Aku tak mau terlalu larut dan hanyut dalam pikiranku sendiri, sehingga aku memutuskan untuk menanyakannya pada Bang Mufti, dia termasuk salah satu tokoh masyarakat di daerah itu, yang kebetulan juga bertanggung jawab terhadap kontrakan yang kami tempati. Aku dan teman-teman yang lain sangat akrab dengannya.
“Yaah..tempat anak-anak nongkrong,” begitu jawabnya ketika aku menanyakan padanya untuk apa tempat itu sebenarnya.
“Kalau mau ngobrol atau sekedar ikutan nongkrong kamu ke sana aja, saya juga sering ke sana.” Dia meneruskan omongannya. Jawaban yang sangat singkat dan padat darinya, karena waktu aku menanyakan itu banyak juga teman-teman disitu. Bang Mufti kemudian asyik mengobrol dan bercanda dengan teman-teman yang lain. Walau begitu, bagiku jawaban itu sudah lumayan, dapat dijadikan sebagai sedikit obat dari sekian banyak rasa penasaran terhadap tempat itu.
Ternyata dari sedikit obat itu tak cukup untuk mengurangi rasa penasaran yang saat ini telah membuncah dan mencapai klimaks, karena rasa itu sudah terpendam sejak tiga minggu yang lalu. Aku pun takut kalau malam ini tidak bisa tidur hanya karena rasa penasaran itu. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mendatangi tempat itu. Terlihat di sana tiga orang pemuda yang sedang duduk di luar dan empat orang berada di dalam, dua diantaranya sedang bermain Playstation.
Aku duduk di salah satu bangku. Aku sedikit gugup. “Lagi pada ngapain nih, Bang?” Kalimat pertama yang keluar dari mulutku. Dengan ekspresi sedikit cuek, salah satu diantaranya menjawab, “lagi gini-gini aja.” Aku mengulurkan tangan padanya yang kebetulan duduk di depan bangku yang aku duduki. Dengan sedikit kaget, dia pun balas mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. “Maaf, namanya siapa bang? Namaku Imam,” ucapku. Dia menjawab, “…Black”. Dahi ku sedikit mengerut mendengar namanya.
Tidak lama kemudian Bang Mufti muncul dari belakangku. “Nah gitu.., ngobrol-ngobrol aja situ”. Aku sedikit kaget dengan kedatangannya. “Oh, iya, bang,” jawabku padanya. “Ini Black, jagoannya Cobarco.” Cobarco? Oh ya aku pernah dengar dari cerita teman-teman kalau Cobarco adalah nama klub sepakbola RT 01 RW 07, tepatnya di Jalan Mandor Baret, Kampung Legoso, Kelurahan Pisangan, kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan. Bang Mufti dan beberapa pemuda langsung asyik ngobrol dan bercanda, Aku juga perlahan ikut menyatu di dalamnya.
Beberapa waktu kemudian, Bang Mufti pulang. Beberapa pemuda juga pergi entah kemana. Tinggal mereka yang sedang bermain Playstation, dan ada dua lagi yang sedang santai sambil membaringkan badan menyaksikan temannya yang sedang bermain Playstation. Sesekali teriakan menyemangati seperti “goal!”, “hayo-hayo…”, atau “tendang!” keluar dari mulut mereka karena permainan yang sedang dimainkan adalah sepakbola. Aku masih tetap disitu, sambil mengamati segala sesuatu yang berada di sekitar tempat itu. Tak lama kemudian muncul seseorang yang rasanya sudah tak asing bagiku, tapi kali ini aku melihatnya sedikit lebih muda dan gaul. “Halo..” sapanya. Ia adalah Pak Udin, untung saja ingatanku lumayan baik. “Apa kabar, Pak?” tanyaku padanya. “Baik..” Pak Udin menjawab diiringi dengan senyum simpul dari bibirnya. Sebelumnya aku memang sudah kenal dengan Pak Udin, dia adalah satpam Bukit Hijau Town House yang letaknya tak jauh dari situ, kira-kira hanya 100 meter. Setiap saya bertemu dengannya, dia selalu memakai pakaian seragam satpam, jadi wajar saja kalau aku tadinya merasa sedikit asing, karena Pak Udin saat itu memakai celana Jeans dan kaosnya dilepas.
“Ini sebenarnya tempat apa sih, Pak?” Aku memulai obrolan. “Apa ya, tempat nongkrong aja”. Aku bertanya kembali, “Pos kamling, Pak?”
“Poskamling, sih, bukan, dulunya waktu ini dibangun, ya, untuk nongkrong aja, bukan tujuannya untuk poskamling,” tuturnya.
Ternyata, dugaanku bahwa tempat itu poskamling adalah salah.
“Yang pada main kesini siapa saja?” aku melanjutkan pertanyaanku.
“Pemuda, bapak-bapak, kadang anak-anak juga ad,” dia menjawab sambil menyalakan sebatang rokok.
“Kebanyakan orang di daerah sini menyebut tempat ini apa, Pak?” aku bertanya dengan sedikit cepat, karena aku sudah tak sabar mengetahuinya.
“Apa, yaaa…?” belum selesai menjawab terdengar suara dari seseorang yang sedang bermain playstation, “Apartemen”. “hotel”, “istana”, “gubuk”, yang lain pun juga ikut-ikutan.
“Mungkin tepatnya, sih, gubuk, ya, kalau disebut rumah juga bukan, kebanyakan nyebutnya juga gubuk sih..karena dari tampilannya kan mirip gubuk”. Pak Udin meneruskan jawabannya.
