Tasikmalaya, Jawa Barat

Dua Petani Mandalamekar, dan Penglihatan Jauh Mereka

“Perangai tanaman yang menuntut perhatian membentuk mereka menjadi tekun. Kebijakan mereka adalah tak menabur-tak memelihara-tak memanen. Falsafah bertani membuat para petani menjadi pribadi-pribadi yang penuh perencanaan, penyabar, dan gemar  menabung.”

-Andrea Hirata, Cinta Dalam Gelas –

***

Hutan Mandalamekar

Satu klik tetikus mengantar saya ke situs Mandalamekar, mengenalkan saya kepada sekumpulan ‘orang tua’  yang melangkahi pengguna internet lainnya di Indonesia dengan kemajuan penggunaan teknologi informasi dan Open Source-nya. Jika ini terjadi di kota besar kami anggap wajar.  Tapi letaknya di bagian selatan Tasikmalaya yang berbukit-bukit dan terpencil sampai hati membuat penasaran. Lantas berbekal informasi  tempat perhentian bernama Cinunjang yang entah itu di mana, kami – saya, Maya (22), dan Yudha (26)  seorang  aktivis jurnalisme warga online  – mencoba banyak kemungkinan  untuk tiba di sana, Desa Mandalamekar.

Senin pukul 7 (26/9) kami berkumpul di Terminal Padayungan, salah satu terminal perhentian untuk angkutan umum yang mengarah ke Tasikmalaya arah selatan. Tidak luput satupun mobil elf yang lewat kami tanyai tentang Cinunjang dan Mandalamekar.  Sayangnya tidak ada yang bisa memastikan kami sampai ke desa. Ketika Jam menunjukkan pukul sembilan, kami tidak ingin menunggu sampai terlalu siang. Kami bertaruh untuk ikut salah satu supir yang akan mengantar kami dekat ke Mandalamekar.

Di atas Elf

Tentu saja kenekatan itu disambut dengan tertawaan. Katanya jalur yang kami tempuh itu tiga kali panjang seharusnya.  Apa dikata, trayek menuju Mandalamekar memang terbatas. Dalam satu hari, hanya satu elf yang beredar ke kota lalu kembali lagi ke desa menurunkan penumpang, atau barang-barang belanjaan titipan warga. Salah naik angkutan membuat kami terpaksa turun jauh dari kantor desa. Kami harus menempuh jalan lagi menggunakan ojek dan sedikit berjalan kaki.

Ojeg di Mandalamekar

Kepala Desa Mandalamekar, Pak Yana Noviandi (43) menyambut kami di kediamannya yang asri. Halamannya dipenuhi tanaman apotek hidup dan buah-buahan. Beruntung saat itu adalah panen manggis. Sambil menunggu beliau selesai mengobrol dengan beberapa warga desa, kami ditemani banyak buah manggis yang langsung dipetik dari pohonnya. Katakanlah ini konyol, tapi sejujurnya saya takjub sekali melihat pohon manggis yang menjulang tinggi. Sepertinya memang takdir bagi orang yang tinggal di kota untuk tahu buah tanpa tahu bentuk pohonnya.  Untunglah rasa takjub akan banyak pohon buah, termasuk pohon durian, sedikit meredam kebosanan kami menunggu. Kami harus menunggu beliau yang sedang ditemui banyak tamu teruatama penduduk desa yang datang dan mengobrol santai tapi serius. Lewat sedikit dari pukul satu, masihlah seorang sesepuh desa datang mengobrol soal pertanahan.

***

“Saya hanya ingin menunjukkan kalau Mandalamekar itu ada,” begitu  jawabnya ketika kami bertanya mengenai penggunaan teknologi komunikasi di Desa Mandalamekar. Sepengetahuan kami waktu itu, baru Mandalamekar yang mempunyai website desa yang dimaksudkan sebagai media komunitas juga media promosi  potensi desa.  Awalnya Pak Yana melakukan hal yang sama, tapi dengan mencetak berlembar-lembar brosur. Brosur itu berisi potensi-potensi  wisata alam desa, dan juga wisata edukasi lingkungan.  Menggunakan brosur  mau tidak mau terkena ongkos yang mahal.  Suatu ketika Pak Yana bertemu komunitas lain di luar kota yang berkecimpung di penggunaan teknologi informasi, dia berpikir untuk membawa teknologi mereka ke desanya.

Desa Mandalamekar tengah mengembangkan ‘Mandalamekar Go Open Source‘ melalui pembuatan sistem operasi  berbahasa Sunda untuk kelancaran administrasi desa, Gethux Siga Ruyux. Sistem operasi ini sedang dikembangkan bersama lembaga Combine. Penggunaan open source ini sungguh berani. Bahkan di daerah yang lebih melek teknologi, terutama di kota, orang cenderung malas menggunakan open source seperti Linux yang tentunya lebih legal.  Semangatnya adalah kemandirian,   dan inilah yang mendasari semua inovasi di Desa Mandalamekar.

