Musibah banjir menyerang warga bantaran Kali Krukut, Kelurahan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Media massa mengatakan sejak Minggu malam (31 Oktober 2011) enam Rt. di Rw. 03 terendam. Paling parah di wilayah Rt. 011, ketinggian air mencapai dua meter.
Penyempitan kali dari 12 meter menjadi 2 meter sepanjang 170 meter diduga menjadi penyebabnya. Penyempitan ini dilakukan sejak Maret 2011 untuk membuat lapangan tembak Korps Marinir Angkatan Laut (AL) Jakarta Selatan. Itulah serangkaian kutipan peristiwa yang aku ketahui dari beberapa media massa.
Tapi aku ingin mengetahui lebih banyak dengan menyaksikan langsung di lokasi. Sekarang hari Jum’at, meskipun terlalu telat, tetap aku ingin berkunjung ke sana. Maka aku ditemani dua orang temanku, Mira dan Ageung untuk berangkat ke lokasi musibah.
Siang itu kami bertiga sudah berada di lokasi banjir. Ternyata air sudah mulai surut, ketinggiannya tinggal sebatas betis kaki. Sebagian warga terlihat bersemangat membersihkan rumah masing-masing. Anak-anak pun tampak ceria bermain air sambil mencari kepiting yang terdampar di lingkungan warga. Kedua temanku sibuk masing-masing merekam peristiwa ini dengan kamera Handycam.
Sedangkan aku lebih tertarik untuk berbincang-bincang dengan warga sekitar. Mereka berkumpul dalam tenda darurat. Perhatianku tertuju pada orang-orang yang memakai rompi bertuliskan Dinas Kesehatan Cilandak dan Puskesmas Pondok Labu. Sepertinya mereka sedang memeriksa kesehatan warga, karena aku melihat banyak perlengkapan dokter dan obat-obatan. Tanpa ragu-ragu aku menghampiri pria dengan rompi biru dari Dinas Kesehatan Cilandak, tulisan itu tertera di punggung rompinya. Kemudian aku berkenalan dengannya, nama orang itu Pak Radi.
Setelah sedikit basa-basi aku bertanya, “Banyak yang sakit Pak? Biasanya warga terserang apa kalau banjir seperti ini?”
“Lumayan banyak, hampir semua warga mengeluh kulitnya gatal-gatal. Tapi yang paling diwaspadai sih diare.” Jawabnya.
ak Radi pun melanjutkan, “Tapi semua bisa terangani dengan baik. Obat-obatan yang kita bawa juga lengkap. Kita datang dengan seorang dokter dan dua orang assistennya.”
Kemudian aku memberikan pertanyaan yang sedikit menyimpang dari tugasnya. Namun sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS), menurutku pendapatnya bisa sedikit mewakili.
“Kira-kira kapan air bisa betul-betul surut Pak?” tanyaku.
Pak Radi menjawab, “Wah saya kurang paham Mas, tapi menteri dan gubernur sudah ngecek kok. Pihak Marinir juga sudah bertanggung jawab. Kamu bisa lihat bulldozer nya mulai melebarkan kali.”
Selanjutnya aku menilai Pak Radi orang yang mudah bicara, karena tanpa aku tanya pun ia berani mengungkapkan pendapatnya. Misalkan tentang lingkungan hidup. Ia menjelaskan bahwa di lokasi ini memang tidak cocok untuk membangun tempat tinggal. Karena menurutnya posisi kali lebih tinggi dari posisi rumah. Sehingga wajar jika banjir. Pak Radi juga tak segan-segan membela Marinir yang sering dianggap bersalah oleh masyarakat.
“Ini bukan salah Marinir, meskipun kali diperlebar pasti tetap banjir. Wong posisi kali lebih tinggi dari dataran tempat tinggal. Di sini langganan (banjir) tiap tahun Mas.”
Setelah itu perbincangan kami selesai, karena Pak Radi harus melanjutkan tugasnya. Lantas aku mencari orang lain yang bisa aku ajak bicara. Aku penasaran dengan keadaan warga di sini, baik secara fisik maupun psikologis.
Mataku tertuju pada seorang pria paruh baya yang mengenakan baju batik dan peci hitam. Sepertinya ia sedang mendata warga. Kemudian aku menghampirinya untuk memenuhi rasa penasaranku. Setelah berkenalan maka aku ketahui namanya Pak Agus yang bertugas sebagai bendahara Rt. 011.
“Apa kabar warganya Pak? Sehat semua?” tanyaku.
“Alhamdulillah semuanya baik-baik aja, palingan banyak yang gatel-gatel doang.” jawab Pak Agus.
Ia menambahkan, “Bantuan juga banyak, datang dari mana-mana. Tapi warga banyak yang kecapekan kayanya. Karena pada mulai beres-beres rumah.”
“Kalo yang ngungsi kerumah saudara banyak Pak?” tanyaku lagi.
“Iya lumayan banyak, dari hari pertama banjir sebagian warga mulai pada pergi.” kata Pak Agus.
Obrolan kami pun terus berlanjut, mulai dari aktivitas kemahasiswaanku hingga kisah-kisah kebersamaan para warga bantaran Kali Krukut selama musibah. Pak Agus orangnya ramah, bahkan ia mengajak aku dan temanku untuk berkunjung kerumahnya jika ada keperluan lain.
Hari sudah mulai sore, warga terlihat lebih lelah dari sebelumnya. Hingga terjadi suatu peristiwa dua orang warga jatuh dari atap ketika sedang beres-beres rumah. Salah satunya cukup parah, sepertinya cedera tulang tapi tidak patah. Dapat kuketahui namanya Budi. Sempat terjadi cek-cok antar warga untuk memecahkan solusinya. Entahlah kenapa urusan kecil seperti ini bisa membuat keributan, mungkin karena pikiran warga sudah terlalu lelah.
Ketika langit mulai gelap, aku dan dua orang temanku memutuskan untuk pulang. Karena masing-masing memiliki urusan lain yang harus diselesaikan. Aku berharap musibah ini cepat selesai, agar warga bisa melanjutkan hari esok dengan nyaman dan merayakan Idul Adha 1432 pada hari Minggu dalam keadaan damai.
mantap! haha
bbrrr… mantep. gue tau daerah ini..
jujur, sampe sekarang gw ga tau lokasinya dmn…hahahaha…
kalo boleh komen ya, emang bener lokasi sekitar krukut itu emang pinggir kali banget, dan sering banjir, makanya gw agak ragu kalo krukut itu pondok labu, mungkin lebih masuk ke gandul atau limo, dan masuk ke daerah depok. anyways, pinggir kali itu emang menjadi langganan tumpah ke tempat tinggal warga, dan mungkin diperparah dengan pembangunan lapangan tembak marinir. walaupun begitu, rasanya agak terlalu buru2 kalo nyalahin warga yang milih tempat tinggal di situ ataupun hanya melimpahkan dosa pada marinir secara sepihak, mungkin masih butuh riset tambahan warga paling lama tinggal di situ sejak kapan dan bagaimana kondisi geografis ketika masa itu. kalau saya boleh mengambil sikap, mungkin adalah tanggung jawab dari pemerintah daerah yang tidak bisa mengakomodir kebutuhan warganya.
*lagi2 nyalain struktur..hahahah..