Posisi kedai Pak Mali memang cukup strategis. “Sayang sekali kalau nggak diisi,” kata Pak Mali. Kedainya tidak berdiri di atas tiang-tiang yang ditancapkan ke danau, seperti kedai permanen lainnya di sepanjang tepian timur Singkarak. Walau sebenarnya, tepat di sebelah kiri kedai—dan masih termasuk sedikit wilayah kedainya—telah berdiri semacam pondasi di dasar tepian danau, milik orang lain yang rencananya juga ingin membuat kedai. Tapi bangunan tersebut belum dilanjutkan, demikian menurut anak Pak Mali yang ikut menimbrung percakapan saya dengan Pak Mali. Orang yang telah membangun pondasi itu saat ini sedang merantau ke Pulau Jawa. “Pendirian pondasi ini semacam ‘booking tempat’,” tambah Pak Mali yang belum memutuskan untuk membuat kedainya permanen.
Kedai Pak Mali berdiri bersandar pada sebuah pohon besar di tepian danau itu. Sekitar lima meter ke samping, terdapat sebuah jenjang turun ke permukaan danau dari trotoar jalan. Trotoar tanah atau sisa jalannya, juga cukup luas untuk orang yang mampir dan memarkir kendaraan. Tepat di sebelah kanan warungnya, juga ada sebuah bak sampah tembok yang kemudian menjadi batas dinding dapurnya. Bak sampah ini dibuat oleh pemerintah provinsi, katanya. Menurut Pak Mali, bak sampah ini jarang sekali digunakan, karena memang tidak banyak rumah dan kedai di sekitar situ. “Kalau pun ada, seperti bak sampah lainnya, tidak ada yang jemput, atau membakar, akhirnya (sampah) melimpah. Tak jauh dari sini juga ada yang rubuh tapi dibiarkan saja.” Saya memang pernah melihat bak sampah yang runtuh ke danau tersebut, agak jauh dari kedai Pak Mali. Namun, saat saya kembali ke sana sebelum menulis artikel ini, keberadaannya sudah diperbaiki.[1] Rubuh pada bulan Oktober 2013, dan selesai diperbaiki sekitar bulan Agustus tahun 2015, berupa perbaikan tembok dam.
Bagian dalam bak sampah dekat kedai Pak Mali, ia manfaatkan sebagai tempat menyimpan beberapa barang-barangnya, seperti ember, kayu-kayu, kompor yang rusak, golok, dan jaring ikan. Ditambah dengan barang para ‘pengeruk pensi’, yang sering menyelam di sekitar sini. Salah satu sisi dinding luar bak sampah itu digunakan Pak Mali sebagai dinding dapur, penahan angin. “Lebih bermanfaat kalau begini,” kata Pak Mali. Sore hari biasanya, Pak Mali dan keluarganya mandi di tepian danau di balik kedainya. Tapi, ia harus sedikit menjarak ke Utara, karena sekitar 10 meter ke selatan kedainya, ada sebuah rumah makan permanen yang cukup besar. Seperti banyak kedai permanen lainnya, limbah dapur dan limbah toilet langsung meluncur ke danau bak pincuran. Sambil mandi, keluarga Pak Mali biasanya juga menghalau sampah-sampah yang mengapung untuk menjauh. “Sampah yang mengapung itu kadang melayang-layang ke sini bersama angin danau, kadang dibuang beberapa pelanggannya. Kalau sampah-sampah yang di darat, tinggal dibakar,” kata Pak Mali.
Sejak berdirinya kedai ini, Pak Mali sering tidur di situ, dan berjaga secara bergantian dengan anak dan istrinya. Sementara, pada siang hari ia ke ladang. Televisi kecil pun sudah terpajang pas di kedainya, jadi hiburannya setiap hari. Posisinya tepat di sudut santainya, di mana tidak mudah bagi pelanggan untuk ikut menonton. Biasanya, kalau pelanggan sedang ramai, ia akan memutar televisi itu agar pelanggan dapat menonton pula. Rumah asli Pak Mali berada di atas bukit sana, di kampung Simawang ateh (atas). Tidak begitu jauh, dan tidak begitu susah mencarinya. Cukup menyeberangi jalan, lalu menyeberangi rel, menaiki perbukitan, lantas melewati area persawahan mengikuti kabel yang merentang hingga ke warungnya. Ya, sebagian besar pemilik kedai di tepian timur danau Singkarak berasal dari perbukitan yang membentang dari Simawang, Batu Limbak, Biteh, Kacang, Tikalak, dan beberapa perkampungan dari Nagari Singkarak.
Di tepian timur danau ini, bisa dikatakan tidak ada ‘perkampungan’. Lain halnya di seberang sana, di tepian barat. Di sana terdapat beberapa perkampungan dan pasar pekan. Di tepian timur, danau terlalu dekat dengan tebing perbukitan, hampir tidak ada padang yang lapang untuk permukiman. Tapi sekarang, bangunan-bangunan: rumah, kedai, resto, dan tempat ibadah, telah berjejer di tepian danau, dengan kaki-kakinya yang mengangkangi danau. Bangunan yang berjejer ini baru ditempati oleh warga sejak awal abad 20, setelah seorang geolog muda asal Belanda mempublikasikan temuan batu bara di daerah sepanjang Sungai Ombilin sekitar 1871. Temuan ini memicu kehadiran tiga proyek besar di Sumatera Barat: penambangan batu bara, pembangunan pelabuhan, dan pembangunan jalur kereta api; dan jalur kereta itu telah beroperasi pada 1899.
