Pemenang - Lombok Utara, NTB

Jejak Misbar (Gerimis Bubar) di Wajah Pemenang

Senja baru saja menyapa, ketika saya, Mas Kiki Pea dan Maldi kembali dari perkampungan saudara-saudara kami yang beragama Budha. Hasrat ingin tahu tentang keberadaan agama-agama di Pemenang yang memiliki rasa kebersamaan dan toleransi yang tinggi ini, mengantarkan kami mengelilingi kota kecil sebelah barat Lombok Utara.

Salah satu tempat pemutaran film di Pemenang, yang kini kembali menjadi Banjar

Salah satu tempat pemutaran film di Pemenang, yang kini kembali menjadi Banjar

Bersandar sejenak di pojok ruang sekretariat, membuat pinggangku terasa sedikit lega setelah seharian bertengger di punggung sepeda motor tua bapakku yang akrab kami panggil “Kemumun”. Setelah Sholat Isya dan makan malam, kami melanjutkan planning ke rumah saudara kami yang  beragama Hindu. Mumpung Mas Kiki Pea ada disini, kita kerjain aja dia jadi tukang ojek, dan Mas Kiki juga memang akrab dengan Si Kemumun.

Kegelisahan mengantarkan kami ke sebuah rumah salah satu tokoh Agama Hindu yang anaknya bernama I Nengah Karuna. Anak ini sangat akrab denganku. Sepasang mata yang sedikit meredup menghampiri kami “Epe meta sai?” (Anda cari siapa?) suaranya lembut dan sangat khas Bali. “Tiang meta bapak, arak a niki?” (Saya cari bapak, apa beliau ada?) balasku. “Oh… bapak, sampun wah mensare niki, arak napi?” (Oh… bapak, sudah tidur, ada apa?) sapanya lagi. Akupun mengangguk “Enggih wah lamun koto lemaq wah, laguq Pak Nengah arak a?” (Baiklah kalau begitu, besok saja. Tapi Pak Nengah ada tidak?) tanyaku lagi. Ibu itu berkata “Lamun Nengah leq bale timuq kon a mangkin, samping Puskesmas niki.” (Kalau Nengah Karuna di rumah timur tempatnya, samping Puskesmas). Aku sempat berpikir berarti Pak Nengah sudah pindah rumah, kenapa Pak Nengah tidak mengabariku tentang kepindahannya? Mas Kiki mencubitku, “Eee… anu… Enggih, bares tiang cobaq keto,” (Baiklah nanti saya coba ke sana) jawabku. Kami pun bergegas pergi.

Di tengah perjalanan aku berpikir, lebih baik aku ajak teman-teman merapat dulu ke rumah Pak Tiste (teman akrabku di Mutiara Band). “Mungkin beliau bisa membantu,” kataku pada Mas Kiki Pea. Kami pun merubah haluan ke kiri dari perempatan Pemenang (jalur menuju Bangsal). Si Kemumun berhenti di sebuah bangunan ber-plang Electronic Service dan aku masuk. “Selamat Malam, permisi,” sapaku memberi salam. “Hai selamat malam saudaraku!” sambutnya hangat dan kami pun dipersilakan duduk di Berugaq sekenemnya (pendopo bertiang enam) yang cukup besar. Selang beberapa menit minuman khas berwarna hitam manis alias kopi menjadi penghangat pertemuan tersebut.

Tempat terakhir pemutaran film yang kini beralih funsi menjadi tempat tinggal dan usaha

Tempat terakhir pemutaran film yang kini beralih fungsi menjadi tempat tinggal dan usaha

“Ada apa, tumben datang kemari,” tegurnya dengan sedikit dialek Bali. Aku jawab “Kami ada keperluan sedikit nih, Pak Tis (panggilan akrab Pak I Wayan Tiste), kami mau menanyakan sejarah Masjid Kr. Pangsor dan Pura yang di pinggir jalan itu.” Beliau sempat berpikir beberapa detik, “Waduh… maaf, kalau saya tidak begitu tahu tentang itu semua, nanti bisa langsung ke paman saya” tuturnya lembut. “Ya sudah, tapi saya dengar saat pengecoran masjid kemarin saudara-saudara Hindu juga terlibat?” tanyaku. “Oh iya, bahkan Umat Budha juga karena masjid ini ada jejak sejarahnya,” “Oh… begitu, bapak sendiri terlibat?” Tanyaku bercanda. “Jelas… mari minum” ajaknya yang mulai menghisap rokoknya dalam-dalam.

