Apa yang kamu tahu tentang halte?
Jika jawabnya adalah tempat untuk menunggu angkutan umum, kamu mendapat nilai limapuluh! Baik, sejenak kita lupakan limapuluh itu. Sekarang aku akan sedikit mendongeng tentang salah satu halte di daerah Lenteng Agung. Halte tersebut berpapan nama “Halte Lenteng Agung”, tepatnya sebelum “Halte Taman” di seberang kampus IISIP Jakarta, kampus tempatku menjalin cinta dan menuntut ilmu.
“Halte Lenteng Agung” adalah halte urutan ke-6 dari arah Pasar Minggu-Depok. Kenapa perhatianku tertuju pada halte mungil dengan desain baru tersebut, daripada halte yang ada di daerah sekitar Lenteng Agung (hampir seluruh bangunan halte ini terbuat dari besi). Halte ini kurang difungsikan dengan baik, kenapa? Menurutku mungkin karena letak halte ini kurang strategis. Di sekitar halte tersebut tidak ada ruang yang bersifat sangat massa seperti “Halte Taman” yang suasananya selalu ramai 24 jam, Klinik Bidan Djenda adalah satu-satunya tempat ramai yang dekat dengan halte ini. Fungsi halte ini lebih sering digunakan sebagai tempat berteduh bagi pengendara sepeda motor yang kebetulan sedang melintas di sana saat hujan. Kalaupun ada orang yang menunggu mobil, itupun hanya sedikit sepenglihatanku.
Aku tinggal tak jauh dari halte itu, tepatnya di sebuah apartemen ekonomis di Jalan Raya Lenteng Agung no. 34. Hampir setiap hari aku melintasi halte itu, berangkat dan pulang kuliah atau menjemput seseorang teman/sahabat/ kekasih. Suatu ketika aku berangkat kuliah sekitar jam sepuluh pagi dengan cuaca yang sedikit dingin menusuk kulit, aku melintas melewati halte itu dan melihat ada seorang tunawisma berkaki sedikit tak sama yang biasanya bermalam di Taman Lenteng (teman-teman ku memanggilnya ghetto boy) seperti sedang tidur di atas kursi halte. Dengan aroma yang kurang sedap dibubuhi sedikit lalat yang menggerayangi tubuhnya. Aku pun lewat tanpa menghiraukannya, sembari menutup hidungku. Aku kembali dari kampus bersama kekasihku sekitar jam empat sore dan ternyata ghetto boy masih tertidur pulas di atas kursi itu tanpa merubah posisinya sedikitpun. Tetapi lalat ditubuhnya semakin banyak, akupun bergegas dan tak menghiraukan ghetto boy tadi.
Cuaca sedikit gerimis, jam 11 malam aku mengantar kekasihku pulang ke rumahnya di Gang Kompos (seberang kampus Universitas Pancasila), dengan sepeda motor otomatisku yang berwarna putih. Saat itu aku melihat posisi ghetto boy tidak lagi tidur di atas kursi halte, tetapi di bawah kursi dengan posisi kepala sejajar kursi halte dan posisi meringkuk. Aku heran dan sepanjang jalan hanya berbicara dalam hati, “Tuh orang tidur? bisa yah dalam keadaan dingin dan bising seperti itu tidur ”.
Selesai mengantar, aku kembali melewati halte tersebut dan aku melihat ghetto boy yang masih pulas dan kaku, aku pun tak peduli dan segera ke kamar untuk beristirahat. Tak lama kemudian, aku membeli sebungkus rokok di warung sebelah halte itu dan kembali ke kamar.
Tiba-tiba terdengar samar-samar, “ada yang meninggal!!!”. Siapa pikirku?, aku terperanjat dan segera keluar kamar, lalu memastikan siapakah gerangan yang telah dipanggil oleh Yang Kuasa kala malam dingin sepeninggal hujan. Ternyata, ghetto boy lah orangnya.
