Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Kalijaga

Avatar
Written by Fuad Fauji

Jalan pengantar

Kutawarkan saat ketibaannya, melakukan perjalanan malam hari di  Jalan Sunan Kalijaga, melewati Jalan Multatuli dan sampailah pada tempat kami, sebuah jalan di Lebak kini. Sungguh tak menduga jika mereka akan datang,  sesampainya di  stasiun kereta kami menuju Jalan Sunan kalijaga berlanjut ke Jalan Multatuli, bukan saat yang tepat memang karena cuaca tak bersahabat. Satu-demi satu bangunan beserta aktivitasnya kami lewati dari timur menuju selatan kota.

Wihara terlihat dari jalan Sunan Kalijaga

Wihara terlihat dari jalan Sunan Kalijaga.

Ketika perjalanan dari Jakarta berakhir di kota Lebak.  Memulai dari stasiun Rangkasbitung, sekarang hanya tulisan hitam buram tertera di tembok tua berlumut sebelah timur stasiun. Di samping tembok tua itu terdapat penyimpanan lokomotif dan tempat perbaikan kereta jika rusak. Sebelah utara tembok, ada perkampungan yang bernama Dipo, dan beberapa rumah Tionghoa pemilik toko cengkeh di pasar. Sebelah selatan, pemukiman padat dengan nama Pasir Suka Rakyat sekaligus tempat tinggal kawan yang sekarang telah menjadi masinis kereta jurusan Jakarta sampai dengan Merak.

Sunan Kali Jaga sebuah nama jalan yang diambil dari salah satu dari sembilan wali yang tersohor dalam sejarah islam ketika penyebarannya dulu di Pulau Jawa. Jalan ini lurus menuju arah barat, kota Lebak. Dugaan atas keyakinan sementara, pemakaian nama Sunan itu sendiri identik dengan penjaga sungai, karena jalan tersebut berdekatan dengan aliran sungai Ciujung. Penguatan atas pendapat, penyebaran Islam  di Lebak dibawa para pelakunya dari Tanahara, Kasemen, Banten.

Salah satu rumah bernuansa Islam berada di belakang gereja Bethel (Kampung Lebak Pasar)

Salah satu rumah bernuansa Islam berada di belakang gereja Bethel (Kampung Lebak Pasar).

Lurus dengan empat ruas jalan, berfungsi untuk kepergian dan kepulangan. Sepanjang jalan diselingi persimpangan menuju perkantoran, dan pusat perbelanjaan tradisional, tidak ada pohon Asem dan Mahoni yang dulu menjadi tanda kota, semuanya berganti menjadi lampu penghias kota yang terang jika malam. Sepanjang jalan terdapat bangunan penting, Wihara yang dibangun tahun 1954. Bangunan itu dibangun oleh para pedagang dari Cina. Dua bangunan penting lainnya ialah Gereja GKP dan Gereje Bethel keduanya dipakai  jemaat protestan, di tempat terpisah terdapat satu lagi gereja katolik yang ada di Multatuli.

Gereja Bethel

Gereja Bethel.

Aktifitas gereja tidak seramai dulu, hanya sesekali atau di hari tertentu saja gereja ramai, misalkan perayaan natal. Dahulu sebelum berubah menjadi banyak pertokoan dan perkantoran, seingatku aku dan teman pernah mengejar sado (delman) yang hampir punah di tahun 1986 sampai berlari ke Multatuli, melewati Bioskop Apollo dan Gereja yang masih bagus itu. Ingatan sirna berganti dengan keadaan baru. Keadaan tempat sebenarnya, Wihara penuh sesak pedagang kaki lima, bangunan bioskop Apollo sudah hilang berganti pertokoan, halaman gereja pun sudah terpangkas oleh pelebaran jalan. Sunan Kali Jaga, jalan ini menjadi titik pertemuan angkutan kota dari Ciawi, Curug, Aweh, Mandala, dan Ona.

Menilik sementara tentang pembagian waktu yang cukup adil di tempat ini, di samping jalan dan lalu-lalang kendaraan berderet pertokoan dengan sirkulasi transaksi yang rumit jika di waktu siang. Terisi para pedagang tradisional yang berjajar rapi tanpa kendaraan menjelang dini hari. Sedangkan pukul tiga sampai delapan pagi pejalan kaki leluasa menghampiri gelaran tikar plastik yang di atasnya terdapat tumpukan bahan bumbu-bumbu masakan seperti ketumbar, kunyit, lengkuas, dan lada.

Perjalanan malam hari sulit jika ingin melihat jelas situasi kota Lebak. Riuh pedagang kaki lima bermunculan mengisi posisi di depan toko-toko yang sudah tutup, menjadi tanda pergantian posisi dengan pedagang tradisional. Pedagang di Jalan Sunan Kali Jaga yang terlihat malam itu hanyalah pedagang Nasi Goreng, Sate, Bakso, dan Gorengan. Sementara angkutan kota (angkot), ojek, dan becak berada di sisi jalan. Dikarenakan jalan yang lebar, mobilitas di malam hari tidak sesibuk siang hari, terlihat begitu lengang.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

1 Comment

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.