Akhirnya, kami asyik ngobrol tentang akumassa, bahkan sampai nyangkut juga cerita-cerita lucu yang menambah cairnya suasana. Tapi kami sangat bersyukur sekali, karena dari obrolan mengasyikkan itu kami dapat informasi tentang Misbar (Gerimis Bubar) yang sempat ada di Pemenang. Dan beliau sangat aktif bercerita tentang pengalamannya menonton film dan ulah-ulah usil yang dilakukannya. Aku sendiri tidak tahu tentang dunia Misbar itu, dan kata itu sangat asing di telingaku. Mendengar cerita beliau, sedikit bertambah wawasanku dan aku akan sangat bersyukur sekali jika Misbar dihidupkan lagi. Bahkan beliau sangat bersemangat saat bercerita. Saking semangatnya beliau menambah persediaan rokok dan jajanan.

Tempat pemutaran film pertama di Pemenang yang kini menjadi usaha sarang Burung Walet

Tempat pemutaran film pertama di Pemenang yang kini menjadi tempat usaha sarang Burung Walet

Menurut penuturan beliau, pemutaran film di Pemenang dimulai sekitar tahun 1982. Namun, istilah Misbar mulai dikenal masyarakat tahun  1989 sampai 1992. Waktu itu harga tiket masuk Rp. 100,- per orang. Agar bisa masuk biasanya salah satu cara yang dipakai yaitu mengekor orang lain dengan memegang baju orang tersebut. Bahkan terkadang lompat pagar alias Nyerobot. Pemutaran film di Pemenang seperti bergerilya, pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Gedung yang pertama kali dipakai sebagai bioskop merupakan milikn Bapak H. Suhaili di samping SDN 2 Pemenang Barat. Sebuah gedung operah (kelapa kering) yang dikontrak jadi bioskop oleh Abah (panggilan akrab pemilik film), tapi waktu itu tidak ada fasilitas kursi sama sekali. Dan sekarang gedung itu menjadi sarang Burung Walet yang dipelihara oleh seorang pengusaha di Pemenang.

Biasanya pemutaran film hanya dua kali dalam seminggu, yaitu setiap malam Rabu dan Minggu. Itu pun sering terlambat, karena harus menunggu giliran setelah Telok Dalem (Nama dusun di kecamatan Tanjung yang juga menjadi salah satu tempat pemutaran film). Setelah itu pindah ke Banjar, sebuah bangunan milik Umat Hindu, “Di Banjar itu pun hanya beberapa bulan,” tegas Pak Tiste sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Malam makin dingin menyelimuti Pemenang, tapi kami makin asyik mendengarkan Pak Tiste bercerita yang sesekali tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian-kejadian lucu yang pernah beliau alami. Ada satu kisah menarik Pak Tiste yang terekam dalam ingatanku. Waktu itu pemutaran film bertempat di sebuah gedung tua (lokasi pemutaran setelah di Banjar) yang kemudian dipakai istilah Misbar. Sempat waktu itu Pak Tiste ingin menonton, tapi tidak punya uang untuk membeli tiket. Akhirnya, beliau berencana menonton di atas pohon mangga pekarangan keluarganya yang kebetulan berada di belakang gedung pemutaran film. Baru setengah nafas memanjat, beliau melihat orang-orang sudah berjejer seperti ayam. Pak Tis sempat terkejut “Araooo… luah dalem a kah penok, hai… tun pada seruaq polak kayuk cia laun” (Waooo… luar dalam pada penuh semua, hai… kalian turun sebagian, nanti kayunya patah). Teriak Pak Tis penuh kecewa melihat orang-orang yang tidak perduli dan membuat beliau tidak sempat nonton film. Akhirnya keluarlah akalnya yang cerdik seperti Abu Nawas. Beliau mencari tahi sapi kemudian dioleskan di batang pohon mangga tersebut.

Ilustrasi penonton Misbar yang menonton dari atas pohon, karena tak ada uang untuk membeli tiket

Ilustrasi penonton Misbar yang menonton dari atas pohon, karena tak ada uang untuk membeli tiket

Keesokan harinya, beliau naik ke pohon mangga itu lebih awal setelah waktu maghrib. Padahal filmnya baru diputar empat jam lagi. Dengan kedua temannya, Pak Tiste bertengger di dahan pohon, “maraq botek bae ita ni oneq-oneq,” (Lama-lama kita ini kayak monyet saja) gerutunya. Tak ayal lagi, hampir semua orang yang ingin naik tidak mendapat peluang bahkan beliau kencingi dari atas. “Astaga ya menek, santer a bais…” (Astaga dia kencing, bau banget). Kata orang-orang itu yang marahnya bukan kepalang. “Tapi aku cuek aja yang penting dapat nonton film,” tuturnya kepada kami yang sudah sakit perut dengan ceritanya.