Kedatangan Eropa ke Padangsche Bovenlanden
Sejak abad 17, Belanda sudah terlibat dalam perdagangan di Padang. Pada masa itu, Belanda atau para pedagang asing lainnya telah memasok kapal mereka dengan hasil dagang masyarakat Minangkabau di daerah pantai barat Sumatera, seperti di Kota Padang, Pariaman, Tiku, dan daerah Pasaman. Selain Belanda, di pantai barat juga terdapat bangsa Aceh, Cina, India, Arab, dan Amerika yang memasok barang dagang dari perbukitan Sumatera Barat untuk diperdagangkan di pasar mereka masing-masing.Pada tahun 1795, Inggris mengambil alih pantai Padang dari tangan Belanda atas nama Raja Belanda, Raja William V.[2] Masa ini dikenal dengan masa interregnum Inggris (1795-1819). Pada saat itu, Raja Belanda mengungsi ke Inggris, ketika Belanda diduduki oleh kaum Patriot. Setiap daerah jajahan Belanda diserahkan ke Inggris. Di Hindia, peralihan ini juga dilakukan untuk membendung kekuatan Prancis di Jawa dan Sumatera. Sementara itu, Belanda, Inggris, dan beberapa negara lainnya membentuk koalisi untuk melawan Prancis yang waktu itu dipimpin oleh Kaisar Napolen. Setelah Napolen kalah, dalam Interregnum Inggris di Hindia, terjadi pengembalian kekuasan ke tangan Belanda. Lihat Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Pelakat Panjang, Jakarta, Sinar Harapan, 1981. Setelah masa peralihan ini usai, setelah kekalahan Kaisar Napolen, Hindia, termasuk di dalamnya Sumatera, harus diserahkan kembali kepada Belanda, sesuai kesepakatan. Sebelum penyerahan kembali itu dilakukan, pada 18 Juli 1818, Sir Thomas Stanford Raffles yang waktu itu menjadi Gebernur Bengkulu, memasuki ‘Sumatra’s weskust’ menuju daerah pedalaman Minangkabau, atau dataran tinggi Padang (Padangsche Bovenlanden),[3]Padangsche Bovelanden, atau ‘Padang Dataran Tinggi’, adalah istilah yang digunakan Belanda dan Eropa pada masa kolonial, menunjuk daerah pedalaman Sumatra Barat atau pusat kerajaan Minangkabau. demikian Belanda menyebut negeri Minangkabau yang berada di balik pebukitan—yang berbaris memanjang di balik kota pelabuhan Padang. Tempat asal para pribumi memproduksi hasil alamnya untuk diperdagangkan di Padang, Pariaman, dan daerah pesisir barat lainnya; Alam Minangkabau. Raffles diklaim sebagai orang Eropa pertama yang menjelajahi sebagian besar alam Minangkabau ini.[4] Memoir of the life and public service of Sir Thomas Stamford Raffles, adalah catatan mengenang Raffles yang ditulis oleh Istrinya Sofia Raffles. Dipublikasi pada tahun 1835, buku Vol I ini berisikan catatan-catatan perjalan Raffles, surat-suratnya, dan cerita lainnya. Dalam artikel ini ada banyak narasi mengenai Raffles yang bersumber dari buku tersebut. Narasi mengenai panggilannya Ke London dan memerintah Sumatra bisa dilihat mulai halaman 318, kemudian tentang niat memasuki Pedalaman Minangkabau bisa dilihat pada halam 353, dan catatan-catatan, kesan, serta surat-suratnya mengenai perjalanannya di Minangkabau bisa dilihat mulai dari hal 385. Dia bersama lima orang kawan Eropa, yang di antaranya terdapat ahli botani, terdapat pula dua orang keluarga raja, serta 50 tentara, dan ratusan pribumi pembawa barang. Raffles datang saat situasi politik di Minangkabau sedang bertransformasi. Masyarakat baru saja menyesuaikan diri dengan gerakan pemurnian Islam oleh kelompok puritan, yang lebih dikenal dengan gerakan Pidari.[5]Pidari / Paderi / Padri menurut Chiristine Dobbin dalam Gejolang Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri, adalah istilah yang berasal dari kata Piddie, salah satu nama desa pelabuhan di utara Sumatera, tempat yang biasa disinggahi oleh masyarakat Minangkabau ketika hendak pergi berziarah ke Kota Mekah. Rusli Amran, dalam bukunya Sumatera Barat Hingga Pelakat Panjang, menyebut gerakan ini dengan istilah Pidari, menyesuaikan pelafalan dalam konteks bahasa lokal. Gejolak ini berawal sejak tahun 1803, setelah beberapa tokoh “haji” lokal baru pulang dari Mekah. Waktu itu, di Arab Timur terjadi perang saudara yang dikenal dengan gerakan pemurnian oleh kelompok Wahabi. Pengalaman ini rupanya menginspirasi para “haji” yang baru pulang itu untuk melakukan hal yang sama di Minangkabau, yakni menyerukan gerakan “kembali ke syariat”. Di antaranya terjadi penghapusan kebiasaan adu jago, adu ayam, judi, dan lambat laun aturan itu berkembang pada pelarangan menghisap tembakau, candu, mengunyah sirih, serta pelarangan menggunakan pakaian sutra. Dalam gerakan yang dipimpin oleh Tuanku Nan Rinceh, pada masa itu sebagian besar warga di daerah yang telah dikuasainya terdapat keharusan untuk menggunakan pakaian seperti orang menggunakan jubah, pakaian serba putih atau biru, menggunakan sorban, memelihara janggut, dan bagi perempuan menggunakan kerudung.[6]Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri 1784-1847, Jakarta, Komunitas Bambu, 2008. Hlm. 209-210.
Gerakan pemurnian ini bernama gerakan Pidari. Beberapa tokoh besarnya, antara lain Haji Miskin, Tuanku Nan Rinceh, Tuanku Mesiangan, Datuak Bandaro, dan kemudian muncul pula tokoh di bagian utara Minangkabau, seperti Peto Syarif, atau yang lebih dikenal dengan nama, Tuanku Imam Bonjol. Di utara juga terdapat Tuanku Tambusai yang kelak menguasai hampir seluruh titik dagang penting di tanah Batak. Gerakan Pidari ini akhirnya malah memecah perang saudara, perebutan kekuasaan, perampasan harta, pembakaran desa, serta perbudakan saudara. Ketegangan terjadi di sana-sini di Minangkabau. Salah satunya yang paling utama, di samping misi keagamaan, adalah perebutan pusat-pusat perdagangan.[7]Lihat Dobbin, ibid., hlm. 202-245.
Di Padang, waktu itu Raffles bertemu dengan dua orang keluarga Datuak Rajo Alam, yang berhasil lolos dari pembantaian yang dilakukan oleh gerakan Pidari di Koto Tangah. Rajo Muning Syah atau Rajo Alam, sebelumnya dikenal sebagai pemimpin “Kerajaan” Minangkabau yang berbasis di Kerajaan Pagaruyung. Ia memimpin kerajaan ini bersama Rajo Ibadat yang berbasis di Saruaso.[8]Kerajaan Minangkabau pada masa itu dimpimpin oleh Rajo Ibadat yang berbasis di Saruaso dan Rajo Alam yang berbasis di Pagaruyung. Dua negeri ini —Pagaruyung dan Saruaso—berada di Luhak Tanah Datar. Sebelumnya, Rajo Alam sempat terkesan dengan gerakan Pidari ini, terutama untuk mengatasi penyakit masyarakat seperti perjudian dan anjurannya mengedepankan ibadah. Hal ini juga didorong oleh keinginan para petinggi Pidari untuk melibatkan pemimpin adat gerakan ini. Rajo Alam tidak menolak pandangan-pandangan dari Tuanku Nan Rinceh. Di bawah perlindungan Rajo Alam, Tuanku Lintau menyerukan perlunya perbaikan moral di beberapa desa. Dalam seruan itu tidak terjadi pemaksaan, seperti yang terjadi Pandai Sikat, Kamang, Koto Laweh, Lintau, dan lainnya, yang harus mengikuti iman menurut Pidari. Tapi memang pemimpin-pemimpin desa yang memiliki budidaya sawah ini sulit beralih iman menjadi pendukung Pidari, karena mereka begitu terikat dengan sistem adat yang ada, berbeda dengan penghulu desa-desa sawah di Lintau yang dengan mudah bergabung. Sampai kemudian, gerakan ini menjadi tidak terkendali. Seruan itu memicu pertentangan di antara beberapa desa di Tanah Datar. Pembakaran dan pembantaian terjadi di mana-mana, terutama di wilayah timur Tanah Datar.[9]Lihat Dobbin, op. cit., dan Memoir of the Life…, op. cit.
