Pemenang - Lombok Utara, NTB

Kali Kecil di Samping Rumahku

Sepuluh tahun sudah aku tinggal di Midang Gunungsari, Lombok Barat. Setelah tamat dari SDN 9 Pemenang, aku melanjutkan studi di Kota Mataram. Kini aku akan kembali ke pangkuan kampung halamanku. Terbayang wajah-wajah teman yang menemaniku melewati masa kecil, bercanda dan bermain. Sempat terlintas dalam pikiranku ketika kami berlari mengejar layangan di pematang sawah dan aku sempat terjatuh bermandikan lumpur. Biasanya, kami juga berjalan di hutan mencari Biloq (bambu kecil) untuk membuat Tulup (senjata tiup dengan peluru dari tanah yang dibulatkan). Walaupun bahaya, permainan itu menarik sekali. Bahkan aku sempat menangis tertembak oleh temanku sendiri. Suasana pedesaan yang asri dan nyaman, sungguh tidak lenyap dari ingatanku walaupun berpapasan dengan hiruk-pikuk kota di Mataram.

Aliran kali kecil yang berada di samping rumahku

Aliran kali kecil yang berada di samping rumahku

Tepat pukul 8 pagi, aku sudah berangkat dari pertigaan Midang. Seolah tak peduli dengan perasaanku, mobil yang aku tumpangi sempat berhenti menaikan penumpang di Pasar Gunungsari. Pasar tradisional itu kini menjadi sebuah pasar dengan bangunan yang cukup megah. Tapi, tumpukan sampah bergunung membuatnya tidak lagi sedap dipandang mata. “Nah, karing semendak dateng ku Sidemen” (Nah, sebentar lagi saya sampai di Sidemen), pikirku menghibur diri. Sidemen Kekait adalah desa yang banyak menghasilkan durian. Bau khas dari durian itu menyengat hidungku, mengalihkan memori dalam otakku, dan membangkitkan selera untuk menyantapnya.

Selang beberapa menit kemudian, sebuah plang besar menyambutku dengan senyum “Kawasan Wisata Pusuk”. Aku melewati tikungan-tikungan tajam dengan sisi jurangnya yang curam membuatku teringat dengan tragedi yang dialami ibuku. Sekitar tahun 2006, Satu keluarga terjatuh di Gunung Malang (wilayah tikungan yang cukup tajam di Pusuk) dan ibuku mengalami luka yang paling parah karena harus dioperasi di RSU Mataram. Sebelumnya, memang banyak mitos muncul dari tikungan ini. Katanya ada perempuan cantik berpakaian putih duduk sendirian, ular besar yang tidak ada ujungnya, jerangkong (tulang-tulang manusia), keranda mayat terbang dan banyak lagi yang lain. Segera aku buang tragedi dan mitos yang melintas di setiap garis putih Pusuk, karena ini hari kebahagiaanku untuk bertemu dengan keluarga dan teman-teman lamaku.

Pusuk

Gunung Malang, wilayah tikungan tajam di Pusuk

Penjual durian di Pusuk

Saung-saung penjual durian di Pusuk

Jam 9 pagi, mobil yang aku tumpangi berhenti di depan Kantor Desa Pemenang Barat yang tetap sama sejak dulu. Kata Man Ruslan kami, sudah dua kali pemilihan Kepala Desa dengan orang yang berbeda. Tatapku berpaling ke sebuah bangunan di samping Kantor Desa, sebuah Lembaga Kursus dan Pendidikan Subagan Com namanya. Aku bertanya kepada setiap mata yang melintas di depanku, ternyata itu milik sahabatku. Memang seharusnya ada perubahan yang berarti di tengah-tengah masyarakat pikirku. Akupun melalui gang kecil diantara dua bangunan tersebut. Langkahku terhenti membaca dimensi bangunan yang ada dihadapanku, “Ya wah ni, bale nuq andang bat kanca…??? Nah, ni Berugaq Sekepat” (Ya ini dia, rumah yang hadap barat sama…??? Nah, ini Berugaq Sekepat). Perlahan-lahan aku masuk gerbang rumahku (tempat yang kini menjadi markas teman-teman Komunitas Pasir Putih). “Assalamu’alaikum…!!!” teriakku. “Wa‘alaikumsalam.” Bias-bias senyum rindu menghiasi kedatanganku.

Subagan Com

Lembaga Kursus dan Pendidikan Subagan Com

Keluargaku memang sangat kuat agamanya, apalagi bapakku seorang tokoh agama yang disegani dan beliau juga seorang pimpinan Tariqah. Biasanya ada acara dzikiran di rumah setiap malam Jum’at dan Minggu. Sedangkan ibuku dari Karang Asem, seorang ibu rumah tangga dan aku anak kelima dari tujuh bersaudara. Aku punya kesempatan sebagai anaknya yang pertama mengenyam perguruan tinggi.