***

Siang menjelang sore, Pak Yana mengajak kami sedikit berpetualang dengan motor trail.  Mendengar kata motor trail langsung tercium bau petualangan bak offroad race bukan? Benar saja, karena  melewati jalur berliku naik turun dan berbatu menuju salah satu hutan di Mandalamekar, Hutan Karang Soak namanya. Hutan Karang Soak yang luasnya 40 hektar ditanami berbagai macam tumbuhan kayu dan semak-semak. Dari jauh saja terlihat begitu padat hijaunya. Siapa sangka tempat itu dulunya adalah bukit-bukit berbatu? Jelasnya, tahun 2004, tempat itu adalah bukit berbatu yang gersang. Dan dimulai sejak tahun 2004 itu, Mitra Alam Munggaran mulai menanaminya dengan pepohonan sehingga tahun 2011 ini bisa menjadi salah satu hutan desa yang dilindungi.

Hutan Karang Soak cuma salah satu dari banyak hutan mata air yang kembali ‘dibangunkan’ oleh Mitra Alam Munggaran. Ada banyak lahan kosong yang mereka tanami dengan berbagai pohon kayu, terutama di daerah mata air  yang sempat mati. “Kami bahkan membeli pohon-pohon yang ada di lahan pribadi, supaya mereka tidak ditebang begitu saja,” ujar Pak Irman Meilandi dari Mitra Alam Munggaran. Terkadang juga mereka berpatungan membebaskan tanah pribadi yang ternyata adalah mata air penting di desa.

Ketika saya melakukan program Kuliah Kerja Nyata di salah satu desa di Kecamatan Jatiwaras, tanah pribadi yang dimiliki orang luar desa merupakan salah satu masalah di desa-desa. Banyak orang kota yang membeli tanah di desa-desa, lalu menanaminya dengan pohon-pohon berkayu untuk dijual. “Tapi terkadang juga dibiarkan begitu saja, dan desa terkena tanggung jawab untuk membayarkan PBB-nya,” saya teringat keluhan salah satu lurah di Desa Setiawangi, yang juga tergabung di Kecamatan Jatiwaras seperti Desa Mandalamekar.

Mitra Alam Munggaran yang digawangi Pak Irman Meilandi, seorang petani lulusan jurusan keuangan dari Universitas Sam Ratulangi, mengajak para warga desa yang merantau untuk membeli tanah-tanah kosong yang ditelantarkan untuk alasan penghijauan. Pak Irman menjelaskan bahwa tanahnya pun dijadikan tanah desa dan hutannya otomatis menjadi milik desa, bukan milik perseorangan. Tindakan penanaman juga dilakukan melibatkan warga desa, dan juga didukung oleh kebijakan kepala desa. Dalam brosur lama-nya, kepala desa melakukan banyak sosialisasi tentang penghijauan. Sosialisasi dilakukan lewat sekolah-sekolah, pengajian-pengajian, dan kegiatan penanaman yang melibatkan anak-anak di tiap dusun. Di tahun-tahun terakhir, sosialisasi juga dilakukan lewat Ruyuk FM, radio komunitas warga Desa Mandalamekar.

Usaha ini secara konsisten berlanjut hingga sekarang. Saat ini, Pak Yana Noviandi bercerita sementara kami berdiri di sepetak jalan kecil diantara tebing, memandang lautan hijau yang tampak tak berbatas, “80 hektar dari 700-an hektar luas desa adalah hutan yang dilindungi. Hasilnya, ketika kemarau, sebagian besar sawah masih terairi, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.”

Mandalamekar belum begitu dikenal pada saat kami datang. Meski begitu, Mandalamekar sudah terkenal di antara pegiat lingkungan hidup. “Hutan kami selalu memenangkan lomba konservasi hutan tingkat nasional”, Pak Yana tersenyum sebentar lalu melanjutkan,” Bayangkan, ketika orang lain hanya terpikir untuk mempertahankan hutan yang ada, kami malah membuat hutan”. Dua bulan yang lalu, penghijauan yang dilakukan Mandalamekar ini diakui dunia.  Mandalamekar, lewat Pak Irman Meilandi memenangkan Seacology Award 2011 dari sebuah lembaga pelestarian lingkungan hidup tingkat internasional.