Tuanku Lintau merasa Rajo Alam tidak mempunyai kekuatan maupun keinginan untuk melaksanakan pembaruan ini sampai tuntas. Pidari akhirnya memerangi Rajo Alam. Setelah beberapa kali pertempuran yang sempat reda, diadakan sebuah forum petinggi adat dan para ulama pada tahun 1815. Dalam forum itu, Para petinggi adat dan ulama yang pro-Pidari menginginkan satu sistem administrasi yang seragam untuk mendukung pemurnian ini dan tentu juga kemudahan dalam mengatur ekonomi. Pidari menuntut otonomi desa yang selama ini berjalan dihapuskan dan dijadikan seragam, dan satu-satunya cara waktu itu adalah dengan menyingkirkan Rajo Alam. Rajo Alam kemudian dicap sebagai koruptor dan kafir sehingga kelompok Pidari yang sudah mulai memiliki banyak anggota dengan mudah mengkudeta Rajo Alam dan membantai keluarganya. Dalam pembataian itu, dua anak Rajo Alam terbunuh. Rajo Alam sendiri melarikan diri ke Jambi bersama dua orang cucunya. Wewenang Rajo Alam dan Rajo Ibadat secara sosial kemudian diambil alih oleh beberapa keluarga Rajo Alam lainnya yang mengungsi ke daerah pelabuhan, di Padang, yang salah satunya dipanggil dengan nama “Tuanku”.[10]Surat Raffles kepada Dowdeswell 12 Agustus 1818. Lihat Memoir of the life…, op cit.
Kedatangan Raffles, dalam konteks ini, tidak hanya berkaitan dengan persoalan Pidari semata. Ia juga melirik Sumatera Barat sebagai salah satu daerah yang harus dikuasai Inggris. Menurut Raffles, Inggris harus tetap terhubung dengan Hindia-Belanda (sekarang Indonesia) setelah mereka harus melepas kembali pulau Jawa ke tangan Belanda pascaperang Napoleon. Orang-orang Minangkabau sendiri, selain aktif berdagang di pantai barat, juga sangat berperan dalam memasok hasil pertanian di jalur perdagangan di sepajang timur dan selatan Sumatera, bahkan mencapai Aceh, Melaka, Singapura, dan Penang. Mendapatkan Sumatera Barat, waktu itu dianggap bisa menjadi kompensiasi yang seimbang atas lepasnya Jawa.[11]Dobbin, op. cit. Kabar meluasnya gejolak perang saudara Pidari ini sebelumnya sudah terdengar ke berbagai pelosok Sumatera, termasuk kepada Raffles. Daerah-daerah yang coba dikuasai Pidari secara umum merujuk desa-desa yang memiliki perkebunan kopi dan akasia yang baik, atau beberapa desa yang berpotensi untuk ditanami kopi dan akasia. Desa-desa yang paling awal dikuasai Pidari untuk dijadikan basis kekuatannya, antara lain Koto Laweh, Pandai Sikek, Kamang, dan Lintau, adalah daerah-daerah utama pemasok kopi di Padang, basis perdagangan Eropa.[12]Dobbin, op. cit., hlm. 202-245 Kemudian di utara pola serupa juga dilakukan oleh Imam Bojol dan dikembangkannya dengan pertanian sawah dan peternakan sapi, yang sering kali berhubungan dengan pedagang Aceh.[13]Dobbin, op. cit., hlm. 257-278 Kabar mengejutkan sebelum kedatangan Raffles adalah, kehadiran Pidari di titik-titik perdagangan penting untuk Eropa saat itu, serta terdengar kabar Pidari telah menembus sejauh pelabuhan Saniangbaka,[14]Dobbin, op. cit., hlm. 227 negeri di tepian selatan danau Singkarak. Salah satu negeri yang menjadi titik penting keluar masuknya para pedagang, dari pebukitan menuju kota pelabuhan di pesisir barat.
Saniangbaka sebelumnya adalah salah satu pintu utama para pedagang dalam membawa hasil pertanian dari Luhak Tanah Datar. Dari Ombilin para pedagang akan membawa barang dagangan mereka untuk dibawa pialang ke Padang melintasi pebukitan yang masa itu dikenal dengan Gunung Salayo, salah satu pebukitan di Bukit Barisan. Ada juga beberapa dari pedagang itu sendiri yang memilih langsung mengantarkannya, dengan menyewa beberapa pesilat dan pengangkut barang untuk langsung bertransaksi dengan para pialang di Padang. Melalui pialang inilah kemudian barang dagangan bertemu dengan para pengusaha dagang Belanda, dan pengusaha lainnya.[15]Pialang dan pedagang di Padang telah berganti-ganti sepanjang kependudukan asing. Perpialangan di Padang pernah didominasi oleh orang Minangkabau sendiri, terutama dari masyarakat Solok, kemudian pernah juga dikuasai oleh etnis Cina. Sebelumnya, konsep perpialangan sangat berperan penting untuk menahan keberadaan Belanda dan Inggris di daerah pelabuhan Padang saja. Hal serupa juga terjadi di Pelabuhan Pariaman yang sempat didominasi oleh bangsa Aceh, Arab, Gujarat. Serta pelabuhan Tiku, dan pelabuhan di daerah Pasaman. Lihat Dobbin, op. cit.
Ada beberapa titik lainnya yang masih aman, yakni Batipuah. Daerah ini, yang juga menjadi pusat perdagangan dan basis pelarian orang-orang, tidak mau ikut bergabung dengan Gerakan Pidari. Batipuah sebelumnya sempat diserang oleh pasukan Tuanku Lintau, namun perperangan ini tidak dilanjutkan karena terlalu jauh dari basis Tuanku Lintau.
