Di penghujung tahun 2008, aku, Otty Widasari, dan Bodas Rancajale berkunjung ke Rangkasbitung, Lebak. Selain untuk menghabiskan tahun 2008, kami ingin melihat perkembangan program akumassa Forum Lenteng untuk situs Lebak yang bekerjasama dengan Saidjah Forum.
Pengalaman pertama saat berkunjung ke sini adalah kereta api. Aku berangkat dari stasiun Tanah Abang dengan kereta Patas Rangkas Jaya. Kereta ekonomi patas ini katanya menempuh jarak antara Jakarta–Rangkasbitung “hanya” dalam satu jam, menurut Fuad Fauji dari Saidjah Forum. Entah apa yang ada di kepala Fuad, saat dia memutuskan untuk menjemputku di stasiun Tanah Abang, bukannya di stasiun Rangkasbitung, Tapi, ya sudahlah. Kami bertemu di stasiun kelas kambing ini pada pukul tiga sore. Kereta baru akan berangkat pukul lima sore. Selama menunggu keberangkatan, kami duduk di peron yang dipenuhi oleh orang-orang yang akan berangkat ke wilayah Rangkasbitung, Serang dan sekitarnya.
Perjalanan ke Rangkasbitung ternyata membutuhkan waktu satu setengah jam. Bukan satu jam seperti yang dikatakan Fuad. “Itu tergantung masinisnya” alasan Fuad. Kami beruntung naik patas ekonomi ini. Kalau naik kereta ekonomi biasa bisa sampai dua setengah jam di atas kereta plus “mandi sauna” dengan jejalan manusia yang tidak bisa dibendung saat berhenti di setiap stasiun. Saat dalam perjalanan aku bertanya dalam hati “kenapa negara ini tidak pernah bisa menyediakan sarana transportasi massal yang memadai?”
Dari kunjungan yang singkat, kami sempat berdiskusi tentang perkembangan akumassa di Lebak. Dari pembacaan kawan-kawan di sini, mereka menemukan beberapa “bingkaian” yang dapat diangkat sebagai persoalan di Rangkasbitung yaitu; Jembatan Dua (kebiasaan masyarakat menggunakan jembatan kereta api Jembatan Dua sebagai sarana penyeberangan sungai), Tampian di Sungai Ciujung; transaksi di Pasar Tradisional saat subuh; dan transaksi penjualan bambu di atas rakit sungai Ciujung.
Pada bingkaian pertama dengan tema Jembatan Dua, tentang dua bangunan jembatan yang dibangun pada jaman kolonial Belanda pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1807-1811). Dulunya, jembatan pertama terdiri dari dua jalur yang diperuntukkan bagi kendaraan umum dan jalur untuk becak, andong dan pejalan kaki. Tapi setelah pemugaran yang dilakukan pemerintah pada 1996, jalur untuk pejalan kaki dan becak ditiadakan. Jembatan hanya diperuntukkan untuk kendaraan umum dan untuk pejalan kaki hanya disediakan pedestrian selebar setengah meter yang sangat membahayakan dengan pagar yang juga sama berbahaya di kedua sisinya. Tidak ada kenyamanan untuk pejalan kaki saat melewati jembatan ini dari pengalamanku melintasinya. Sangat berbahaya.
Jembatan kedua adalah jembatan kereta api yang merupakan jalur distribusi ekonomi, terutama untuk membawa batu bara dari pertambangan Bayah ke Jakarta. Juga sebagai jalur distribusi bahan tambang dari Cilegon ke Jakarta. Sampai saat ini, jembatan tua ini belum pernah dipugar. Tapi masih cukup terawat menurut Fuad Fauji.
Dua jembatan utama di kota Rangkasbitung ini melintasi sungai terbesar di wilayah Banten yaitu sungai Ciujung dan menghubungkan beberapa kampung yaitu Lebak Pasar, Lebak Sambal dan Kampung Jeruk. Sekarang jalur kereta ini menjadi perlintasan alternatif untuk menyeberangi sungai Ciujung bagi masyarakat di sekitar Jembatan Dua. Secara tidak langsung jalur ini menjadi jalur “distribusi” aktivitas sosial warga, yang menegosiasikan tubuhnya dengan bahaya. Bahaya yang tidak terbaca oleh pemerintah, meskipun di ujung jembatan terdapat pos polisi lalu lintas yang seharusnya melarang masyarakat untuk melalui jembatan kereta api ini.
Bingkaian kedua adalah aktivitas Tampian di sekitar kawasan Kampung Jeruk. Tampian adalah ruang publik untuk MCK (Mandi, Cuci dan Kakus). Bangunan bambu yang terapung di sungai ini merupakan ruang yang dibangun oleh masyarakat sendiri untuk aktivitas domestik. Ruang ini menjadi ruang sosial yang sangat cair. Dari ibu-ibu yang memandikan anak-anaknya sembari mencuci pakaian, bapak-bapak yang ke toilet dan menggosok gigi, sampai gadis desa yang melepas pakaiannya satu persatu, lalu menutupnya dengan kain sarung untuk membersihkan tubuhnya dalam satu waktu di tempat ini. Tampian tidak mempunyai aturan yang tertulis, semua warga secara natural bisa menjaga keseimbangan antara penggunanya. Aku sempat berujar ke kawan-kawan di Saidjah Forum; “berarti Undang Undang Anti Pornografi tidak berlaku di sini”.
