Jurnal Kecamatan: Bojongsari Kota: Depok Provinsi: Jawa Barat

Jembatan Ini Milik Siapa?

Avatar
Written by Lulus Gita Samudra

Sberkali-kali media massa memberitakan akan terjadinya badai matahari, tak terlewatkan dampaknya. Tidak hanya itu, pesan singkat melalui BBM (BlackBerry Messenger) dan SMS (Short Messege Service) bertubi-tubi hadir di dalam kotak masuk phonsel. Sempat dikabarkan situasi malam itu kemungkinan suhu bumi akan meningkat sehingga dianjuran untuk tidak keluar rumah dan harap mematikan phonsel untuk alasan keamanan.

Jembatan yang menghubungkan Pondok Petir dan Rawakalong

Tapi himbauan itu tidak berlaku bagi Rojes yang memang harus tetap terjaga dalam gelap malam untuk mengawasi warga dari ancaman pencurian dan perampokan. Di wilayah jaganya, perumahan Vila Pamulang, Pondok Petir, Kota Depok memang terbilang rawan pencurian, khususnya sepeda motor. Meskipun pekerjaan ini mengandung resiko tinggi, apa boleh buat, dari situlah ia bisa menafkahi keluarganya.

Di penghujung Gang Garuda IV, tepat di tepi Kali Angke, sebuah pos kecil berukuran dua setengah meter milik RT 02 RW 012 menjadi tempatnya bernaung. Tanpa jendela, tanpa pintu, meskipun berbentuk bangunan, ruangan itu bisa dibilang terbuka. Deru gemericik suara aliran sungai, tentu akrab ditelinganya.  Tidak jauh kearah utara, terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan Desa Rawakalong, Kabupaten Bogor dan Desa Pondok Petir, Kota Depok.

Di seberang jembatan merupakan wilayah Kabupaten Bogor

Rojes, warga asli Desa Rawakalong yang lahir tahun 1974 tahu persis segala sesuatu tentang jembatan yang terbuat dari rangkaian kayu dan bambu itu. Sepengetahuannya jembatan tersebut baru dibangun sekitar tahun 1999 oleh pihak pengembang perumahan. “Dulu posisi kali kagak di sini Bang. Ama developer kalinya dibelokin. Aliran yang asli diurug, terus dibikin aliran baru. Nah, bakal nyambungin kampung ama komplek, developer bikinin jembatan dah,” tutur Rojes.

Rojes sedang santai di pos jaganya

Ia menambahkan, awalnya jembatan tersebut juga terbuat dari rangkaian kayu yang sederhana. Tidak lama kemudian, pihak pengembang merenovasinya agar lebih kokoh, sehingga jembatan dibuat dari beton dengan lebar satu meter. Hal ini dilakukan pengembang sebagai kewajiban membuat fasilitas umum lantaran lingkungan perumahan semakin ramai.

Kemudian pada bulan Februari 2002 hujan datang hampir sepanjang hari selama beberapa minggu. Air dari Kali Angke pun meluap, rumah-rumah warga terendam. Kerasnya aliran sungai terus mendorong jembatan tersebut selama 24 jam sehari. Tanah di tepian sungai longsor, beberapa pohon bambu tumbang, batang-batangnya tersangkut di tengah jembatan. Hasilnya, jembatan tersebut ambruk terbawa arus sungai.

Masih terlihat fondasi bekas jembatan beton

Pihak pengembang sudah angkat kaki, pemerintah setempat tidak turun aksi akhirnya warga hanya gigit jari. Rojes yang bernama asli Sarbini Marhifal menjelaskan pada saat itu hubungan antar dua desa nyaris terputus. Warga Desa Rawakalong yang biasa menjadi buruh bangunan, jasa ojeg, pembantu rumah tangga (PRT) dan satpam di perumahan pun banyak yang meliburkan diri, kecuali mereka yang mau memutar jalan hingga lima kali lipat lebih jauh, melewati Desa Curug, Bojongsari, Depok.

Gua bae segen muter-muter (Aku saja merasa malas untuk mumutar jalan), waktu itu gua jadi sering bolos jaga, Bang,” tambah Rojes sambil membetulkan kain sarung yang melindunginya dari angin malam.

Pada saat itu, ketiadaan jembatan ini tentu membuat warga kedua desa menjadi kesulitan. Bagi warga perumahan di Desa Pondok Petir, mereka kekurangan sumber tenaga kerja untuk mempermudah tata hidup nya. Sedangkan bagi warga Desa Rawakalong, mereka menjadi sulit bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Selang satu bulan ambruknya jembatan, warga kedua desa berinisiatif untuk membangun jembatan baru di lokasi yang sama. Semua dilakukan agar kehidupan mereka berjalan normal kembali. Hasilnya, kedua desa itupun memiliki jembatan baru yang bisa menghubungkan mereka. Dengan keterbatasan dana dan minimnya pengetahuan arsitektur, secara gotong-royong mereka membangun jembatan yang seadanya, terbuat dari rangkaian kayu dan bambu.

