Aku sama sekali tidak pernah tertarik dengan peringatan tahun baru. Keramaian dan kehiruk-pukikan nya, bagiku hanya sebuah perayaan semu. Bagiku ketika tahun berganti, maka yang terbaik adalah adanya sebuah perenungan tentang apa yang telah kita lewati di tahun sebelumnya.
Kutulis cerita tahun baru ini, dalam kegelapan yang sengaja kami ciptakan di depan sekret Komunitas Pasir Putih. Di sebelah kami, Jalan Raya Bangsal, dipenuhi oleh kendaraan dan sesak manusia. Dari berbagai macam strata sosial. Mulai dari anak kampung sampai anak yang berlagak sok kota. Dari golongan ekonomi kelas rendah sampai yang secara sengaja terlihat memapankan diri mereka. Meski tidak sedikit juga mereka yang memiliki kualitas kantong yang baik. Semua berlalu lalang menuju Pelabuhan Bangsal yang terletak sekitar 300 meter dari sekret kami. Sebuah pelabuhan yang menghubungkan ke Tiga Gili (Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan). Sepertinya, hanya ketiga pulau itu yang menawarkan kesenangan dan keindahan malam tahun baru. “Ini malam tahun baru!” teriak salah seorang pengendara motor sambil membunyikan trompet dengan kertas warna-warni. Dia meniup trompet berulang-ulang memenuhi udara kosong di atas kepalanya.
“Siba, kamu di mana. Siapa aja yang ada di sekret?”
Sore ini, aku menerima SMS dari salah seorang teman yang berasal dari Pulau Jawa yang datang ke Lombok dalam rangka sebuah perhelatan akbar (istilahku saja). Gita Kinanti namanya. Seorang penari kontemporer yang mengambil studi S2-nya untuk memperdalam ilmu tarinya. Sebelumnya, beberapa kali dia datang ke Komunitas Pasir Putih, pertama kali ia datang dengan Kang Djabo, dan memberikan workshop tentang pengembangan kreatifitas. Kebetulan salah satu program yang kurancang sebagai program mingguan Pasir Putih adalah Workshop Penyetaraan Pola Fikir. Selain itu, beberapa hari setelahnya ia datang kembali dan mengajak kawan-kawan membuat video tari.
Hari ini, kukira dia datang seperti orang kebanyakan yang akan menghabiskan malam tahun baru di Gili. Ternyata tidak. Ia malah ingin menghabiskan malam ini di Komunitas Pasir Putih bersama kami, sekaligus malam ini akan menjadi malam perpisahan kami. Namun sore ini, ia mengajak kami ke bangsal untuk menikmati sunset yang tidak pernah muncul selama hampir dua bulan ini, karena tertutup awan. Dia berangkat lebih awal ke Pantai Bangsal, dan aku menyusul kemudian.
Sesampainya di Bangsal, terlihat para petugas parkir yang menawarkan jasa parkir di pekarangan mereka. Memang di bangsal ada beberapa tempat parkir setahuku. Namun kali ini, semua ingin memanfaatkan situasi. Tahun baru hanya sekali dalam setahun, dan hanya dengan jasa parkir, mereka mampu mengantongi uang yang cukup banyak sebagai perbekalan keluarga selama beberapa hari. Hingga, pekarangan rumah, pekarangan took, bahkan sawah yang berada dekat dengan pelabuhan dan kebetulan belum ditanami, dimanfaatkan untuk menjadi area parkir.
Bangsal dipenuhi tumpukan manusia yang menunggu boat untuk menyebrang ke Gili. Di tempat pembelian karcis, seorang tentara berdiri menjaga pintu masuk, di beberapa sudut juga kulihat beberapa petugas dengan pakain seragamnya, Polisi, Tentara, Dishub dan beberapa seragam yang tidak kukenal. Sepertinya mereka juga tidak luput dari hiruk-pikuk tahun baru. Wajah mereka tampak lelah, dan raut wajah mereka menandakan betapa inginnya mereka melihat hari ini berakhir dengan berkumpul bersama keluarga.