“Dulu lihat poster film saja kita sampai bengong, apalagi nonton film,” kenangnya. Dulu poster ditempel di Peken Lauq (Pasar Utara) yang kini jadi perempatan Pemenang. Menurut penuturan Pak Tis, ada orang yang sampai mengoleksi poster-poster tersebut saking demennya (suka) dengan film. Memang dulu film disiarkan dari mobil keliling dengan membawa pamflet-pamflet yang kemudian dilemparkan dari atas mobil. Film-film yang dulu sangat digemari oleh masyarakat adalah film Rhoma Irama yang berjudul Kamelia, Begadang, Gitar Tua. “Wah lamun mesual Rhoma tia, penonton pada memangkot. Bunok a… bunok a… Rhoma,” (Wah kalau Rhoma sudah kelahi, penonton pada teriak. Bunuh dia… bunuh dia… Rhoma). Kata Pak Tis meniru antusias penonton.

Film Gitar Tua, salah satu film yang digemari oleh penonton Misbar di Pemenang

Film Gitar Tua merupakan salah satu film yang digemari oleh penonton Misbar di Pemenang

“Pemutaran filmnya masih pakai pita (seluloid-red) dan audio standarlah menurut kita, calling-nya saja dulu pakai TOA,” tegas Pak Tis. Salah satu film yang pertama kali ditonton oleh Pak Tis yaitu SAMTIDAR. Samtidar merupakan karya dari Iksan Lahardi, film sekitar tahun 1972 yang dibintangi oleh Andy Carol, Rina Hasyim dan Eddy Gombloh. Perusahaan filmnya PT. Sri Agung Utama Film. “Benyamin perasaan waktu itu jadi supir truk,” tegas Pak Tis sambil berpikir. Waktu pemutaran film ini, beliau baru kelas 4 SD, sekitar tahun 1984. Untuk tiket masuk beliau harus siapkan recehan sebesar Rp. 50,-. Film ini sangat disenangi Pak Tis, sampai-sampai detailnya masih mengena dalam ingatan beliau.

Tak terasa waktu merangkak begitu cepat, jam berdetak membawa dingin. Kami pun mengakhiri pertemuan itu, karena besok pagi Pak Tiste harus pergi mengajar. Rasa penasaranku terhadap dunia bioskop di Pemenang, terjawab sudah. Sebelumnya aku sempat iri jika membaca tulisan komunitas lain yang berbicara tentang bioskop. Karena pikirku, dunia seperti itu tidak ada di Pemenang. Tapi malam itu, kami berhasil membaca jejak Misbar di Pemenang.


Ilustrasi Oleh: Imam Hujjatul Islam

About the author

Avatar

Muhammad Gozali

Dilahirkan di Karang Gelebeg pada tahun 1983. Ia tinggal di Karang Subagan, Desa Pemenang Barat, Lombok Utara. Ia kuliah di IAIN Mataram jurusan Syari’ah angkatan 2002. Sekarang dia menjadi Direktur Umum pasirputih, organisasi berbasis di Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, yang fokus pada isu sosial dan budaya.

5 Comments

  • 1. Jatul: illustrasimu okeh….
    2. Jali: informasikan pada dunia tentang bekas gedung bioskop di samping rumah Safwan bin Imam
    3. anjrriiiiiitttt……. gue pengen tinggal disana aja dah. Jakarta terlalu bising!!!!

  • great apprettiation for akumassa…. membangkitkan sejarah Pamenang…. even i don’t know too far about akumassa but,,,,,,, tou are greeeaaaatttt….

  • My friend Kiki Pea, thanks with your attention…
    please wait my coment about Jakarte’…
    I have some questions actualy for you, may be you can help me

  • pengalaman saking pinginnya nonton sampai harus narik2 baju orang dewasa supaya diajak, menonton dari atas pohon dsb itu pernah saya dengar juga dari seorang teman yang berasal dari Dompu, NTB. dan ternyata teman dari Riau juga punya pengalaman yang sama. pengalaman massa banget ya. kereeen

  • wah keren ya…ternyata dulu di Pemenang ada bioskop meskipun sangat sederhana sekali…maklum sih aku besar di Surabaya dan sekarang kerja merantau di Lombok Utara tepatnya di dusun Teluk Kodek, Kec. Pemenang…yah saya memang salah seorang perantau yang mengagumi keindahan alam dan keanekaragaman budaya di Tempat ini….Good Luck ya…pengen nih ikutan gabung…bisa nggak ya?????

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.