Sedikit cerita dari rumah sakit…
Sore hari sekitar pukul 16.00 WIB, di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD).
“Nguuuunnngg…. nguunngggg… krrrrttttt….. krrrttttt….”
Suara bor mesin yang sangat memekakan telinga sedang menembus plafon baja, tampak para tukang sedang berada di atas tangga lipat alumunium sedang memasang instalasi listrik di depan pintu masuk IGD (Instalasi Gawat Darurat) dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Mereka menarik kabel panjang, dan memasukannya ke sela lubang bekas bor tadi. Ada seorang tukang yang tampaknya sudah siap di atas plafon untuk menarik kabel yang dimasukan kawannya dari bawah.
“Nguuuunnngg…. nguunngggg… krrrrttttt….. krrrttttt….”
Aku pikir hanya satu kali mereka mengebor, ternyata banyak lubang yang mereka buat di plafon. Berjarak satu neon panjang, dengan jeda yang sama. Mereka tampaknya sedang memasang neon-neon itu sebagai penerang. Ada sekitar 9 neon baru, kalau aku tidak salah, yang mengelilingi ruangan tunggu IGD ini.
Aku sedang berada di ruang tunggu tersebut. Duduk di atas kursi plastik seperti yang terdapat di Metro Mini yang berjajar 5 kesamping dan berderet ke depan sebanyak 7 jajaran kursi. Aku duduk di bagian pojok belakang, sembari merebahkan tubuh di kursi. Adik dan orang tuaku masih berada di Ruang Isolasi IGD menunggu antrian dan mengurus administrasi Ruang Rawat Inap. Sembari menjaga barang-barang yang sempat dibawa ketika berangkat ke Rumah Sakit, seperti pakaian, minum, alat sholat, dan makanan, aku bergantian dengan orang tuaku menjaga adikku di ruangan isolasi. Karena tidak boleh membawa barang bawaan masuk ke ruangan IGD dan tidak boleh beramai-ramai menjaga di dalam.
“Braaaakk..! braaak..! tok! tok!….”
Lagi, giliran sang palu memukuli paku. Masih di ruangan yang sama, tukang yang lain sedang membuat meja informasi baru persis di sebelah gerbang masuk IGD. Sementara di samping kursiku, ada papan pemisah ruangan yang melintang sepanjang ruangan. Memisahkan ruangan tunggu dengan ruang IGD, papan itu hanya setinggi 2 meter kurang, sedangkan tinggi ruangan itu sendiri mencapai 3 meter lebih. Papan itu hanya melintang di tengah-tengah menyisakan ruang kosong di bawah dan di atas, aku masih dapat melihat kasur pasien beroda di samping tempatku duduk.
“Braaaakk..! braaak..! tok! tok! tok! tok! nguuuunnnng… nguuuung.. krrrtttt….”
Keluarga pasien yang menunggu sama sepertiku, hanya menoleh ke arah suara tersebut dan tidak berkata apa-apa. Mereka melanjutkan pembicaraan mereka lagi. Walaupun tampak di raut wajah mereka sangat terganggu dengan suara itu, apalagi pasien di dalam?
“Plaaak!”, aku memukul nyamuk yang hinggap di lengan kiriku. Karena bosan, aku tertidur sebentar. Terbangun oleh ibu-ibu yang membawa segulungan koran bekas di tangan kanannya.
“Mas, kardus yang di bawah punya siapa?”, tanya ibu itu merujuk ke lembaran kardus yang sudah terbuka di bawah kursiku.
“Wah, saya nggak tau deh, Bu.”
“Saya ambil ya?” sahut ibu itu, sembari menganggukan kepala dia mengambil kardus itu. Dan berjalan keluar gerbang IGD.
“Aneh”, pikirku.
Selang 20 menit, ada seorang ibu-ibu kurus datang lagi membawa kantong plastik kecil hitam dan duduk di depanku. Tampak wajahnya bingung dan melihat ke bawah kursiku.
“Kemana tuh kardus? Kok nggak ada?”, kata ibu itu, dan tampaknya dia tidak sedang berbicara padaku melainkan berbicara pada dirinya sendiri. Aku hanya diam.
“Perasaan dua minggu ditaro di sini nggak hilang?”, kata ibu itu melanjutkan pembicaraan tadi.
Aku pun pura-pura tidur, bukan karena sombong tetapi aku sedang lelah untuk menimpali pembicaraan ibu itu. Giliran ibuku datang. Sedikit pembicaraan keluarga pun mengalir, lalu ibu yang tadi kehilangan kardusnya menimpali dan mengikuti alur pembicaraan.
“Di sini emang gitu“, katanya. “Saya udah dua minggu di sini, tidur di bawah bangku ini aja Bu, pake kardus. Eh kardusnya sekarang ilang, padahal dua minggu saya taro sini nggak pernah ilang.”
“Saya juga”, ibuku menimpali. Maksudnya beliau juga mengalami tidur beralaskan tikar walau bukan kardus di rumah sakit ini.