Raffles bersama rombongannya memilih memasuki Padangsche Bovelanden melalui jalur Saniangbaka ini. Dari Padang ia mendaki melewati Desa Limau Manih, melintasi perbukitan Bukit Barisan, menuruni Gunung Salayo, dan Gedong Beo. Dari perbukitan ini, Raffles dan rombongan turun ke Nagari Salayo, Solok atau Wilayah Konfederasi Kubuang Tigo Baleh. Di sana, Raffles melihat sebagian besar masyarakat menggunakan pakaian yang tidak ubah seperti orang Arab. Menggunakan jubah, sorban, dan perempuannya menggunakan kerudung, bahkan cadar.
“On entering the country, we were struck by the costume of the people, which is now anything but Malay, the whole being clad according to the custom of the Orang Putis, or Padris, that is to say, in white or blue, with turbans, and allowing their beards to grow, in conformity with the ordinances of Tuanku Pasaman, the religious reformer. Unaccustomed to wear turbans, and by nature deficient in beard, these poor people make but a sorry appearance in their new costume. The women, who are also clad in white or blue cloth, do not appear to the best advantage in this new costume; many of them conceal their heads under a kind of hood, through which an opening is made sufficient to expose their eyes and nose…” [16]Kutipan yang digunakan Sophia Raffles dalam Memoir of the Life and Public Service of Sir Thomas Stamford Raffles. Lihat Memoir of the Life…, op. cit., hlm. 404
(‘Memasuki daerah ini kita akan terkesan sekali oleh pakaian penduduknya yang sama sekali bukan pakaian melayu lagi. Sekarang orang berpakaian menurut adat Orang Puti atau Padri yang putih biru dengan serban. Mereka juga membiarkan janggutnya tumbuh, sesuai dengan peraturan Tuanku Pasaman, pemimpin agama. Karena tidak biasa memakai serban dan memang pada dasarnya tidak berjanggut, orang-orang yang malang ini tampak menyedihkan dalam pakainnya yang baru. Para wanitanya, yang juga memakai kain putih atau biru juga tidak tampak menarik dalam pakaian mereka. Kebanyakan mereka memakai kerudung yang hanya terbuka pada bagian mata dan hidungnya…’)
Di Solok, ketika memasuki kampuang XIII Koto, ia harus menunggu persetujuan dari pempinan adat. Karenanya, diadakanlah rapat kecil. Dalam kesempatan itu, Raffles mengutarakan maksud kedatangannya. Ia juga memaparkan bahwa Belanda akan segera mengambil alih Padang. Masyarakat di Lembah Solok dikenal sangat-sangat menguasai daerah pantai barat, dan para penguhulu sangat berperan penting dalam mengorganisir warganya untuk berdagang di pantai barat, terutama di Kota Padang. Dalam hal ini, tentu Inggris mengharapkan para petinggi adat dapat bekerja sama dengan perusahaan dagang milik Inggris. Sementara itu, Solok sendiri juga tengah mencari bantuan dari luar untuk mengatasi krisis yang terjadi di dalam masyarakatnya akibat perkembangan dan kemunduran ekonomi mereka. Dalam pertemuannya di lembah Solok, ia meminta para perwakilan untuk menuliskan apa yang mereka inginkan kepada Raja Inggris.[17]Lihat Memoir of the Life…, op. cit.
Desa-desa di Lembah Solok tampaknya bersedia menyerahkan tanah pesisir di pantai barat Minangkabau kepada perusahaan Inggris. Masyarakat Solok sendiri, melalui surat mereka yang diajukan kepada Raja Inggris, mengaku kawatir akan kembalinya Belanda ke pantai barat, di Kota Padang. Sekitar 100 tahun sebelum masuknya Inggris, pelabuhan Padang dikuasai Belanda. Para pedagang ini takut Belanda akan menutup pelabuhan, menentukan harga yang tidak memadai untuk hasil pertanian warga, dan penipuan-penipuan lainnya. Jika pelabuhan ini kembali dikuasai Belanda, masyarakat menyebut ini “tindakan tidak adil dan tidak berprikemanusian terhadap bangsa Melayu.”[18]Lihat Dobbin, op. cit.
“Monday, 20th.—This day was spent at Solo Solaya. About noon I was informed that all the Chiefs of the adjoining districts had assembled, and were desirous of a conference. In number they amounted to some hundreds, and I therefore requested they would select ten or twenty, with whom I could personally confer. After about an hour’s disputing, and when I found by their clamour that they were likely to separate in disorder, I was compelled to say I would confer with the whole of them, if they wished it. They accordingly assembled in the vicinity of the Bali, or town-hall; and having formed a circle, in which a place was reserved for me, I took my seat with all the state which circumstances admitted. The object of my visit was then inquired into, and the propriety of allowing the Dutch to return to Padang discussed with much vehemence, until one and all declared the Dutch never should return…”[19]Kutipan dalam catatan harian Raffles. Lihat Memoir of the life…, op. cit., hlm. 405–406
(‘Senin, tanggal 20.—Hari ini dihabiskan di Solo Solaya. Sekitar tengah hari saya diberitahu bahwa semua Kepala distrik yang berdampingan telah berkumpul, dan berkeinginan untuk mengadakan sebuah konferensi. Jumlahnya berjumlah beberapa ratus, dan oleh karena itu saya meminta mereka untuk memilih sepuluh atau dua puluh, dengan siapa saya bisa memberi saran secara pribadi. Setelah sekitar satu jam memperdebatkan, dan ketika saya memahami bahwa dalam keributan mereka, mereka cenderung berpisah, saya terpaksa mengatakan bahwa saya akan berunding dengan mereka semua, jika mereka menginginkannya. Mereka berkumpul di sekitar Bali, atau balai kota; dan setelah membentuk sebuah lingkaran, di mana sebuah tempat disediakan untuk saya, saya mengambil tempat duduk saya dengan semua keadaan yang situasinya telah diakui. Tujuan kunjungan saya kemudian ditanyakan dalam pertemuan itu, dan kepasrahan yang memungkinkan orang Belanda kembali ke Padang didiskusikan dengan banyak perasaan, sampai satu dan lain orang menyatakan bahwa Belanda tidak akan pernah kembali…’)
Masyarakat Solok sendiri baru saja menyadari pentingnya jalur itu. Sejak dikuasai Inggris, perdagangan menjadi lebih terbuka. Kegiatan perdagangan pun menanjak 20 kali lipat dari sebelumnya. Kondisi ini sangat berbeda saat pelabuhan Padang dikuasai oleh Belanda yang hanya membeli hasil perkebunan dengan harga murah, serta cukai yang tidak seimbang terhadap pasokan kain, dan keterbatasan lainnya. Dari lembah Solok, Raffles dan rombongan melalui jalur darat menuju Saniangbaka, daerah selatan danau Singkarak, dari sana ia dan rombongan dengan kapal-kapal besar menyeberangi Singkarak dan berlabuh di Simawang, hulu Sungai Ombilin.