Beberapa hari di rumah, aku langsung berkunjung ke rumah teman-teman SD ku. Ternyata mereka kini rata-rata memiliki postur tubuh besar dan sangat berbeda denganku yang bertubuh kecil. Canda dan tawa menghiasi pertemuan kami. Aku sempat diejek “Arao… santer beriq dik, apa seh kan dik?” (Waduh… kamu kecil banget, emang makan apa?). Mereka masih saja seperti yang dulu, ya tapi inilah yang aku rindukan. Sapaan yang ramah dan suasana kekeluargaan menjadi bagian yang masih kental dirasakan. Bayangkan, aku harus minum kopi di setiap rumah yang aku kunjungi. Terengan, salah satu dusun di Desa Pemenang Timur, memiliki kebiasaan unik untuk menghormati tamu dengan menyajikan kopi, ketimbang desa lain.

Kali Kecil di Samping Rumahku

Kali yang dipenuhi sampah

Kali yang kini dipenuhi sampah dan limbah

Sekembaliku dari rumah teman, aku berjalan di antara himpitan rumah-rumah membuat aku sempat tersesat. Terlukis dipikiranku kalau dulu rumahku persis di pinggir sawah, kini justru berada di tengah-tengah perkampungan. Bahkan jarak antara pembuangan air limbah dengan sumur, dulunya masih sangat ideal. Tapi sekarang, entah apa yang terjadi. Ternyata sepuluh tahun mampu mengubah kondisi masyarakat. Hujan gerimis mengantarku sampai ke teras rumah. Secangkir teh hangat dan beberapa potong ubi bakar menyambutku.

Tumpukan sampah

Tumpukan sampah yang mencemari kali kecil di samping rumahku

Pandanganku kembali terganggu, tiba-tiba air mengalir sampai ke mata kakiku. Aku heran, apalagi yang terjadi. Penasaran membawaku memberanikan diri melawan hujan, mungkin ada sesuatu, pikirku. Tercium bau yang tidak sedap dari air itu, seperti air limbah bekas mandi dan buang air kecil. Perlahan-lahan aku berjalan di tanah becek dan licin agar jangan terjatuh. Sepasang mataku tertuju pada sekelompok orang yang sedang berkumpul membersihkan sesuatu. Astaga, kali yang dulu tempatku dan teman-teman mandi, kini sudah sangat memprihatinkan. Dangkal sekali, dipenuhi tumpukan sampah dan kotoran. Ternyata air limbah sebagian masyarakat justru dibuang ke kali itu. Ada beberapa oknum yang merusak jalan untuk membuat saluran pembuangannya ke kali. Dan biasanya ketika hujan, air bisa setinggi mata kaki, katanya. Walaupun tidak banjir, tapi hal ini cukup menjadi sebuah perhatian.

Air kali masuk ke rumah warga

Kali yang tercemar oleh limbah saluran pembuangan warga

Air kali menggenangi rumah warga

Air kali menggenangi pekarangan rumah warga setiap hujan

Aku sempat terpaku membatu melihat nasib kali kecil tempatku sering bermain.  Di kali ini tersimpan memori indah saat pertama kali aku belajar berenang. Bahkan masyarakat sering memancing ikan dan mandi di kali ini. Tapi kalau begini, kemana perginya ikan-ikan? Apa mereka pergi bersama keindahan yang membayangi langkahku?


About the author

Avatar

Muhammad Gozali

Dilahirkan di Karang Gelebeg pada tahun 1983. Ia tinggal di Karang Subagan, Desa Pemenang Barat, Lombok Utara. Ia kuliah di IAIN Mataram jurusan Syari’ah angkatan 2002. Sekarang dia menjadi Direktur Umum pasirputih, organisasi berbasis di Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, yang fokus pada isu sosial dan budaya.

4 Comments

  • Tulisan yang menyentuh Ghozali. Memang selalu begitu. Kenangan masa kecil kadang membuat kita mencoba mengais-ngais dari sisa-sisa situs lama yang dahulu tempat kita bermain. Tapi sering semuanya telah terlambat, karena perubahan itu sering tidak disadari oleh masyarakat. Dulu, aku juga punya tempat pavorit berenang di kali di kota kelahiranku. Tapi dalam sekejap…mungkin 5 tahun dari saat terakhir aku berenang di sana, kali itu telah berubah menjadi comberan yang dangkal yang tidak mungkin lagi untuk berenang di sana. Beberapa tahun lalu, saya sempat melihat kembali kali itu, kali itu telah hilang, tertutup oleh gedung-gedung ruko…dan perkantoran. Kalau kata Iwan Fals “Ganasnya Kota”

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.