Begitu ramai dibicarakan dampak positif dan negatif tentang kenaikan harga BBM yang awalnya sempat akan diputuskan sejak tanggal 1 April. Perang pendapat para elit politik maupun pakar ekonomi di media massa terkait persoalan setuju atau tidak setuju harga BBM dinaikkan melahirkan isu akan terjadinya demo besar-besaran pada tanggal 27 Maret 2012.
Dikatakan media massa, kemungkinan puluhan ribu demonstran akan turun ke jalan untuk menolak kenaikan harga BBM dan 22.000 pasukan gabungan TNI dan Polri akan dikerahkan untuk mengamankan aksi unjuk rasa itu. Kemudian, pada hari yang sama, aku dan teman-teman Forum Lenteng, Ageung, Anib dan Jayu, akan menghadiri acara bedah buku dan diskusi tentang dokumenter di acara Bulan Filem Nasional, untuk menemani Otty Widasari yang akan menjadi narasumber di kedua acara tersebut. Karena khawatir akan terjebak macet yang panjang, kami janjian bertemu di Lenteng Agung sejak pukul sembilan pagi untuk menghindari resiko yang mungkin terjadi.
Kami sempat menyusuri ruas jalan di Jakarta Selatan. Dari Lenteng Agung kearah barat daya, tepatnya Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah di Ciputat, Tangerang Selatan untuk menghadiri hajatan seorang kawan, Imam FR yang sedang memperomosikan bukunya yang berjudul ‘Jadi Jurnalis Itu Gampang’.
Sepertinya sepanjang perjalanan aku tidak melihat aksi massa yang begitu ramai seperti yang dikabarkan media massa. Namun, sesampainya di kampus UIN, sekilas aku sempat melihat ada sejumlah mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa dengan melakukan orasi sambil mengibarkan bendera organisasi di dalam lingkungan kampus.
Tanpa basi-basi, kami langsung menuju ruang acara peluncuran buku, karena acara bedah buku akan segera dimulai. Pada pukul 10.00 WIB, pembawa acara mulai membuka hajatan itu dengan memperkenalkan satu persatu narasumber di antaranya, Imam FR yang menulis buku, Otty Widasari, penggiat jurnalis warga dan pemimpin redaksi www.akumassa.org dan Andar Nubowo,seorang staf ahli Majelis Perwakilan Rakyat (MPR), yang akan berperan sebagai penyeimbang dalam diskusi itu, karena dia juga seorang yang berlatar belakang akademis di bidang ilmu politik.
Diskusi itu berlangsung selama dua jam, termasuk presentasi dan tanya jawab. Awalnya Imam FR menjelaskan isi buku itu yang merupakan tips-tips seorang warga biasa untuk melaporkan suatu peristiwa dengan baik selayaknya wartawan profesional. Ia juga menceritakan kisah-kisah yang pernah dialaminya terkait aksi kegiatan jurnalis warga. Pria asal Klaten, Jawa Tengah itu menjelaskan dirinya merasa terinspirasi untuk membuat buku tentang jurnalisme warga karena ia pernah mengikuti program workshop akumassa dari Forum Lenteng bersama Komunitas Djuanda.
Pada workshop itu, para partisipan memang diperkenalkan kepada berbagai macam medium yang bisa digunakan untuk memberikan suatu informasi kepada masyarakat, seperti teks, image dan video. Selain itu para peserta juga diperkenalkan dengan website www.akumassa.org, yang nantinya akan dipergunakan untuk memberi laporan berupa cerita pengalaman partisipan pada suatu lokasi tertentu pada saat riset.
“Saya juga mengira, saat ini buku-buku tentang jurnalisme warga di Indonesia keberadaanya masih sangat sedikit sekali, sehingga saya merasa ingin memenuhi kekurangan itu,” tambahnya.
Kemudian, Otty Widasari menjelaskan peran jurnalisme warga secara lebih dalam. Ia mengatakan, peran aktif warga dalam memproduksi informasi merupakan alat penyeimbang pengetahuan bermedia bagi masyarakat.