Di sudut sebuah bangunan yang dibuat mirip dengan berugak, seorang wanita sibuk memeriksa kembali barang bawaannya. Memastikan semua perlengkapan make-up-nya telah siap, jangan sampai malam ini terlewati tanpa make-up dan dandanan yang mempesona, agar paling tidak seorang pemuda mau mengajaknya sekedar untuk duduk dan ngobrol di malam tahun baru ini. Seorang lelaki yang baru datang dari arah parkir cidomo berjalan menggandeng tangan gadisnya dan sesekali meraba dompet di dalam kantongnya. Gerakan itu menunjukan sikap kehati-hatiannya. Jangan sampai modal yang dikumpulkan selama satu bulan menjadi kuli bangunan, raib diambil orang, dan jangan sampai gadisnya menjadi kecewa karena tidak diajak makan malam di tempat yang diinginkan. Dia memegang erat tangan sang gadis dengan isyarat bahwa, “Aku akan membahagiakanmu malam ini, dan akan kujadikan engkau putri.” Sang gadis melihatnya dengan senyum dan kemudian mengarahkan pandangannya pada semua orang. Dia memiliki keyakinan penuh, bahwa dialah satu-satunya gadis yang sangat berbahagia malam ini, dengan didampingi lelaki pujaannya, yang akan memberikan apapun yang dia inginkan.
“Penumpang dengan tiket warna kuning, kami harap menuju pantai sebelah barat, dan naik di boat Harapan Jaya!” Petugas tiket dengan pengeras suara mengumumkan bahwa penumpang sudah penuh. Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini suaranya sedikit dikeraskan agar bisa menerobos telinga tumpukan manusia.
Man Ruslan, seorang bapak beranak empat, yang tempat tinggalnya berjarak beberapa rumah dari rumahku, bekerja di bangsal sebagai cleaning service, hari ini naik pangkat, dan bertugas mengatur para penumpang boat yang akan menyeberang. Dia mengenakan rompi dan membawa megaphone. “Tiket warna kuning dulu, tiket warna putih dan merah nanti belakangan. Maaf, Mas,bisa saya lihat tiketnya?” dia bertanya kepada salah seorang yang mencoba mengambil kesempatan untuk naik ke boat tanpa tiket saat dia sedang mengumpulkan para penumpang. “Maaf Mas, kalau tidak punya tiket, jangan naik!!!” dia membentak, dan orang itu pun perlahan-lahan mundur mencoba menyembunyikan mukanya karena malu.
Melihat suasana ini, aku jadi teringat sebuah kisah yang diceritakan Jose Rizal dalam bukunya, ketika rakyat Filipina bergembira sebelum misa datang. Semua orang tentu ingin menghabiskan malam misa dengan penuh kegembiraan. Namun malam kudus itu ternodai oleh sebuah tradisi yang entah siapa yang mewariskan. Bahwa, orang sudah tidak ingat lagi bagaimana keadaan realitas yang ia hadapi. Mereka yang miskin, membeli makanan yang enak dan mewah untuk dimakan malam itu, meski mereka tahu setelah itu, mungkin mereka tidak akan bisa makan untuk beberapa minggu. Semua orang berlomba-lomba membeli kembang api dengan harga yang mahal, meski besok tidak akan ada uang untuk membeli beras lagi. Gelanggang perjudian dibuka dengan menjanjikan sebuah kemenangan. Semua orang bertaruh dengan harapan akan memenangkan taruhan dan mampu mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Namun, dari harapan-harapan yang terkumpul di tempat perjudian itu, hanya akan menyisakan kekalahan dan hutang. Ayam aduan mereka yang sudah kalah hanya berakhir menjadi santapan pesta sesaat di rumah. Dan esok harinya, mereka baru menyadari bahwa mereka sudah tidak memiliki ayam dan tinggal menunggu tagihan hutang yang semalam ia pinjam untuk bertaruh.
Maka malam tahun baru ini adalah sebuah teradisi yang entah siapa yang mewariskan. Semua orang akan merasa bahwa tahun berganti dengan pesta kembang api. Dengan mengikuti jamuan pesta dan hingar-bingar musik di bar-bar, di café-café dan di tempat-tempat wisata. Di mana ketika pukul dua belas malam lebih satu detik, kembang api-kembang api meledak dengan indah di atas kepala mereka. Mereka yang kebetulan bersama pasangannya, akan menggenggam dan memeluk pasangannya sambil berdoa agar hubungan mereka berjalan lancar. Tidak ada lagi yang ingat bahwa tahun ini, Lombok sedang dilanda cobaan yang sangat besar.
Di Lombok, sebelumnya perayaan tahun baru hanya dikenal ketika pergantian tahun baru Hijriyah, yang ditandai dengan pembacaan Surat Yasin sebanyak tiga kali di masjid-masjid, memanjatkan doa dan memohon ampun terhadap kekhilafan yang dilakukan pada tahun yang lalu dan memohon kebaikan di tahun yang kan datang.
Tahun baru Masehi 2013 ini, doa-doa tertuang di meja-meja bar, bercampur dengan suara musik parti dan berubah menjadi pesta kembang api.
bahasnya keren banget…
yeeee,, pasir putih ada tulisan lagiiii… mntaaaaap…!!!!
betul buangettttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt……………………………….
Wuih, mantab Jose Rizal-nya