Dari Simawang, ia melanjutkan perjalanan ke Saruaso, terus menuju Pagaruyung. Ketika sampai di Pagaruyung, ia mendapati Istana Pagaruyung telah dibakar sebanyak tiga kali, serta bangunan yang ada kaitannya dengan istana telah dihancurkan, begitu juga dengan Saruaso. Setelah Tuanku Lintau menyerang keluarga Rajo Alam, ia mengawini anak dari Rajo Ibadat, sebagai upayanya untuk mengambil alih tugas Rajo Alam dan Rajo Ibadat secara resmi pada tahun 1817. Lalu Tuanku Lintau memindahkan pusat pemerintahan ke Sumpur Kudus. Penguasaan Tanah Datar dianggap memiliki motif lain. Desa-desa Pidari, yang menjadi target penguasaan Pidari sebelumnya, dan mengkudeta Rajo Alam, adalah daerah-daerah yang dipenuhi kebun kopi dan akasia. Saat itu, orang-orang di Lintau sedang dikerahkan untuk budidaya kopi. Lumbung beras di Tanah Datar sangat penting untuk pengoperasian misi Pidari di Tanah Datar bagian timur. Ada semacam ketakutan oleh Pidari Lintau kalau harus memasok beras dari desa luar, sedangkan sejumlah orang yang dianggap pemberontak oleh Tuanku Lintau, diperdagangkan dan dipekerjakan sebagai budak.
Selain masyarakat di Lembah Solok, Saruaso dan Pagaruyung adalah dua desa di dataran Tanah Datar yang penting untuk dikunjungi Raffles dalam misi itu. Tanah Datar yang dianggap sebagai pusat kerajaan Minangkabau adalah salah satu negeri yang bertahan dengan pengaturan yang baik dalam perdagangan emas Minangkabau dengan dunia luar. Beberapa tahun terkahir, berbarengan dengan konflik Padri, perdagangan emas sangat menurun. Keluarga kerajaan yang putus asa pun meminta bantuan Inggris. Di Tanah Datar, Raffles menerima sambutan dari wanita terakhir yang mewakili “keluarga sah” raja Minangkabau. Penandatanganan perjanijian ini membuat Inggris menguasai jalur pantai barat Minangkabau, termasuk pulau-pulau di seberang, antara Indrapura hingga Natal. Dobbin menuliskan, termasuk sebuah klausul yang mengijinkan Inggris untuk mengakses jalur antara Kerajaan Minangkabau dan pantai timur, jalur yang selama ini sangat dipertahankan agar bangsa Eropa tidak naik ke pegunungan dan bertahan di daerah pantai barat saja. Raffles kembali ke Padang, sebelumnya ia meninggalkan beberapa tentaranya di Benteng kecil di Simawang dan mengibarkan Union Jack[20]Rusli Amran, op. cit. hlm. 361 dan 366 untuk melindungi jalur Danau Singkarak hingga pesisir pantai barat agar tetap terbuka. Raffles kembali ke Padang menyeberangi danau Singkarak, mendaki perbukitan Bukit Sambung dan turun di Koto Tangah menuju Padang. Sejak saat itu, resmilah campur tangan Eropa di pedalaman Minangkabau.
***
TIGA TAHUN SETELAH Jawa diserahkan kembali kepada Belanda, menyusul penyerahan Padang. Berbagai usaha dilakukan Raffles untuk meyakinkan Raja Inggris mempertahankan Sumatera Barat. Raffles melihat Inggris harus tetap terhubung dengan Hindia, dan Minangkabau adalah negeri yang tepat. Terutama setelah melihat sepak terjangnya dalam perdagangan dunia luar maupun kempuannya dalam mendominasi jalur perdagadangan di Sumatera dan Melaka. Mendapatkan Minangkabau adalah kompensasi yang seimbang atas lepasnya Jawa. Raffles pun menegaskan bahwa pusat Minangkabau atau dataran tinggi Padang tidak termasuk daerah yang pernah dikuasai Belanda, yang sebelumnya hanya menguasai kota pelabuhan Padang. Permintaan itu tidak disetujui oleh para pejabat East India Company (EIC) maupun raja Inggris.[21]Dalam bukunya, Wurtzurg menjelaskan bahwaRaffles sebelumnya mengirimkan surat kepada Raja Inggris agar menahan Belanda untuk kembali menguasai Padang. Raffles bahkan berdalih bahwa yang dikembalikan hanya Padang yang pernah dikuasai Belanda, bukan daerah Padangshce Bovelanden yang didapat oleh Raffles. Permintaan Raffles ditolak oleh Raja inggris. Lihat C. E. Wurtzburg, Raffles of the Eastern Isles, London, Hodder and Stoughton, 1954, hlm. 445-448 Dalam penyerahan ini, tidak ada terjadi perang seperti halnya saat Belanda menyerahkan Padang ke tangan Inggris, pada tahun 1725.[22]Rusli Amran, op. cit., hlm. 350-380
Belanda kembali menduduki Padang, dan mulai mengikuti pemikiran Raffles yang ingin menguasai dataran tinggi Padang, atau pusat Minangkabau. Belanda pun kemudian melanjutkan apa yang telah dimulai Raffles. Pada 20 Februari 1821, desa-desa di Lembah Solok, Singkarak, dan Tanah Datar menyetujui penyerahan jalur dagang terhadap Belanda. Bahkan, dengan persetujuan tambahan yang sangat menguntungkan Belanda, tanah-tanah di Desa Saruaso, Sungai Tarap, dan Pagaruyung akan diserahkan kepada pemerintahan Hindia Belanda tanpa syarat. Sebagai imbalannya, Belanda memberi bantuan tentara untuk memerangi Pidari. Saat itu, mulailah Belanda secara perlahan menjajah pedalaman Minangkabau. Belanda mengirim tentara-tentaranya mengisi benteng Simawang yang sebelumnya didirikan Raffles, kemudian menyerang desa-desa fanatik Pidari, seperti Sulik Aia, dan berlanjut ke desa-desa lainnya. Berbagai perperangan dan perebutan kekuasaan dari daerah yang dikuasai Pidari terjadi. Belanda mulai mendirikan benteng dan pos militernya di setiap jalur stategis untuk menguasai perdagangan.