“Umumnya media mainstream memberikan informasi tentang peristiwa yang besar, namun luput melaporkan peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Padahal, peristiwa kecil itu juga merupakan suatu informasi yang perlu diketahui masyarakat. Nah, maka dari itu warga memiliki peluang untuk memproduksi informasi yang luput dari media mainstream tersebut,” jelas Otty.
Begitu juga dengan Andar, dengan tegas ia menyutujui penjelasan Otty. Kemudian aku bertanya tentang apa yang sudah dilakukan kawan-kawan di MPR terkait jurnalisme warga. Andar menjelaskan bahwa teman-teman di MPR sedang fokus menegakkan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu, tegaknya UUD 45, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Menurutnya, kesemua pilar itu memiliki kecenderungan untuk mendukung kegiatan jurnalisme warga di Indonesa. Aku dapat memahami penjelasan itu, bahwa untuk saat ini, MPR belum menempuh langkah konkrit dalam mendukung kegiatan jurnalisme warga.
Siang semakin terik, dari arah luar gedung terdengar suara adzan zhuhur, jarum jam juga sudah menunjuk pukul 12 siang, artinya waktu hajatan telah selesai. Sebelum pembawa acara menutup diskusi, Imam berpesan, “Saya yakin, suatu hari nanti karya jurnalisme warga dapat menjadi kekuatan publik.” Kemudian panitia mengajak semua narasumber untuk foto bersama dan diberi bingkisan. Dan Acarapun ditutup.
Ketika kami keluar dari ruang diskusi, di sekitar area parkir kendaraan itu, aku masih melihat kumpulan sepeda motor para mahasiswa yang sepertinya akan melanjutkan aksi demonstasi kenaikan harga BBM di tempat lain.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini untuk acara diskusi dokumenter. Aku masih merasa khawatir akan terlambat sampai tujuan.Bayang-bayang kemungkinan terjadi macet total di Jakarta terus membuntut di benakku. Karena pada hari tanpa ada demopun, jalan di Jakarta sudah macet. Apalagi, aku harus menempuh perjalanan sepanjang kurang lebih 35 kilometer.Pada hari biasa, dari Tangerang Selatan, Banten menuju Cikini, Jakarta Pusat, bisa menghabiskan waktu hingga dua jam perjalanan, jika ada demo besar kemungkinan bisa berkali-kali lipat lamanya.
Ternyata kami semua sampai tujuan dengan tepat waktu dan tanpa kendala sedikitpun. Bahkan kami masih bisa menikmati makan siang di salah satu kantin komplek Taman Ismail Marzuki. Aku dan teman-teman jadi mengira-ngira kenapa semua jalan yang kami lalui tampak lengang-lengang saja. Tidak ada kemacetan yang terjadi disebabkan oleh aksi demonstrasi seperti yang diperkirakan. Kami berasumsi, bisa jadi warga Jakarta enggan keluar rumah karena khawatir oleh pemberitaan media massa dua hari belakangan ini.
***
Waktu sudah menunjuk pukul empat sore, artinya kami harus bergegas menuju ruang diskusi di gedung Galeri Cipta III. Acara diskusi yang diselenggarakan Kine Forum untuk mengisi serangkaian agenda acara pada Bulan Filem Nasional ini, bertujuan untuk memperkenalkan beberapa gaya bahasa dalam filem dokumenter. Di antaranya, dokumenter observasional yang akan dijelaskan oleh Aryo Danusiri dan dokumenter partisipatori yang akan disampaikan oleh Otty Widasari.
Aryo menerangkan, gaya observasional merupakan cara dalam membuat filem dokumenter dengan melakukan riset yang dalam serta menggunakan tokoh setempat yang bisa menjadi subjek utama agar bisa memberikan banyak informasi dalam bingkaian video. Ia juga menegaskan, dokumenter observasional merupakan suatu karya, di mana penonton dapat melihat realitas yang ada.
“Memang dalam karya dokumenter observasional sangat sarat subjektifitas. Justru dengan memberikan subyektifitas itu kita telah membuka pandangan yang baru kepada penonton untuk didiskusikan lebih lanjut,” jelas pria bertubuh besar ini.