Pembicaraan pun menjadi berlarut-larut, aku memejamkan mata lagi. Tertidur sebentar karena kupingku masih mendengar suara tukang bekerja.
Waktu pun bergerak cepat tak terasa sudah setengah sepuluh malam, dan adikku belum mendapatkan kamar di Ruang Rawat Inap. Mengingat biaya yang tidak murah, aku memutuskan untuk pulang dan mencari pinjaman. Tinggal ibu dan bapakku yang menemani adikku di Rumah Sakit.
“Braaaakk..! braaak..! tok! tok! tok! tok! nguuuunnnng… nguuuung.. krrrtttt….”
Belum selesai juga tukang itu bekerja. Aku pun bersegera pulang.
Selasa, 2 Maret 2010. Keesokan harinya. Jam 2 siang Jakarta panas dan macet seperti biasanya. Aku menaiki taksi dari arah Ragunan ke Salemba, mendengar kabar adikku sudah dapat kamar. Sesampainya di sana, aku bergegas ke kamar di lantai 8. Aku memilih untuk menaiki tangga karena lift penuh dan mengantri. Sampai di atas ternyata adikku belum ada, sesaat kemudian ibuku menelepon dan menyuruhku kembali ke Ruang IGD. Ternyata masih ada persoalan administrasi yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Setengah empat sore, masih di IGD. bolak-balik kami sekeluarga bergantian mengurus administrasi: mengurus pembayaran kamar ke loket , pembelian mandiri obat nun jauh di sana, dokter-dokter baru yang memeriksa keadaaan pasien sembari mencatat –sekitar 12 orang dokter baru seperti melihat kelinci percobaan–, pencatatan yang berbeda di tiap divisi, dan sebagainya.
Adikku tertidur sembari menahan sakit di matanya.
Disela proses administrasi itu tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku, “Rumah sakit apa ini! Mana dokternya! Istri saya sudah setengah mati nggak diperiksa-periksa!”, teriakannya mengisi ruangan IGD. akupun mendekati arah suara itu. Tampak seorang bapak berumur sekitar 50 tahun, berpakaian dinas pegawai negeri, sedang menunggu istrinya yang terbaring lemas di kasur beroda, ia gusar dan kesal karena istrinya tidak mendapatkan perawatan cepat tanggap.
“Ini kan rumah sakit pemerintah! Jauh-jauh saya datang dari ….(aku lupa nama tempatnya), dioper ke sini nggak taunya nggak diapa-apain! Mana dokternya? Saya mau ngomong!”, ucapnya sambil berteriak marah-marah.
“Braaaakk..! braaak..! tok! tok! tok! tok! nguuuunnnng… nguuuung.. krrrtttt….”
Dan dokter, perawat petugas administrasi di IGD tidak ada yang menanggapi. Semuanya hanya pura-pura bekerja. Akupun kembali ke ruangan adikku, tidak mau terlalu jauh ikut campur masalah bapak itu. Toh, kita pun semua di Ruang IGD memiliki masalah yang hampir sama. Hanya saja bisa menghadapi dengan senyuman atau tidak.
Hampir maghrib, kami pun lega karena adikku sudah mendapatkan kamar setelah menunggu 24 jam lebih. Bahkan pernah harus menunggu sampai 3 hari 3 malam hanya untuk mendapatkan kamar inap di rumah sakit. Tak lupa daftar dan membayar terlebih dahulu untuk diperiksa, kalau perlu bilang “VIP!” jika ingin mendapatkan pelayanan cepat. Uang bisa dicari, kalau tidak nasibnya akan seperti pasien lainnya, menunggu mendapatkan giliran. Setengah kilo harus kutempuh untuk mencapai kamar inap dari IGD, “pakai sepatu roda,” ujar kawanku saat aku di kantor ketika bercerita tentang ruangan rumah sakit ini.
Adikku pun tertidur kembali. Semoga lekas sehat, kami menunggu senyumanmu.
——————————————–
Buat Anggie, 4 tahun tidak sebentar tapi jangan menyerah dan putus asa. Kita masih bisa melihat anggrek mekar di teras rumah walaupun musim semi tidak pernah singgah di negeri kita. Kami masih di sini menunggu kamu tersenyum lagi.
mendapatkan pelayanan kesehatan adalah hak warga negara… bukannya pelayanan kesehatan adalah hak pasien… semoga cepat sembuh ya……
Semoga lekas sembuh Anggie, obat yang paling mujarab adalah keinginan untuk bertahan hidup. Orang-orang yang bisa mengatakan “aku pasti bisa” ialah yang akan menang melawan sakit.