Pemerintah Hindia-Belanda melakukan perbaikan berbagai transportasi dan pelebaran jalan. Pembuatan jalur-jalur baru yang menghubungkan pedalaman Minangkabau dan pelabuhan pun dilakukan. Salah satunya, proyek besar pembuatan jalan tembus antara Padang dan Padangpanjang melalui Kayu Tanam pada tahun 1829, di masa Gubernur Jendral van den Bosh. Jalur-jalur perdagangan ini semula memang ditujukan sebagai jalur yang efisien dalam membawa hasil pertanian dari gudang niaga Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) baru di Padangpanjang dan Payakumbuh ke pelabuhan, menggunakan kuda beban. Cara ini dapat jauh menghemat biaya dari pola sebelumnya yang menggunakan banyak kuli angkut. Beberapa pos keamanan dibangun sepanjang jalan di daerah Padang–Padangpanjang dengan jarak-jarak yang efisien untuk menerima bantuan personil dalam keadaan darurat. Pembangunan-pembangunan besar itu terus melaju, melihat kemungkinan jangka panjang Gubernur Jenderal hingga 25 tahun mendatang. Namun, pereperangan melawan Pidari yang sudah sangat terlatih begitu mempersulit misi Belanda. Jalur baru yang sudah bisa dilewati kereta sapi dan kuda beban jauh lebih banyak dimanfaatkan untuk melawan pasukan Pidari ketimbang perdagangan.
Tahun 1833, jalur transportasi darat di Padangsche Bovenlanden mendapat pengembangan lebih lanjut. Jalur utama dilebarkan. Jembatan-jembatan besar mulai dibangun. Hal ini terutama untuk kepentingan akses pasukan kolonial dalam meredam ‘nasionalisme Minangkabau’.[23]Lihat lagi Dobbin, op. cit. Di antara tahun 1848, setelah Minangakabau ditaklukan, beberapa jalur baru untuk pengangkutan kopi, seperti Solok–Alahan Pajang, Solok–Batipuh, Solok–Sijunjung, dan Sijunjung–Batusangkar, demi kepentingan perdagangan, dibangun dengan kerja paksa. Lalu, pada 1870-an terjadi pembukaan kebun kopi besar-besaran yang menghubungkan Solok–Tanah Datar, dan Limopuluh Koto ke Pasaman.[24]Gustian Anan, “Transportation on the west coast of Sumatra in the nineteenth century”, Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Volume 158, Issue 4, 2002, hlm. 727–741. Jalur-jalur ini kemudian masih menjadi jalur-jalur utama hingga saat ini, dengan demikian akses Belanda dalam menentukan kebijakan ekonomi di Minangkabau bisa berjalan baik.
Mutiara Hitam di Batang Ombilin
Setelah berhasil menguasai pemerintahan di Minangkabau, Belanda di bawah arahan Gubernur Jenderal van den Bosch mulai mempersiapkan ‘hari depan Sumatera’ menjelang ia menjadi menteri negeri jajahan. Selain pengembangan perkebunan utama seperti kopi, berbagai ilmuan dan peneliti didatangkan untuk membaca potensi yang ada di Sumatera Barat. Pada tahun 1867, William Hendrick De Greeve, geolog muda asal Belanda, dari Jawa mendarat di Padang dalam tugas pentingnya melanjutkan temuan seniornya, Ir. C. De Groot, pada tahun 1858. Sebelumnya, De Groot mendeteksi keberadaan batu bara di sepanjang daerah aliran Sungai Ombilin (terpusat di Sawahlunto). Dalam penelitian lanjutan itu, Greeve membawa berita yang mengejutkan. Pada tahun 1870, ia kembali ke Jawa dan melaporkan temuan bahwa lebih dari 200 juta ton cadangan batu bara terdapat di Sungai Ombilin. Tahun 1871, laporan Greeve dipublikasi melalui media Belanda. Sejak saat itu berbagai polemik muncul di Belanda dan negara-negara kolega di Eropa. Polemik itu meliputi perebutan dari pihak swasta dan negara yang ingin mengelola proyek besar ini. Dari laporan di media, setidaknya muncul banyak pendapat agar pembangunan itu tetap dilanjutkan selama pengelola belum diputuskan. Hingga akhirnya, negara sengaja menunda sampai hasil penelitian berikutnya selesai.[25]Lihat Erwiza Erman, Membaranya Batubara: konflik kelas dan etnik Ombilin-Sawahlunto, Sumatera Barat, 1892-1996, Desantara, 2005.Pada tahun 1872, Greeve diminta untuk meneruskan penelitiannya. Kali ini, ia menyusuri Batang Kuantan sekaligus untuk menemukan jalur angkutan yang tepat. Tapi dalam penelitian, ia tewas akibat sebuah kecelakaan di Sungai. Ia dimakamkan di di daerah Sungai Durian, Sijunjung. Penelitian Greeve dilanjutkan oleh R.D.M Verbeek yang kemudian mendukung temuan Greeve, bahwa terdapat 200 juta ton batu bara, yang dapat diproduksi hingga 100 ton setiap tahunnya. Perebutan terjadi di Eropa. Berbagai kelompok swasta ikut melakukan eksplorasi untuk menemukan rincian anggaran yang tepat. Berbagai proposal diajukan untuk melakukan pembangunan ini, termasuk usul terkait jalur, wilayah pemasaran, dan pembangunan sarana pendukung lainnya.
Rentang tahun 1875–1879, terjadi perdebatan mengenai jalur angkutan. Dua kelompok besar yang bertentangan pada waktu itu adalah J.L. Cluysenaer yang secara rinci mengeluarkan tiga laporan penelitiannya (1875–1878) untuk merekomendasikan jalur pantai barat sebagai jalur angkutan hasil tambang. Sedangkan kelompok lainnya adalah D. D. Veth yang pada tahun 1877–1879 juga aktif mengeluarkan artikel dan melakukan presentasi untuk pembangunan jalur angkutan melalui pantai timur, yakni dari Sawahlunto menuju Riau hingga pantai timur. Bagi Veth, jalur timur sangat menguntungkan terutama karena dekat dengan Singapura sebagai negara konsumen batu bara terbesar. Pemerintahan Belanda pada masa itu memiliki pesoalan rumit dalam permodalan, banyak uang telah dikeluarkan dalam pembangunan jalur kereta di Jawa, belum lagi termasuk perang Aceh yang cukup banyak menelan biaya. Akhirnya, dengan pertimbangan keuangan, tak seorang pun sepakat dengan jalur timur. Pembangunan disepakati memakai usulan Cluysenaer dengan membangun pelabuhan di pantai barat, kemudian membangun jalur kereta dari Padang melewati Kayu Tanam, Lembah Anai, Padangpanjang, hingga ke lokasi tambang, di Sawahlunto.[26]Erwiza Erman, ibid.