Ruyuk FM

Hal yang paling menarik dari Desa Mandalamekar, menurut saya, adalah ruyuk FM. Ruyuk FM ini adalah radio komunitas yang disiarkan sehabis warga beraktifitas. Yang siaran? tentu warga sekitar. “Nah ini artis Mandalamekar,” kelakar Pak Yana ketika seorang ibu paruh baya datang ke ruang tamu menyuguhkan kudapan untuk kami. Pak yana buru-buru menambahkan, artis radio tepatnya. Tepatnya lagi, artis yang membawakan siaran karaoke lagu Sunda.

Ruyuk FM, menurut salah seorang warga, diniatkan untuk menggantikan televisi. Pak Yana membuat Ruyuk FM menjadi hiburan alternatif pengganti sinetron di malam hari, supaya efek buruknya tidak menghinggapi warga-warganya. Selain hiburan, Ruyuk FM juga menyiarkan informasi-informasi sekitar desa. Bapak yang mengantar kami pulang bercerita kepada Maya, kadang mereka menyiarkan juga status Sungai Ciwulan. Terutama kalau di Sungai Ciwulan sedang banyak ikannya. Kalau sudah begitu, berdatanganlah testimoni berupa SMS mengiyakan bahwa mereka pun banyak mendapat ikan setelah memancing di sana. Kabarnya, Ruyuk FM juga merupakan media untuk mengenalkan penghijauan yang dilakukan oleh Mitra Alam Munggaran, komunitas desa yang begitu peduli akan keberlangsungan hutan. Menurut saya Ruyuk FM merupakan model radio yang menakjubkan, karena begitu terlibat dengan keseharian pendengarnya. Bukan kah sebuah radio komunitas memang berfungsi untuk merekatkan komunitasnya? Saya rasa saya perlu lebih banyak mengetahui bagaimana kanal informasi ini bisa begitu interaktif sebagai wadah pertukaran informasi di dalam desa.

***

Apa yang kami bicarakan dengan Pak Yana selalu melibatkan penanda waktu yang jauh. Hutan yang dibangun bertahun-tahun, rencana penggunaan open source yang membutuhkan juga waktu yang tidak sedikit, dan angka 2025 juga  secara konsisten disebutkan.

2025 mungkin angka tahun yang agak kurang terbayangkan. Tapi  2025 adalah patokan paling dekat Pak Yana ketika membuat kebijakan desa. Ia selalu berusaha memikirkan keberlangsungan program yang baik, yang tidak mesti dilaksanakan olehnya.  Pak Yana, seorang petani yang pendidikan terakhirnya dihabiskan di SMAN 4 Tasikmalaya berharap,  kalau program itu baik semoga penerusnya mau melanjutkan. “Karena itu yang membuat indonesia kacau. Dalam pemerintahan, ketika orang yang menjabat berganti, program juga berganti.”

Saat itu dia memperlihatkan kepada kami salah satu hal yang sangat penting keberlanjutannya: air, lewat keberadaan hutan. Bahkan dalam agama, air pun dianggap penting. Dia mengkritisi ketidakmengertian orang banyak mengenai hubungan antara ibadah dan keseimbangan alam, terutama air. Tuhan menyuruh kita beribadah. Dan air lah yang menunjang manusia agar bisa beribadah. Air juga bisa membuat manusia saling bertikai. Tahun-tahun sebelumnya beliau pernah memergoki sawah yang dijaga siang dan malam supaya pengairannnya tidak dicuri. Namun sejak hutan desa kembali dihijaukan, pemandangan itu berkurang.

***

Masih banyak hal yang menakjubkan yang dipepatkan sesorean itu. Kepala saya dipenuhi pertanyaan. Salah satunya,mengapa bisa ada orang yang berani melakukan perubahan sebesar itu di sebuah desa yang penuh dengan keterbatasan? Apalagi perubahan tersebut dilakukan oleh orang yang mengaku hanya petani, pekerjaan yang dianggap sangat terbatas pengetahuannya? Kunjungan ke Mandalamekar ini membuat saya merasa telah  menarik kesimpulan yang salah. Mengapa saya menganggap petani adalah pekerjaan yang memiliki pengetahuan terbatas? Bukankah mereka adalah manusia yang kesabarannya menakjubkan dan juga selaras dengan alam? Tiba-tiba saja saya berharap presiden kita seorang petani saja.

Tulisan ini pernah dimuat di tanyatanda.wordpress.com

About the author

Avatar

Rina Amalia Budiarti

Dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 10 April 1989. Ia kuliah di Universitas Siliwangi, jurusan Akuntansi. Ia juga menekuni usaha di bidang kuliner. Selain itu perempuan ini juga aktif menulis di beberapa website seputar jurnalisme warga. Sebelumnya ia aktif di komunitas Soca Tasikmalaya, namun kini lebih mengaktifkan diri bersama Komunitas Blogger Tasikmalaya.

6 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.