Tampian juga menjadi ruang untuk bersosialisasi antar warga. Di sini warga berbagi persoalan sambil mencuci, mandi, dan bertegur-sapa sambil membuang hajat di pojoknya. Dari kawasan tiga kampung yang menjadi bingkaian kawan Saidjah Forum terdapat sepuluh Tampian. Aktivitas di Tampian yang paling sibuk adalah pada jam setengah tujuh pagi yaitu saat warga belum memulai aktifitas kesehariannya.
Aktivitas transaksi di pasar subuh adalah bingkaian yang ke tiga. Salah satu partisipan akumassa dari Saidjah Forum adalah Firmansyah alias Aboy—seorang anak muda enerjik yang juga berprofesi sebagai penjual ayam potong di pasar ini. Dalam bingkaian ini kawan-kawan dari Lebak mencoba merekam aktivitas negosiasi dan transaksi di pagi hari dari mata penjual ayam, penjual ikan, penjual kelapa dan sayuran. Aktivitas di pasar subuh ini berhenti pukul delapan pagi. Para pembeli bukan hanya dari warga Rangkasbitung, namun dari berbagai kota kecil dan kampung yang ada di kabupaten Lebak. Mereka berbelanja bukan hanya untuk konsumsi sendiri, tapi juga para pedagang yang akan menjual kembali di kampung-kampung asal mereka.
Bingkaian yang terakhir adalah transaksi bambu di atas rakit sungai Ciujung. Sungai Ciujung menjadi jalur distribusi utama bambu-bambu dari Lebak. Bambu dibawa dengan rakit menelusuri sungai Ciujung menuju Rangkasbitung dari kawasan Tajirah seperti Sajira seperti Kampung Karian, Belahayang, Baketruk, Lebak Maja, Sepang, Genteng, Kaduluhur, Sinday, dan Lebuh. Kabupaten Lebak adalah salah satu penghasil bambu terbesar di kawasan Barat pulau Jawa. Bambu-bambu diambil dari hutan alami dan ada sebagian hasil budidaya. Ada beberapa jenis bambu yang dihasilkan oleh kawasan ini antara lain bambu hitam (gigantochloa atroviolacea), bambu tali (gigantochloa hasskarliana), bambu apus (gigantochloa apus) dan bambu mayan (gigantochloa robusta) yang berukuran besar dan paling mahal harganya.
Transaksi bambu di sungai Ciujung Rangkasbitung setiap hari Sabtu. Ada puluhan pemasok yang berkumpul pada hari pasar ini. Lebih dari 5000 bambu yang diperdagangkan. Nilai transaksi apabila rata-rata harga satu batang bambu tiga ribu rupiah, maka transaksi yang terjadi kira-kira lima belas juta per minggu. Bambu-bambu ini dikumpulkan oleh tengkulak dan didistribusikan ke Bogor, Jakarta dan Serang. Bambu Lebak ini berakhir di industri kerajinan bambu di kota-kota tersebut.
Dari empat bingkaian yang diambil oleh kawan-kawan di Lebak, aku membaca sebagai “negosiasi” dalam konteks ekonomi dan tubuh. Peristiwa transaksi ekonomi di dua pasar (bambu dan pasar subuh) adalah aktivitas keseharian masyarakat yang sering luput dari amatan kita. Kemudian negosiasi tubuh pada perlintasan di sungai Ciujung yang melalui jembatan kereta api adalah potret ketidakmampuan negara melayani masyarakatnya. Sehingga tubuh dikorbankan dalam lingkaran bahaya. Negosiasi tubuh dalam ruang publik pada Tampian adalah yang paling unik. Karena standar nilai sosial atau yang sering kita sebut “kepantasan” sudah cair di ruang ini. Tidak ada sekat-sekat yang sering membelenggu warga. Tampian adalah ruang bebas penuh pengertian.
Begitulah perkembangan program Aku Massa di Saidjah Forum, Lebak. Penuh negosiasi. Namun, terkadang negosiasi ini yang sering menjebak kawan-kawan ini dalam memulai kreativitas dalam membongkar persoalan yang ada di Lebak. Satu ketika aku, Otty dan Bodas berhenti di restoran makanan rumah Boga Sarana di jalan Kali Jaga untuk makan siang. Rumah makan yang sederhana dengan menu rumahan tertata di etalasenya. Aku sebenarnya ingin makan ikan sungai, tapi ternyata tidak ada ikan sungai yang tersaji. Ternyata sungai Ciujung tidak memberikan berkah ekonomi dari ikan atau udang. Ini yang aku baru tahu.
Tapi sudahlah, meja di Boga Sarana memberikan penjelasan yang menarik tentang apa itu Aku Massa. Meja-meja di restoran ini dibedakan dengan nama-nama pulau di Indonesia. Ada meja Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Maluku. Tidak ada penjelasan yang rinci tentang kenapa meja-meja ini dinamakan seperti itu kata “ibu” pemilik Boga Sarana. Namun, aku hanya bisa membaca sebait pantun yang ditempelkan pada setiap meja;
Dangdut petik kecapi
Menari-nari sambil bernyanyi
Perut gendut senanglah hati
Karena habis makan di sini.
Sambil menyantap sayur bening bayam dengan ayam goreng yang renyah, aku melihat dari jendela ke jalan Kali Jaga. Ada apa dengan Sunan Kali Jaga di Lebak?
Biasa aj sih, tp wanitanya luar biasa. Gw aj sampe ga bisa pulang ke jkt lg…