Begitu banyak pengetahuan yang bisa aku dapat di museum. Karena tempat ini menyimpan berbagai macam artefak yang berharga, salah satunya Museum Gajah. Museum yang diresmikan tahun 1868 ini dianggap yang terlengkap di Indonesia. Koleksinya lebih dari 140.000 buah, terdiri dari etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga.
Minggu itu aku menyempatkan diri datang ke Museum Gajah. Tapi bukan untuk melihat-lihat artefak. Tujuanku kali ini ingin menghadiri diskusi dalam acara ‘Festival Jurnalisme Warga’ yang diselenggarakan Tempo Institut. Tema yang sedang dibahas saat itu tentang video bercerita. Panitia mengundang Otty Widasari dari Forum Lenteng (Forlen) dan Ari Syarifudin dari Jatiwangi Art Factory (JAF) sebagai pembicara serta Nur Hidayat, manager program Tempo TV sebagai moderatornya.
Awalnya Ari yang akrab disapa Algori memperkenalkan JAF kepada hadirin. Ia menjelaskan, komunitasnya bergerak melestarikan kearifan lokal Jatiwangi melalui media yaitu, TV komunitas. Dari media ini, JAF mengaku telah berhasil menghadirkan seni rupa kontemporer dengan mengikutsertakan warga Jatiwangi itu sendiri.
“JAF juga mengadakan program residensi yaitu, mengundang seniman untuk tinggal di Jatiwangi selama dua minggu. Hidup dan riset bersama warga. Kemudian membuat suatu karya bersama,” tambahnya.
Selanjutnya Otty memperkenalkan Forum Lenteng. Menurutnya melalui program akumassa, Forum Lenteng aktif membuat video melalui pendekatan dokumenter dengan gaya yang berbeda. Ia juga menjelaskan, pembuatan video ini mengikutsertakan peran komunitas yang diasumsikan dapat mewakili warga lokal.
“Selama ini kita sudah berjejaring dengan dengan komunitas lokal di 10 kota di Indonesia,” ujar Otty.
Pada kesempatan itu, kedua komunitas yang aktif memproduksi video ini juga menampilkan salah satu karyanya kepada hadirin. Forum Lenteng memutar video Penambang Kapur Dari Bukit Tui, yang bercerita tentang aktifitas masyarakat penambang kapur di Bukit Tui, Padangpanjang, Sumatera Barat. Sedangkan Ari memutar video yang bercerita tentang kreatifitas anak-anak untuk membuat terompet mainan berbahan daun pisang dan sedotan. Pemutaran video itu mengundang antusias peserta seminar. Banyak pertanyaan dari mereka kepada pembicara terkait ide, konten hingga cara publikasinya.
Salah satunya Agung, peserta dari Bandung. Ia bertanya tentang cara membuat video sederhana yang ceritanya mudah dimengerti penonton. Atau pertanyaan Lulu tentang upaya menayangkan video karya di media mainstream supaya bisa dilihat banyak orang.
Untuk persoalan ini Otty mengatakan, biasanya dia mencari cerita yang sederhana dan paling dimengerti. Karena jika mencari cerita yang tidak dipahami maka akan menemukan banyak kesulitan dalam pembuatannya.
Ari sependapat dengan Otty. Kemudian untuk menanggapi pertanyaan Lulu, agar bisa dilihat banyak orang, selama ini JAF memanfaatkan situs-situs jejaring sosial. “Bisanya mah kita sharing aja di vimeo, youtube, facebook dan yang lainnya. Tapi kalo ada TV yang mau nanyangin, ya sok atuh, kita mah copy left.”
Otty mengamini pendapat Ari tentang penggunaan jejaring sosial. Tapi untuk tayang di media mainstream menurutnya harus mempunyai posisi tawar. Misalnya tidak menayangkan iklan selama video tersebut tayang. Otty mengatakan bahwa sebagai organisasi yang berada di rel pendidikan, harus tetap menjaga independensi dengan cara non komersil. Kalau ketentuan itu tidak bisa dipenuhi oleh si media mainstream, Forum Lenteng akan tetap menggunakan cara distribusi yang selama ini sudah dijalankan seperti lewat internet dan pemutaran keliling.
“Sejak jaman Soeharto, TV memang menjadi media yang paling efektif. Karena pada saat itu, persebarannya hampir mengenai seluruh lapisan masyarakat. Tapi TV juga punya kepentingan-kepentingan. Jika kita bertahan pada sisi independen, kita harus betul-betul lepas dari sisi komersil. Jika TV tidak bisa memenuhi tawaran itu, ya kita pake cara alternatif, seperti yang dicontohkan Ari,” jelasnya.
Kemudian Nur Hidayat menghela sejenak, ia juga ikut mengemukakan pendapatnya. Sebagai moderator ia mengungkapkan, ada perbedaan mahzab (aliran) antara pandangan TV nasional (swasta) dan pendapat Otty. Acara-acara di TV nasional memang selalu ada pertimbangan yang disangkut-pautkan dengan rating, jika peminatnya rendah tentu tidak akan tayang.
“Tapi memang kondisi peraturan TV swasta sudah gak jelas karena industri. Semoga Tempo TV tetap menyiarkan acara-acara pendidikan,” ujarnya.
Selanjutnya Erwin, peserta dari Serpong juga mengungkapkan kesamaan pendapat dengan Otty. Menurutnya, jika video itu dibawa ke media mainstream, timbul kekhawatiran merusak nilai yang terkandung. Lagipula TV nasional yang kondisinya sudah menjadi ladang kapitalistik, tentu tidak akan memberikan tawaran yang menarik.