Permasalahan yang kini mereka hadapi adalah kelayakan jembatan itu. “Kagak kokoh, kalo angin lagi kenceng atau air kali lagi deres, kan goyang tuh jembatan, korbannya banyak Bang. Udah ada kayanya mah enam tukang ojeg yang jatuh ke kali sama motornya.” Kata Rojes. Ia juga menceritakan, pada tahun 2005 ada tujuh anak Pramuka yang jatuh dari jembatan. Anak-anak Sekolah Dasar (SD) itu hanyut, dua selamat lima lainnya meninggal.

Angin malam berhembus semakin kencang. Bara rokok dan kain sarung saja tidak cukup untuk menghangatkan badan. Hingga tiba-tiba datang seorang warga perumahan yang tinggal di Gang Garuda IV membawa beberapa gelas kopi jahe. Lalu duduk dan menyimak perbincangan. Ia bernama Wiseso yang akrab disapa Babeh, memang hampir setiap malam hadir di pos tempat Rojes berteduh dalam gelap malam untuk membantu Rojes mengusir kantuk.

Wiseso (kiri) menemani Rojes (kanan) jaga malam

Menurutnya, jika jembatan sudah terasa sangat goyang, warga kedua desa akan memperbaikinya agar kokoh kembali. “Biasanya tiap delapan bulan sekali kita betulin lagi, biasanya pas umur segitu tuh jembatan mulai berasa goyang. Betulinnya pake kas RW 012, tenaganya rame-rame.”

Melihat keberadaan jembatan itu sangat penting, sedangkan kondisinya mengkhawatirkan, Babeh berharap agar jembatan tersebut bisa kembali di beton agar lebih permanen dan kokoh. “Malah harapannya kalo bisa sampe mobil bisa lewat,” kata Babeh sambil meniup-niup kopi jahenya yang masih panas.

Namun sampai sekarang warga juga masih bingung meminta bantuan pada pemerintah mana, berhubung keberadaan jembatan tersebut ada di antara kedua wilayah. Tapi sebelumnya Rojes menuturkan bahwa ketika masa kampanye Pemilukada Kota Depok, tim sukses juara pernah mengatakan, jika yang dijuarakan terpilih sebagai gubernur maka jembatan tersebut akan diperhatikan.

Kalo udah menang mah lupa, mana sampe sekarang belom dibenerin, orangnya aja udah kagak keliatan,” jelas Rojes sambil menggerutu.

Angin malam pun berhembus semakin lebih kencang. Entah ini akibat badai matahari atau pertanda bahwa langit akan menurunkan hujan. Hembusan itu membuat Rojes segera meminum kopi jahenya, begitu juga dengan Babeh, sedangkan jembatan itu masih berdiam diri di tempatnya sambil menunggu perbaikan yang lebih serius. Entah pemerintah wilayah mana yang akan memperbaikinya berhubung keberadaannya di antara dua wilayah pemerintahan. Namun, selama ini warga lah yang mengerahkan segenap tenaga, karena mereka merasa memilikinya.

About the author

Avatar

Lulus Gita Samudra

Lulus Gita Samudra telah menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Pria kelahiran Jakarta tahun 1989 ini, juga turut aktif di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org. Sebelumnya ia pernah mengikuti workshop akumassa Depok pada tahun 2011. Kini ia sedang membangun sebuah komunitas berbasis massa di Depok, bernama Suburbia.

8 Comments

  • Siapa lagi yang bisa mengangkat isu ini kalau bukan jurnalisme warga sementara media arus utama sibuk dengan persoalan isu-isu besar dan melupakan kepentingan warga/publik yang sebenarnya.

    Mantap, Lus!

  • kita haya bisa sebatas mengkritik dan mencibir, sedangkan orang yang diatas sok tuli pura2 buta dan belagak cacat sehingga tidak peduli dengan lingkungan yang dihuni masyarakatnya. mereka sebenarnya bisa dengar, merasakan apa yang dirasakan masyarakatnya “jikalau semua itu bisa menghasilan uang ” pada intinya mereka tidak akan peduli jika tidak menghasilkan uang……semoga suatu saat nanti ada pemimpin yang mengerti keadaan rakyatnya…..

    for jurnalis….usung semua hal-hal yang sepatutnya diperjuangkan….siapa lagi yang akan mengangkat masalah2 seperti itu kalau bukan kalian.,………kami dibelakangmu..

  • Hadi: Thanx mas atas dukungannya, yang aku salut dari warga setempat, mereka justru segera berbuat tanpa berlama-lama mengkritik, tidak seperti DPR yang rela berlama-lama mengkritik tanpa segera berbuat

    GK: kayanya warga belum lapor gubernur, mungkin bingung juga mau lapor gubernur mana, belum lagi jika dioper-oper, sekiraya hal seperti itu melelahkan tenaga dan buang2 ongkos, lebih baik buang tenaga yang jelas dan buang ongkos yang jelas, al hasil sangat jelas mereka merasakan manfaat dari jembatan tersebut meskipun kondisinya tidak kokoh….seharusnya yg lebih harus sih PNS setempat ada yang terus meninjau tanpa permintaan peninjauan

  • sepertinya isu ini akan menjadi lebih menarik jika dibahas lebih mendalam. Perlu ada semacam survei tentang tanggapan warga dan pemerintah setempat terkait fasilitas publik yang terlupakan ini. Semoga akumassa Depok dapat membingkai persoalan ini menjadi produk informasi yang ‘menohok’… #asyek

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.