Perdebatan dilanjutkan dengan perebutan antara pihak swasta dan negara yang akan merealisasikan proyek besar tersebut. Perebutan ini adalah dampak keterbukaan dari iklim politik liberal Eropa pada waktu itu. Termasuk Cluysenaer dan rekannya Van Houten yang mengajukan diri untuk mengelola proyek itu. Ia memperkirakan biaya berkisar 24,4 Juta Gulden.[27]Dalam De Ingenieur (1890), hlm. 369, dituliskan anjuran bahwa agar Clusenaer dan Van Houten menerima surat resmi supaya pengolahan diserahkan kepada pihak pemerintah. Hingga 10 Juni 1887, sebagian besar anggota parlemen menolak tender-tender swasta. Parlemen juga memutuskan bahwa proyek tersebut akan dikelola oleh Negara. Proyek tersebut meliputi pembangunan pelabuhan, pembangunan rel kereta api, dan Tambang Batu Bara Ombilin. Pembangunan ini dilaksanakan di bawah tangan Ir. M. J. Ijzerman, yang sebelumnya berhasil menyelesaikan pembangunan rel di Jawa. Keputusan itu telah terdengar walau belum dikeluarkannya surat perintah. Perdebatan tetap dijaga dengan harapan terdapat penawaran-penawaran yang jauh lebih menarik. Namun, Ijzerman telah memulai pembangunan tersebut tanpa surat perintah, dan pada tahun 1891, penawaran ditutup.[28]Lihat Erwiza Erman, op. cit.
Proyek besar itu melewati jalur-jalur yang telah dibangun dalam proyek besar Gubernur Jendra Van De Bosh untuk menghubungkan Padang hingga Padangpanjang dengan menembus Bukit Karang, Lembah Anai.[29]Lihat Dobbin, op. cit. Dari Padangpanjang, jalur ini terus melewati Batipuh, Batutaba, dan negeri tepian timur Singkarak. Jalur itu tidak jauh dari benteng kecil Raffles yang telah berperan penting membuka akses ke pusat Minangkabau. Tepat di bibir danau bagian timur itu, dibuka sebuah jalur baru, yang kini menjadi jalur utama Sumatera Selatan menuju Buktiinggi.
Proyek raksasa Belanda di Sumatera Barat, selain pembangungan jalur kereta api, berbarengan dengan pembangunan Pelabuhan Emmahaven (sekarang Pelabuhan Teluk Bayur) dan pabrik Pertambangan Batu Bara Ombilin (Sawahlunto). Tiga proyek besar ini sampai tahun 1899, telah menghabiskan hingga 35.034.000 Gulden. Di antaranya, sebagian biaya itu untuk pembangunan pertambangan di Sawahlunto, pembangunan fasilitas, dan instalasi di Teluk Bayur yang memakan biaya 1.372.000 Gulden, pembuatan jalur kereta api yang mencapai 30.238.000 Gulden, dan pembuatan Pelabuhan Teluk Bayur senilai 3.424.000.[30]Erwiza Erman, op. cit.
***
PEMANDANGAN YANG CUKUP menarik, bisa kita lihat pada filem Door de Padangsche Bovenlanden (1940) yang diproduksi oleh NIFM Polygoon sebagai laporan visual pemerintah Hindia-Belanda atas pembangunan rel, dan perkembangan daerah jajahan di Sumatra Barat. Filem ini merekam aktivitas-aktivitas Padang hingga dataran tinggi Padang, termasuk jalur-jalur kereka dari Kota Padang menuju ke perbukitan Sumatera Barat, melewati Lembah Anai, Padangpanjang, dan sisi timur danau Singkarak (Tanah Datar–Solok). Jalur itu terus berkembang dan terlihat di sekitarnya yang sudah jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Dalam laporan visual itu, hampir tidak ada bangunan, jalanan, dan rel yang masih baru di tepian Singarak.
Pembangunan rel ini sangat memengaruhi perekonomian Sumatra Barat, bahkan hingga saat ini, walau dengan fungsi yang berubah. Jalur kereta di antaranya membantu penyebaran limau kacang, dan hasil pertanian menjadi lebih cepat di tahun 1997–2000-an. Sempat berhenti beroperasi, lalu dihidupkan kembali sebagai kereta pariwisata (beberapa kali di antara tahun 2010–2014). Di penghujung 2016, jalur kereta api dari Padangpanjang sampai Solok in—dan telah dimulai di bagian tepian danau Singkarak—mendapat pembaharuan serius. Batang besi diganti dengan yang baru, serta pelebaran jangkauan rel yang membuat beberapa kedai dan rumah di tepian timur danau harus dibongkar. Di jalur ini pula, balap sepeda internasional Tour de Singkarak ditonjolkan, juga berbagai potensi wisata lainnya. Yang paling penting, dari tahun ke tahun kedai-kedai yang berdiri di sepanjang bibir danau terus bertambah. Di sana pula terdapat kedai Pak Mali, salah satu dari lebih seratus titik kedai yang terus tumbuh mengikuti jalur timur danau Singkarak, megikuti jalur rel kereta di sepanjang tepian danau, yang kini terlihat seperti perkampungan baru.
Tepian yang dulu sepi kini dihuni dengan banyak rumah dan kedai yang seakan mengapung di bibir danau. Diisi oleh sebagian besar warga perbukitan timur danau, dari Simawang hingga Aripan. Bangunan bibir danau itu hingga saat ini terus bertambah. Pembangunan tersebut pernah dilarang pemerintah (peraturan tersebut masih berlaku hingga sekarang walau tidak direalisasikan), di antaraya karena cukup berbahaya, mengingat kondisi Sumatra Barat yang rentan gempa, keberadaannya yang merusak fisik danau, dan dikhawatirkan juga dapat mengganggu ekosistem danau. Di sisi lain, kedai-kedai ini juga menjadi tempat persinggahan wisatawan yang ingin makan atau sekadar minum kopi, seperti di kedai Pak Mali. Ada juga yang melakukan piknik keluarga di tepi danau dengan membawa bekal dari rumah, berhenti di pinggir danau, di manapun mereka mau. Kadang sampahnya dibawa pulang, kadang dibiarkan saja. Sejak tahun 2010, saya melihat perkembangan bangunan ini begitu pesat. Dengan laju yang demikian, dua puluh atau tiga puluh tahun lagi barangkali sudah tidak ada lagi tepian timur ini yang memiliki ruang tanpa kedai.
Di seberang sana, tepian barat danau Singkarak, perkampungan kini ikut terhubung dangan jalur-jalur kecil antar desa dan kemudian juga terhubung ke jalur utama warisan kolonial tersebut. Bersama dengan terbukanya akses itu, pelabuhan-pelabuhan kecil antardesa pun menghilang, tidak ada lagi kapal-kapal besar yang mampu mengangkut ratusan orang, seperti yang pernah diceritakan Raffles, tidak ada pula pelabuhan Saniangbaka yang dulu menjadi jalur perdagangan utama masyarakat Minangkabau, jauh sebelum Eropa masuk tahun 1818. Kini, hanya para nelayan yang setiap hari melintasi perairan danau Singkarak, di samping kapal wisata yang hilang timbul, atau kapal patroli yang kesulitan bensin.
