DKI Jakarta

Jejak Patung

Pameran Patyung di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat
Avatar
Written by Lulus Gita Samudra

Bagiku Jakarta merupakan tempat berlangsungnya seabrek-abrek kegiatan dengan mobilitas yang begitu cepat. Setidaknya pendapatku itu sesuai dengan pendapat Bintarto yang mengatakan kota adalah pusat kegiatan bagi banyak orang dalam buku Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Artinya aku boleh sedikit bersyukur tinggal di Jakarta, karena begitu banyak acara-acara yang bisa aku kunjungi meski pun harus bertarung melawan macet untuk sampai tujuan.

Pameran Patyung di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat

Di awal minggu bulan November lalu, aku berkunjung ke Pameran Seni Patung di  Galeri Cipta II, Taman Ismali Marzuki (TIM) Jakarta Pusat. Acara yang bertema Jejak ini menghadirkan 36 karya dari seniman-seniman di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Dalam katalog yang aku dapat, tujuan diselenggarakan pameran ini sendiri untuk mengembalikan bobot dan pesona pusat kesenian (TIM) sebagai mana mestinya. Sekaligus merayakan ulang tahun Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) yang ke- 44.

Sejauh yang aku tahu, tema yang diusung kali ini merupakan gagasan untuk menelusuri tanda-tanda. Tanda-tanda yang dimaksud adalah pembacaan sejauh mana peran dan perkembangan para seniman di Indonesia dalam penghayatan nilai-nilai ekspresi esensial yang muncul secara signifikan, dalam hal ini khususnya seni patung. Atas dasar itu makanya pihak PKJ menjelaskan pameran ini tidak harus menyertakan karya terbaru para pesertanya.

Kemudian, menurutku cara organisasi merayakan ulang tahun dengan cara seperti ini sangat menarik. Karena selain nama dan kegiatannya akan semakin dikenal, juga bisa mendapat profit yang menguntungkan. Ya, yang aku tahu keberadaan galeri memang tak berbeda dengan pasar. Hal ini juga terjelaskan dalam sambutan Arsono yang ditulis di dalam katalog. Tapi terlepas dari persoalan jual beli, keberadaan acara ini telah menjadi salah satu sumber pengetahuan yang tak perlu menguras kantongku, karena acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

Kembali ke patung-patung. Aku mengelilingi gedung tak tentu arah. Hanya mengikuti bisikan para patung. Mana yang paling kuat membujukku dialah yang kulihat lebih dulu. Sesekali sambil membolak-balik katalog untuk membaca penjelasan singkat atas dirinya. Menarik bagiku karena begitu banyak ragam medium yang digunakan para seniman itu dalam berkarya. Ada yang menggunakan batu, kayu, tembaga, papier mache, hingga mix media. Di antara patung-patung itu, yang paling kusuka adalah patung berjudul “SCB” Presiden Penyair yang terbuat dari bronze. Patung setinggi 60 cm itu berhasil mengingatkanku pada sajak Tragedi Winka dan Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri (SCB). Sebuah sajak yang memainkan suku kata dalam Winka dan Sihka sehingga menjadi kawin kasih.

Aku pernah membahas sajak itu beberapa tahun lalu. Bersama salah satu sahabatku sejak SMP, Agipratama Vijanagratia. Waktu itu kami masih sama-sama kuliah, aku mengenyam pendidikan Jurnalistik di IISIP Jakarta dan dia mengenyam pendidikan di Sastra Jerman Universitas Padjajaran (Unpad). Sepengetahuannya sajak Tragedi Winka dan Sihka masuk dalam kategori puisi moderen berjenis Konkrete Poesie, yaitu sebuah puisi yang ditulis sedemikian rupa sehingga terlihat membentuk sesuatu. Ia pernah memberi contoh puisi lain yang sama jenisnya dengan Tragedi Winka dan Sihka, yaitu puisi Apfel (Apel) yang secara visual, susunan hurufnya memang membentuk buah apel. Menarik bagiku, karena ternyata sastra juga bisa dikawinkan dengan seni rupa. Artinya puisi semacam Tragedi Winka dan Sihka atau Apfel, bukan hanya bisa dikaji melalui pendekatan sastra tapi juga seni rupa.

Lebih jauh diskusi kami sempat berlanjut ke usaha penerjemahan makna. Awalnya aku mengira sajak itu hanya salah satu usaha SCB untuk menghidupkan kata. Karena aku pernah membaca statmennya yang terbit di majalah Horison di perpustakaan SMA ku dulu. Tertulis penjelasannya tentang buku Kumpulan Sajak Amuk Kapak yang di dalamnya terdapat sajak Tragedi Winka dan Sihka. Katanya dalam sajak tersebut ia memang sedang memperlakukan kata-kata bukan lagi sekedar alat penyampai pesan. Tapi kata itu hidup dan bisa bermain di atas kertas hingga membentuk kata-kata baru, bisa bermakna bisa juga tidak. Tapi secara visual, puisi itu memiliki makna yang bisa dikaji secara seni rupa.

Tapi waktu itu Agi menerjemahkannya dengan cara yang berbeda. Disesuaikan dengan pemahaman dan kemampuannya tentang sastra. Menurutnya dengan meleburkan kata Winka dan Sihka menjadi kawin kasih dalam bentuk zig-zag, ia melihat sepertinya SCB sedang menceritakan perkawinan Winka dan Sihka yang tidak berjalan mulus. Setiap patahan zig-zag juga terlihat sepeti suatu tuntunan untuk pembaca dalam melihat perubahan kata. Hal ini tentu terlepas apakah itu merupakan bentuk respon SCB terhadap situasi sosial yang sedang berlangsung pada saat itu, atau hanya sebuah penumpahan emosi. Karena tentunya sajak itu memungkinkan untuk dilihat dari berbagai macam disiplin ilmu lainnya yang kemudian dapat dijelaskan lagi dengan cara pandang yang berbeda, misalnya sejarah, sosiologi, atau seni rupa.

Sepengetahuanku patung merupakan karya tiga dimensi. Tapi kali ini aku melihatnya dari dimensi yang lain, yaitu dimensi ingatanku terhadap sosok SCB. Sosok yang kebengalannya dalam berpuisi sudah terkenal di telinga banyak orang. Memang hampir-hampir tak lazim jika aku melihat karya-karyanya.

Patung “SCB” Presiden Penyair

Aku jadi teringat kembali pada catatan pengantar dalam buku Kumpulan Sajak Amuk Kapak, dikatakan usaha Chairil Anwar dalam menghidupkan kata belumlah sampai, namun Sutardji sudah. Tanpa maksud membanding-bandingkan penyair, tapi jika melihat karya-karya SCB, secara pribadi aku merasa sepakat dengan pendapat tersebut.

Upsss… hampir setengah jam aku berdiri dihadapan patung SCB. Aku harus kembali mengitari gedung untuk menyambangi para patung satu per satu. Jangan sampai ada patung yang cemburu. Lagi pula, bisa jadi tersimpan kejutan lainnya. Jika dalam patung “SCB” Presiden Penyair aku jadi terbuai dengan masa lalu bersama kawan lamaku, jangan-jangan patung lainnya akan membuaiku ke masa depan. Tapi yang pasti, patung-patung itu sudah memberi segudang pengetahuan untukku.

About the author

Avatar

Lulus Gita Samudra

Lulus Gita Samudra telah menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Pria kelahiran Jakarta tahun 1989 ini, juga turut aktif di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org. Sebelumnya ia pernah mengikuti workshop akumassa Depok pada tahun 2011. Kini ia sedang membangun sebuah komunitas berbasis massa di Depok, bernama Suburbia.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.