Dia kaku kedinginan dan meninggal dunia, and I say Innalillahi… Semua orang tidak tahu secara pasti, kenapa ia bisa sampai pergi. Lalu aku kembali ke kamar untuk tidur. Aku heran ternyata di daerah transisi seperti Lenteng agung ini, masyarakat sekitar yang menganut sistem agama cukup baik dan beradat, namun sudah tidak peka dengan sesama, termasuk aku. Sedih melihat keadaan masyarakat sekitarku yang sudah tidak peka terhadap sesama, termasuk aku yang terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Sedih rasanya, dan hanya dapat berkata dalam hati, goodbye ghetto boy, semoga amal ibadah mu diterima dzat yang menjemputmu.
Sampai jumpa di kehidupan yang lain.
Dan menurutku, halte itu bukan hanya sekedar tempat menunggu angkutan umum saja, melainkan tempat untuk menunggu datangnya ajal yang damai untuk berpulang. Dan jawaban ini bernilai satu juta duaratus limapuluh lima rupiah.
okeh lar
dan landingnya manis tuh. nulis lagi keong!!!yang banyak!!!!
okeh lar. landingnya manis tuh. nulis lagi keong!!! yang banyak!!!!
manisss….boy…gw harep skripsi lu lebih manis dari tulisan ini!!!
nilai A buat lu!!!
semoga saja semua berjalan sesuai kehendaknya… dan dilapangkan amien ….semoga dapat A dan semoga tetap menulis hihi.. SEMANGAT YA SEMUANYA… .hawa AKU .mengagumi KALIAN hiks..
kurang padat terlalu singkat,bagi yg mengerti mungkin cepat untuk tanggapnya tp klo yg ga ngerti mungkin bertanya ap arti crita ini…??? ini ud mantap wat w gree…tu aj
Halte tu juga bnyk knangan wat gree…menunggu ksih tak sampai w T_T…hikshikshiks
Lar… Hebat… hebat… Hebat… (dengan gaya acungan jempol ala bang Omar Abidin Gilang plus kacamata kendor)
ihhhh….aku terharu membacanya….!!!!!
Tak sangka serius neh gwe terharu….!!!!
alfonso agusto ferfeksiano… indro vasto lambreto..
Inalillahi Wa Inailaihi Ro’jiun….
Ngasih kripik dikit 🙂 di bagian awal, udah ada kesalahan EYD, sesudah tanda seru seharusnya tak perlu tanda titik 🙂 gue pikir bakalan nemuin banyak kesalahan EYD di sana tapi ke bawahnya, EYD nya teratur. Secara penulisan, kayaknya elo masih kaku. Seperti sebuah komen di atas, ceritanya terlalu singkat, sejak awal pembaca udah bisa nebak kalau si Ghetto boy ini akan meninggal. Ngga ada konflik pada yang membangun ketegangan semisalnya ekspresi kekagetan elo saat denger ada yang meninggal, bagaimana membangun kesunyian si Ghetto boy ditengah kebisingan LA dan ketidakpedulian elo dan warga sekitarnya, like … ‘bagaimana rasanya mengigil seperti dia? Di tengah hembusan udara ini, tak inginkah ia menikmati hangatnya keluarga, cinta atau sehirup kopi hangat? Atau memang ia tak pernah bisa menikmati itu? Lalat yang mengerubunginya seperti teman yang setia, lebih bermoral dari manusia yang selalu menghindar dan tak mendekat padanya. Ada sisi hatiku yang ingin berbuat manusiawi, menyapa dan menemaninya, mungkin bisa menyembuhkan luka pada Ghetto Boy (entah luka apa), setiap manusia pasti punya alasan mengapa ia menjadi seperti ‘itu’. Like him….” dst-dst…
sori-sori…
menulis itu kayak berenang, mungkin awalnya kelihatan gugup dan kurang lancar, tapi lambat laun, seiring banyaknya latihan, bisa menulis dengan cepat, seperti rudal yang nyasar di Palestine hehehehe…
sori sotoy… :-p
Satu lagi….
kalimat untuk di ending.