Rumah sakit memang tidak pernah beres di Indonesia. Meski rumah sakit permerintah sekali pun. Seharusnya pelayanan “dasar” ini harus mendapat tempat khusus di negara ini. Di negara miskin seperti Cuba saja, pelayanan rumah sakit bisa gratis. Sama dengan Belanda dan banyak negra Eropa yang menggratiskan biaya rumah sakit, kecuali untuk orang-orang mampu.
get better soon anggie..
god bless u….
even our god is difrrent,,
But prayer always works 4 every people in this world/
and keep smile
pengalaman mengurus ayah di RSCM membuat saya pingin membakar rumah sakit dan menembaki semua dokter. apa boleh buat, saya hanya rakyat yang riskan ditangkap. sekarang ayah sudah dikubur. semoga hantunya mencekik satu per satu dokter brengsek.
anggi, mukzizat akan datang. kamu disayangi orang-orang di sekelilingmu. itu yang paling penting.
pasien kog dijadikan sebagai proses belajar buat dokter2 baru. mungkin ada baiknya mahasiswa kedokteran sebelum jadi dokter…di limpahkan penyakit dulu…biar mereka tau gimana rasanya jadi pasien. jadi biar g ada lagi pasien2 yg dijadikan kelinci percobaan.
buat adik lu bg…gw berdoa..semoga cepat sembuh….
AMIN…
Kalau nggak ada dokter baru, nggak akan ada pengganti dokter yg udah tua. Semua orang belajar dari pengalaman. Lagipula, dokter baru nggak nanganin pasien tanpa bimbingan dokter senior. Yang memberi terapi tetap dokter senior, para dokter baru justru membantu pemeriksaan agar tegak diagnosisnya. Saya cuma mau meluruskan aja.. jangan mendoakan yg buruk pada dokter baru, karna kelak mereka juga akan jadi senior, yang mungkin saja jadi tempat dimana anak cucu mu kelak berobat.
anggi semoga cepat sembuh,dan untuk RSCM,Rumah Sakit SIMPANGAN DEPOK,dan rumah sakit2 keparat lainnya,mudah2an segera bs diperbaiki sistemnya,jgn menuntut pembayaran terlebih dahulu sebelum bs menolong pasiennya,krn gw sudah 2x mengalami hal2 yg ga enak yg berurusan dgn rumah sakit.
bicara jangan seenak perut sdr. dari pasien lah para dokter mendapat banyak ilmu untuk membantu pasien lainnya. pasien adlh guru yg tak ternilai harganya. bukan kelinci percobaan sperti kata anda. bila tidak ada dokter baru, tidak akan ada dokter yang akan membantu anda bila sakit. bila anda org terpelajar anda pasti mengerti tata cara bicara di ruang publik dan berpikir terlebih dahulu sebelum berkata kata.
kepada komentator diatas.. saya menyarankan tolong sebelum bicara dipikir lebih dahulu.. yg anda sebut dokter muda berbaju biru itu tentusajalah sudah dokter sah yang sedang mengambil spesialisasi..bila tidak ada mereka itu tdk akan pernah ada dokter dokter spesialis hebat di indonesia khususnya rscm.. dan bila tidak ada sosok sperti mereka, tentu saja tidak ada dokter yang membantu anda menyembuhkan penyakit anda maupun kerabat anda.. pasien bukan kelinci percobaan dimata para dokter.. hanya anda yg berkata seperti itu.. justru anda hrs bersyukur dpt dibantu oleh dokter dokter terhebat se indonesia yg berada di rscm..pusat pendidikan kedokteran indonesia..bukan meremehkan.. bila anda mau pelayanan prima, kenapa anda tidak ke rs swasta dgn bayaran ekstra?? sudah pasti ada harga ada kualitas. orang bodoh pun mengerti. justru orang orang yang tukang komentar tapi tidak memberikan solusi yang harus dididik..maunya di treat seperti raja..tidak mengerti birokrasi dan sistem.. jangan menjudge orang lain bila anda tidak tahu apa yang ada sebenarnya. jangan hanya melihat dr posisi anda saja. pikirkan posisi dokter dokter tsb yg berjerih lelah 24 jam bahkan lebih dr 24 jam jaga tidak tidur demi pasien.. jangan menimbulkan isu di ruang publik bila belum nyata kebenerannya dan hanyalah opini anda semata.
ehh…ada dokter ikutan komentar ya.haha…kasian kamu dimaki2 orang. terus aja menasihati tembok, seperti para pasien yang selalu berobat pada tembok.
Pelayanan kesehatan adalah hak pasien.. itu memang benar.
Kalau tidak salah, pernah saya dengar pasien adalah texbook berjalan yang tidak ternilai harganya. Kalau saat berobat mendapat kesan jadi tempat belajar, ya jangan berobat ke RS pendidikan, itulah resiko yang harus diterima. Berobat ke rumah sakit swasta yang tidak ada dokter yang sedang belajar. Minta langsung ditangani para konsulen (Super Spesialis di bidangnya) langsung. Dokter itu dokter manusia, ya belajar dari manusia, bukan dari yang lainnya.. Memang situ mau ya disamakan dengan yang bukan manusia (makhluk hidup lainnya)???
Anggie.. semoga lekas sembuh ya..
Semoga cepat sembuh Anggie, RSCM sedang dalam masa pengembangan dan perbaikan. Tidak hanya bangunannya saja namun SDM-nya juga. Dengar-dengar ada juga dokter, perawat dan pegawai yang diberi sanksi berat atau diberhentikan jika melanggar aturan yang berlaku. Namun hal seperti ini tidak diekspose keluar