! 😀
Mantaaaaaaaapp!!