“Hidup di dunia memang seperti halte, tempat manusia untuk bersinggah, menunggu dengan segala resah dan aktifitasnya. Sampai akhirnya ‘Bus Maut’ itu datang. Kalau beruntung kita bisa mendapat Bus yang indah, kalau tidak, selamat naik bus rongsok. Bau dan kotor. Menuju ke akhirat. Berhati-hatilah di halte….”
emang tu halte parah dah.. masa kemaren gw nunggu bis disitu bis-nya g dteng2..
tp pas gw nunggu distasiun bis-nya br lwt… akhirnya gw balik lg ke tu halte.. tp yg lewat malah kreta..
ya uda gw urungin aja naik bis,gw naek ojek aja..
tp lebih parah lg tu tukang ojek… masa gw minta di antern kepasar minggu,
eh… ma dia malah ngantern gw halte yg td…
dodol tu abang,ya uda gw balik aja…
menanggapi Achi TM, keasalahan eyd di atas itu teknis. penulisan kaku itu ga masalah, karena blog ini memberi ruang bagi siapapun untuk membuat tulisan berdasarkan pengalamannya sebagai massa. bukan harus penulis handal yang boleh menulis di sini. si penulis bisa siapa saja. sastrawan, politikus, tukang becak yang cuma bisa menulis seadanya pun dipersilakan memberi pengalaman massanya dalam blog ini. tulisan di blog ini tidak mengharuskan penyajian sebuah konflik, dan mata si penulis yang melihat ghetto boy yang sudah menjadi kesahariannya tidak perlu dipaksakan untuk merasakan kedinginan yang dirasakan si ghetto boy apalagi keinginannya untuk berada di tengah kehangatan sebuah keluarga.
tapi tetap saya berterimakasih atas kritiknya. dan kalau kamu bisa merangkum semua kritik kamu di atas mungkin sudah bisa dikembangkan jadi sebuah ide penulisan yang bisa dikontribusikan ke dalam blog ini. dengan konsep aku-massa tentunya ya. salam
salam jg… siap pakumendan???
kalo endingnya yang seperti achi buat ..wah bakalan jd gethoo man, …kemudian hujan rintik membasahi bumi … kesedihan terselimuti debu malam itu.. wah pas sekali buat lirik lagu ungu ato kangen.. realita dan kesadaran jadi hilang. inget setiap orang punya hak menulis dan menyampaikan pendapatnya baik itu sesuai EYD atau ngaco nah itu ada di UUD 45 hehehe
Yap… semua orang memang berhak untuk menulis. Maaf kalau kurang berkenan 🙂 hanya mencoba jujur untuk memberikan yang terbaik pada Gelar, karena dia teman saya :-). Saya belum kenal dengan Akumassa… upss… soriii lagi :-)) saya pikir ini blognya si Gelar. Saya ngga nuntut siapapun buat menulis dengan bagus. Awalnya saya juga menulis dengan sangat jelek dan sampai sekarang pun mau belajar. Semua yang saya sampaikan hanyalah apa yang saya dapatkan dari banyak senior saya dalam belajar menulis. Orang yang mau membuka wawasan untuk menjadi lebih baik, berkarya lebih baik, tentu akan menjadi manusia yang baik. Saya juga buka diri untuk dikritik dari siapa saja. Penulis becak, buruh pabrik, tukang sol, tukang nasi uduk, tukang bakwan, semuanya punya hak buat menulis.
Aduh… maaf, nih kalau gue jadi ngaco-ngaco… sori, biasanya di forum kepenulisan kita terbiasa saling kritik mengkritik tulisan, bahkan tulisan gue (meski cuma salah EYD aja) itu bisa dibantai sama senior. Sori banget kalau format kayak gitu ngga boleh diterapin di sini :-))
Heheheh…
salam kenallah dari aye…
ayo Gelar teruss menulisss…
note : lupakan EYD (hahahaha)
kolom komentar yg ga kalah menarik dari tulisannya gelar..haha…
turut berduka cita, bukan cuma buat ‘ghetto boy’ tapi juga sama kalangan kelas bawah yg pasti masih banyak yg (di)terlantar(kan) oleh negara.
fakir miskin dan anak jalanan dipelihara? yeah rite!