Kemudian Erwin bertanya tentang pengambilan sikap jika lokasi suting berbenturan dengan kearifan lokal yang menolak kehadiran media. “Saya pernah mencoba membuat video di Lebak, Rangkasbitung, tepatnya di Badui. Namun justru mendapatkan kendala dari sistim sosial masyarakatnya sendiri yang menolak untuk didokumentasikan. Jika kita memaksakan kehendak justru akan merusak kebudayaan yang ada. Sedangkan kita ada keinginan untuk mendokumentasikan kebudayaan mereka agar diketahui banyak orang. Jika menemukan hal yang sama, apa yang dilakukan Forlen dan JAF?”
Otty menjawab, selama ini akumassa berjejaring dengan komunitas lokal yang menjadi representasi warga lokal di wilayah itu. Jadi tidak serta-merta membuat video pada suatu lokasi, tapi kita menjalin kerjasama dengan berbagi pengetahuan. Proses pembuatannyapun dilakukan secara bersama-sama melalui program workshop akumassa selama satu bulan.
“Bukan ujug-ujug datang videoin mereka, tentu saja mereka menolak. Sama saja dengan kita, kalau tiba-tiba ada orang tidak dikenal main suting-suting kehidupan kita, tentu kita akan merasa tidak nyaman kalau kita hadir sebagai orang asing yang menyoroti mereka sebagai objek, yang akan muncul malah eksotisme. Kecuali jika kita warga sana. Jika kita datang sebagai orang lain, lebih baik tidak usah. Itu jahat,” tegas Otty.
Untuk menanggapi penolakan masyarakat terhadap kehadiran media, Ari mengungkapkan untuk saat ini, JAF hanya bergerak di wilayah Jatiwangi. Kemudian masyarakat Jatiwangi itu sendiri tidak menolak media, jadi tidak menemukan masalah dalam hal itu.
“Kita memilih di desa kita aja dulu. Karena itu aja udah susah, jadi buat apa kita garap daerah lain,” tambahnya.
Untuk persoalan dampak negatif terhadap budaya setempat, justru Ari mengatakan, “Sekarang ini kita sering ketemu peristiwa seperti, bertemu dengan ibu-ibu yang biasanya pergi ke sawah atau ke pasar. Waktu ditanya ‘Bu, bade kamana? (Bu, mau kemana?)’ dia jawabnya, ‘bade suting, A’ (mau suting, Nak)’ Kami gak tau, ini bahaya atau malah oke,” kata Ari sambil tertawa, menyerahkan penilaian kepada objektifitas peserta diskusi. Serentak para peserta seminar yang ada juga ikut tertawa, begitu juga denganku. Mungkin bukan hal yang baik jika ibu-ibu rumah tangga enggan pergi belanja.Tapi bagiku juga suatu prestasi ketika mereka jadi melek media.
Pertanyaan terakhir dari Syafira, pegiat majalah online. Ia bertanya tentang strategi publikasi agar penonton tertarik dengan pesan yang ada di dalam video. Otty berpendapat, karena program di Forum Lenteng dengan akumassa-nya adalah mengedepankan pendidikan dan distribusi pengetahuan, maka bukan dilihat dari menarik atau tidaknya. Tapi apakah informasi yang ada dalam video ini penting atau tidak bagi masyarakat. Apakah distribusi pengetahuan itu sudah cukup menjangkau. Tujuannya untuk membangun kesadaran masyarakat dalam bermedia. “Strategi untuk mendapat penonton sebanyak-banyaknya itu ada di wilayah industri komersil, sedangkan kita tidak ada di wilayah itu. Jadi kalau bicara strategi, maka strategi kami adalah di sisi ke-alternatifan-nya itu.”
Ia juga menjelaskan, “akumassa berusaha memberikan pendidikan alternatif yang dirasa tidak didapat masyarakat dari lembaga pendidikan secara memadai, juga tontonan alternatif. Karena selama ini, masyarakat tahunya TV menyajikan sinetron, infotainment, reality show dan lain-lain. Jadi jika mereka bosan melihat video akumassa itu wajar, karena masih terbiasa dengan tontonan yang dramatis. Tapi pada kenyataannya, selama tiga tahun saya bergelut di bidang ini, setiap kali mengadakan pemutaran di mana-mana, apresiasi masyarakat tinggi. Jadi, kalau ibu-ibu suka menonton sinetron itu bukan karena mereka suka sama sinetron. Mereka tidak punya pilihan lain. Buktinya saat diberi tontonan alternatif, mereka antusias.”
Sepertinya waktu untuk pembicara sudah habis. Moderator segera mengakhiri acara itu. Menurutku diskusi yang umumnya dihadiri para jurnalis warga itu tidak kalah seru dibanding diskusi yang dihadiri jurnalis professional. Tapi sayang, yang kutahu, jurnalis warga belum mendapat peran di mata hukum. Sehingga perlindungan kerja mereka, belum dijamin oleh pemerintah.
Ternyata benar jika ada pendapat, museum itu gudang ilmu. Beruntung, saat itu bukan hanya pengetahuan tentang artefak berharga yang bisa aku dapati. Tapi juga pengetahuan tentang video bercerita dengan gaya jurnalisme warga. Kemudian aku meninggalkan museum itu dan pulang sambil membawa pengetahuan baru untuk kuberikan kepada teman-teman yang lain.
Wow!! Makin mantappp!! Saluteeee…prok prok prrookkkk
Sudah seharusnya tokoh-tokoh sejarah indonesia mendapatkan apresiasi lebih lagi dari pemerintah.