Kemudian Otty menjelaskan tentang dokumenter partisipatori. Menurutnya, ia tidak pernah mendefinisikan bahwa karya dokumenter yang dibuat Forum Lenteng dalam program akumassa bersama kawan-kawan dari berbagai macam daerah merupakan dokumenter partisipatif. Namun, dalam proses produksinya, memang melibatkan para partisipan dari komunitas lokal di suatu daerah untuk membuat video, karena mereka bisa diasiumsikan sebagai representasi dari warga lokal.
“Video akumassa itu terlihat statis, karena kami menghindari subjektifitas sebisa mungkin. Kami ingin memproduksi informasi dengan menggunakan medium video yang bereksperimentasi dengan bahasa dokumenter melalui perspektif massa atau warga. Nah, melalui mata warga yang ada di lokasi yang dibingkai oleh video itu, diharapkan lahirlah objektifitas,” tambahnya.
Diskusi berlangsung dengan ramai, banyak pertanyaan seputar perbedaan antara dokumenter observasional dan partisipatif, serta pengertian tentang realitas yang dipahami narasumber. Sehingga tanpa terasa waktu cepat berlalu. Ketika menjelang magrib, acara diskusipun ditutup. Kemudian kami bergegas meninggalkan ruangan dan pulang ke kantor Forum Lenteng di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Sepanjang perjalanan pulang, aku masih khawatir tentang macet total yang mungkin melanda Jakarta, terlebih kami akan melewati jalan protokol di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Namun, sepertinya kekhawatiran itu hanya rasa was-was yang berlebihan saja. Lagi-lagi, kami sampai tujuan tanpa kendala apapun. Berdasarkan informasi dari media massa, ternyata memang terjadi demo besar di daerah Salemba, Jakarta Pusat. Beruntung kami tidak melalui jalur tersebut.
Hingga akhirnya aku selesai menulis catatan ini, barulah aku tersadar, mungkin saja artikel ini merupakan suatu bentuk dokumentasi dengan gaya jurnalisme warga tentang suatu peristiwa di beberapa tempat dalam hari yang sama. Di hari itu, warga Jakarta mendapat informasi tentang aksi demonstrasi menentang kenaikan BBM yang menyebabkan kemacetan di beberapa lokasi. Di sisi lain, dari artikel ini ada informasi berbeda tentang situasi jalanan yang lengang karena ada kemungkinan pemberitaan yang marak tentang akan terjadi aksi massa membuat warga Jakarta enggan beraktifitas. Tentu saja dua sisi situasi Jakarta pada saat menjelang kenaikan harga BBM ini bukan hal yang luar biasa bagi masyarakat Jakarta, karena warga Jakarta terbiasa menghadapi hal yang tak terduga.
Tulisannya sangat Jurnalisme Warga banget, dan inilah karakteristik akumassa.
Menarik untuk membahas lebih lanjut paragraf terkahir tulisan ini. Memang seperti inilah yang seharusnya diliput oleh seorang Citizen Journalist, meliput apa yang dialami; lihat, dengar, temui dalam aktifitas sehari-hari. Dari hal terdekat dan sederhana, menulisnya pun cukup dengan gaya bahasa sederhana, sesuka dan sesuai karakter bahasa penulis, tidak ada aturan dan standarisasi gaya penulisannya.
Yang sangat menarik lagi adalah, bahwa Citizen Journalism ada untuk sebuah keberagaman informasi. Bukan menghadirkan keseragaman informasi, seperti yang dilakukan media Mainstream. Coba bisa dilihat kembali headline surat kabar pada tanggal 27 Maret 2012 tersebut, semuanya berisi tentang BBM dan rencana kenaikannya. Lihat juga media online media mainstream, isinya tetap tentang BBM. Nah, bisa dibandingkan dengan situs-situs Citizen Journalism, berita yang dihadirkan warga masih beragam, tidak hanya tentang BBM.
Semoga CJ semakin mengakar. Salam CJ.