Solok, Februari 2016
Footnote
1. | ⇑ | Rubuh pada bulan Oktober 2013, dan selesai diperbaiki sekitar bulan Agustus tahun 2015, berupa perbaikan tembok dam. |
2. | ⇑ | Masa ini dikenal dengan masa interregnum Inggris (1795-1819). Pada saat itu, Raja Belanda mengungsi ke Inggris, ketika Belanda diduduki oleh kaum Patriot. Setiap daerah jajahan Belanda diserahkan ke Inggris. Di Hindia, peralihan ini juga dilakukan untuk membendung kekuatan Prancis di Jawa dan Sumatera. Sementara itu, Belanda, Inggris, dan beberapa negara lainnya membentuk koalisi untuk melawan Prancis yang waktu itu dipimpin oleh Kaisar Napolen. Setelah Napolen kalah, dalam Interregnum Inggris di Hindia, terjadi pengembalian kekuasan ke tangan Belanda. Lihat Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Pelakat Panjang, Jakarta, Sinar Harapan, 1981. |
3. | ⇑ | Padangsche Bovelanden, atau ‘Padang Dataran Tinggi’, adalah istilah yang digunakan Belanda dan Eropa pada masa kolonial, menunjuk daerah pedalaman Sumatra Barat atau pusat kerajaan Minangkabau. |
4. | ⇑ | Memoir of the life and public service of Sir Thomas Stamford Raffles, adalah catatan mengenang Raffles yang ditulis oleh Istrinya Sofia Raffles. Dipublikasi pada tahun 1835, buku Vol I ini berisikan catatan-catatan perjalan Raffles, surat-suratnya, dan cerita lainnya. Dalam artikel ini ada banyak narasi mengenai Raffles yang bersumber dari buku tersebut. Narasi mengenai panggilannya Ke London dan memerintah Sumatra bisa dilihat mulai halaman 318, kemudian tentang niat memasuki Pedalaman Minangkabau bisa dilihat pada halam 353, dan catatan-catatan, kesan, serta surat-suratnya mengenai perjalanannya di Minangkabau bisa dilihat mulai dari hal 385. |
5. | ⇑ | Pidari / Paderi / Padri menurut Chiristine Dobbin dalam Gejolang Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri, adalah istilah yang berasal dari kata Piddie, salah satu nama desa pelabuhan di utara Sumatera, tempat yang biasa disinggahi oleh masyarakat Minangkabau ketika hendak pergi berziarah ke Kota Mekah. Rusli Amran, dalam bukunya Sumatera Barat Hingga Pelakat Panjang, menyebut gerakan ini dengan istilah Pidari, menyesuaikan pelafalan dalam konteks bahasa lokal. |
6. | ⇑ | Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri 1784-1847, Jakarta, Komunitas Bambu, 2008. Hlm. 209-210. |
7. | ⇑ | Lihat Dobbin, ibid., hlm. 202-245. |
8. | ⇑ | Kerajaan Minangkabau pada masa itu dimpimpin oleh Rajo Ibadat yang berbasis di Saruaso dan Rajo Alam yang berbasis di Pagaruyung. |
9. | ⇑ | Lihat Dobbin, op. cit., dan Memoir of the Life…, op. cit. |
10. | ⇑ | Surat Raffles kepada Dowdeswell 12 Agustus 1818. Lihat Memoir of the life…, op cit. |
11. | ⇑ | Dobbin, op. cit. |
12. | ⇑ | Dobbin, op. cit., hlm. 202-245 |
13. | ⇑ | Dobbin, op. cit., hlm. 257-278 |
14. | ⇑ | Dobbin, op. cit., hlm. 227 |
15. | ⇑ | Pialang dan pedagang di Padang telah berganti-ganti sepanjang kependudukan asing. Perpialangan di Padang pernah didominasi oleh orang Minangkabau sendiri, terutama dari masyarakat Solok, kemudian pernah juga dikuasai oleh etnis Cina. Sebelumnya, konsep perpialangan sangat berperan penting untuk menahan keberadaan Belanda dan Inggris di daerah pelabuhan Padang saja. Hal serupa juga terjadi di Pelabuhan Pariaman yang sempat didominasi oleh bangsa Aceh, Arab, Gujarat. Serta pelabuhan Tiku, dan pelabuhan di daerah Pasaman. Lihat Dobbin, op. cit. |
16. | ⇑ | Kutipan yang digunakan Sophia Raffles dalam Memoir of the Life and Public Service of Sir Thomas Stamford Raffles. Lihat Memoir of the Life…, op. cit., hlm. 404 |
17. | ⇑ | Lihat Memoir of the Life…, op. cit. |
18. | ⇑ | Lihat Dobbin, op. cit. |
19. | ⇑ | Kutipan dalam catatan harian Raffles. Lihat Memoir of the life…, op. cit., hlm. 405–406 |
20. | ⇑ | Rusli Amran, op. cit. hlm. 361 dan 366 |
21. | ⇑ | Dalam bukunya, Wurtzurg menjelaskan bahwaRaffles sebelumnya mengirimkan surat kepada Raja Inggris agar menahan Belanda untuk kembali menguasai Padang. Raffles bahkan berdalih bahwa yang dikembalikan hanya Padang yang pernah dikuasai Belanda, bukan daerah Padangshce Bovelanden yang didapat oleh Raffles. Permintaan Raffles ditolak oleh Raja inggris. Lihat C. E. Wurtzburg, Raffles of the Eastern Isles, London, Hodder and Stoughton, 1954, hlm. 445-448 |
22. | ⇑ | Rusli Amran, op. cit., hlm. 350-380 |
23. | ⇑ | Lihat lagi Dobbin, op. cit. |
24. | ⇑ | Gustian Anan, “Transportation on the west coast of Sumatra in the nineteenth century”, Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, Volume 158, Issue 4, 2002, hlm. 727–741. |
25. | ⇑ | Lihat Erwiza Erman, Membaranya Batubara: konflik kelas dan etnik Ombilin-Sawahlunto, Sumatera Barat, 1892-1996, Desantara, 2005. |
26. | ⇑ | Erwiza Erman, ibid. |
27. | ⇑ | Dalam De Ingenieur (1890), hlm. 369, dituliskan anjuran bahwa agar Clusenaer dan Van Houten menerima surat resmi supaya pengolahan diserahkan kepada pihak pemerintah. |
28. | ⇑ | Lihat Erwiza Erman, op. cit. |
29. | ⇑ | Lihat Dobbin, op. cit. |
30. | ⇑ | Erwiza Erman, op. cit. |