Pak Udin suka bercerita. Sebenarnya, salah kalau aku memanggilnya ‘Pak’, karena dia belum menikah, tetapi umurnya sudah 39 tahun dan hari itu ternyata ia sedang berulang tahun yang ke-39. Dari obrolan malam itu aku banyak mendapat cerita dari Pak Udin, termasuk cerita bagaimana gubuk yang letaknya di lahan kosong itu bisa berdiri, karena memang Pak Udin adalah penduduk asli setempat, jadi dia tahu seluk-beluk daerah itu, rumahnya pun tepat di depan gubuk tersebut.
Dulunya tanah kosong yang sekarang di atasnya berdiri sebuah gubuk itu adalah sebuah empang, ada tiga empang besar dan beberapa empang kecil, di sekitar empang itu terbentang sawah yang lumayan luas. Seiring berjalannya waktu, sawah-sawah berubah menjadi bangunan-bangunan dan empang itu akhirnya juga diuruk sekitar tahun 1994-1998 untuk dijadikan tanah lapang. Anehnya pengurukan empang itu bukan hanya dengan tanah, melainkan diisi dengan sampah. Seperti yang diceritakan Pak Udin, sampah-sampah itu berasal dari Pasar Ciputat. Baru setelah sampah, di atasnya dilapisi dengan tanah. Pengurukan yang menggunakan sampah mengakibatkan tercemarnya air di sekitar wilayah itu, air yang keluar dari sumur di tanah itu menjadi berwarna kekuning-kuningan dan sedikit bau.
Waktu terus berjalan. Keadaan sosial masyarakat sudah banyak berubah. Semakin banyak lagi bangunan-bangunan berdiri. Daerah itu menjadi pemukiman padat. Semangat jaman juga telah berubah. Memang, semua akan berubah sesuai dengan semangat jaman. Para pemuda saat itu merasa kebingungan untuk mencari tempat yang nyaman untuk mereka nongkrong-nongkrong bersama, sampai pada akhirnya sekitar pada tahun 2005 ada inisiatif dari para pemuda dan beberapa bapak-bapak untuk membangun sesuatu di tanah kosong itu untuk dijadikan tempat kumpul-kumpul. Berkat tenaga yang diiringi keringat bercucuran, akhirnya berdirilah Gubuk Mandor Baret. Sungguh sebuah kebersamaan yang sangat indah.
Orang-orang yang sering nongkrong di gubuk tersebut dikenal dengan sebutan ‘anak-anak Mandor Baret’. Tempat nongkrong dan tempat mencurahkan segala ekspresi dan isi hati, seraya menghibur diri. Tepat di sampingnya berdiri kokoh pohon lamtoro (manding), di depannya ada pohon Ceri yang sangat rindang dilengkapi dengan beberapa bangku di bawahnya, sangat cocok untuk berteduh di siang bolong. Di dalam gubuk ada dua buah TV dan satu Playstation sebagai mainan hiburan mereka, selain itu ada juga papan karambol dan catur. Agak jauh di depannya ada penjual bakso, namun saat ini sedang tidak berjualan entah kenapa sebabnya. Mandor Baret sendiri diambil dari nama jalan tempat gubuk itu berdiri.
Mandor Baret? Mendengarnya seolah terbayang seperti nama seseorang. Memang, nama Jalan Mandor Baret diambil dari nama seorang tokoh di Legoso yang dulu hidup di jaman Belanda. Bukhori, adalah nama asli dari Mandor Baret. Menurut cerita dari Pak Udin yang dulu masih sempat bertemu dengannya, beliau mendapat julukan Mandor Baret dikarenakan Bukhori sempat menjadi pekerja Belanda, dan dia dijadikan mandor. Baret, pada jaman dahulu diartikan sebagai penguasa, karena memang Bukhori adalah penguasa di daerah Legoso. Mandor Baret, riwayatmu kini semakin terkikis oleh masa hingga tinggal kenangan. Namun setidaknya namamu masih akan terlihat setiap kali aku dan juga mereka melewati Jalan Mandor Baret.
Sungguh aku sangat beruntung dapat bertemu dengan Pak Udin, karenanya aku dapat mendengar kisah-kisah nostalgia yang sangat berharga dan tak ternilai. Dari hal yang kecil sampai pada sesuatu yang sangat intim, namun keintiman itu untuk lebih bijaknya tidak aku tuliskan di sini. Pak Udin pun juga tak lupa menceritakan mengenai petuah dari Mandor Baret. Semasa jaman kejayaannya menguasai daerah Legoso, Mandor Baret pernah berpetuah bahwa “barang siapa saja yang hendak mendirikan gedung atau bangunan yang lainnya di daerah Legoso hendaknya tetap membawa nama Legoso.” Maksudnya adalah memakai kata Legoso dinama gedung atau bangunan tersebut, supaya nama dan kawasan Legoso akan selalu ada dan dikenal oleh masyarakat. Namun, petuah itu kelihatannya tidak terlalu dihiraukan, karena pada kenyataannya sekarang banyak perumahan atau gedung yang tidak memakai kata Legoso. Seperti Bukit Hijau, Town House, Perumahan Pondok Hijau, Perumahan Grand Puri Laras, Komplek Inhutani, Komplek Griya Satwika, Perumahan Ciputat Molek., dan beberapa lainnya. Namun setidaknya masih ada Town House Bandar Legoso dan Perumahan Legoso yang menjadi pelipur lara bagi Mandor Baret, karena mencantumkan kata Legoso. Andai saja di alam sana ia tahu akan hal ini.
wah… ciamik rek!!!
lagi2..masih banyak yang lucu2 di sekitar kalian…ayooo
poowwwlll…mam
yoi mamennn…..!!!
okrik kmpung w ada jga w jd bangga nie n kagum ma team kreatif dri akumassa……..n thanks ya
goog luck buat akumassa moga sukses………..