Tulisan ini sudah pernah dimuat di situs web Cinema Poetica dengan judul “Dongeng Rangkas: Penubuhan Ruang Lewat Orang-orang” pada tanggal 30 Juli 2011. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual” atas izin redaksi dari Cinema Poetica.
Penting bagi Forum Lenteng untuk melibatkan banyak orang dalam mengolah medium yang bisa dilihat banyak orang. Sebagai bagian dari visi tersebut, dokumenter Dongeng Rangkas dibuat. Ia memotret terik-gigil kehidupan di kota kecil Rangkasbitung, 120 km dari Jakarta. Selain bingkai konseptualnya sebagai penyedot partisipasi masyarakat dalam permediaan, Dongeng Rangkas juga menyertakan komponen praktikalnya, sebagai pemotret ruang pinggiran setelah sepuluh tahun Suharto lengser; detik yang diyakini sebagai penanda perubahan di segala lini.Dongeng Rangkas mengikuti dua orang pedagang tahu, Iron dan Kiwong, dalam keseharian mereka tanpa drama dan ambisi, berangkat kerja, pulang ke rumah, berulang kali. Bila dicatat, maka baris paling atas dalam catatan kita atas Dongeng Rangkas adalah bagaimana kamera tak mau kendur dari lekatannya pada kedua subjek, padahal film yang bersangkutan dirancang untuk bicara tentang ruang dan pergeseran kesejarahannya. Dalam memotret ruang, Dongeng Rangkas tidak lantas menampilkan gambar ruang melainkan memungut repihannya dari orang-orang yang mendiami ruangan itu.
Ketinggian pandang kamera yang sejajar mata (eye-level) juga tak pernah berubah. Rentang antara kamera dan objek-objek (terutama manusia) juga tak pernah terlalu berjarak. Saya mencatat hanya ada satu extreme long-shot (baca: shot yang jauhnya keterlaluan) dalam Dongeng Rangkas, yakni shot yang mengarah pada rumah-rumah, setelah shot Kerbau pulang kandang. Perlakuan ini mengapungkan dua pertanyaan saling berkelindan. Pertama, apa yang ingin dicapai pembuat film lewat taktik ini? Kedua, apa efek yang dirasakan penonton terkait taktik tersebut?
Strategi ini menghasilkan hasil ganda. Yang kita dapatkan bukan informasi tentang Rangkas, melainkan informasi tentang Orang Rangkas. Tantangan pertama yang harus ditaklukkan oleh penonton adalah menggambar batas yang jelas antara “Orang” dan “Rangkas”.
Memang ada resiko untuk jatuh pada pertanyaan “Apakah Iron dan Kiwong cukup representatif untuk narasi tentang keseluruhan Rangkas?” atau “Apakah semua orang Rangkas serupa dengan Iron dan Kiwong”? Tapi bagi saya, Iron dan Kiwong bukan hanya manusia yang (lagi-lagi) ingin lebih baik dari kemarin, mereka adalah sepasang bulu yang tak dapat dicerabut dari tubuh besar Sang Rangkasbitung. Iron-Kiwong dan Rangkas adalah dua konsep yang bisa dibaca baik secara sebagian-untuk-keseluruhan (Pars pro toto) ataupun secara keseluruhan-untuk-sebagian (Totem pro parte) bahkan lewat kombinasi acak antar keduanya. Hanya memang, kamera yang enggan menganjakkan gambar dari subjeknya akan sedikit membosankan secara cerita.
“Referensi visual teman-teman komunitas tidak kalah dengan teman-teman IKJ,” kelakar Hafiz Rancajale (salah satu sutradara) usai pemutaran. Sedikit banyak ia benar, Dongeng Rangkas ikut mengendurkan anggapan bahwa gambar film dokumenter selalu kasar dan bikin pening. Dongen Rangkas mengandung banyak pembingkaian eksotis yang terperinci. Mohon maaf atas segala kelancangan, bila komposisi simetris pembukanya saya mirip-miripkan dengan film-film Stanley Kubrick. Dari balik keheningan hujan di sisi gerbong, sayup-sayup terdengar suara curhat sang samurai, sebagaimana pada pembuka film klasik Rashomon. Dan gelayut mendung di atas stasiun kereta itu, anda harus melihatnya sendiri.
Benang panjang yang saya tarik ini bukan tanpa alasan, Forum Lenteng adalah komunitas yang membagikan referensi sinema klasik dunia pada anggotanya. Mereka mengiris dalam-dalam karya Peter Tscherkassky, pembuat film yang mungkin tak pernah eksis bagi penonton film Indonesia, mereka juga menjahit kembali kenangan atas La Chinoise, film yang esoterik itu. Hanya saja, Dongeng Rangkas tidak menempatkan gambar-gambar itu dalam hubungan yang nyaman. Anggaplah A adalah shot yang bagus, setelahnya ada shot biasa B, lalu ada shot biasa C, maka setelahnya akan balik lagi ke shot A. Setelah itu ke shot D, balik lagi ke A. Relasi shot yang (kurang lebih) seperti A-B-C-A-D-A-F akan menghasilkan shot-bagus-tapi-diulang-ulang. Akibatnya, ruang yang terwakili oleh tubuh karakter terkesan tidak berkembang. Sebab ketika seharusnya cerita sudah bergerak jauh, persepsi penonton didesak untuk balik lagi ke cerita awal ketika shot bagus itu pertama kali ditampakkan.
Pada akhirnya, Dongeng Rangkas mengusulkan redefinisi atas konsep cita-cita. Bahwa si cita-cita bukanlah hal yang tersembunyi dibalik remangnya hari esok, cita-cita bisa saja ada di sini sekarang. Ia bisa saja eksis berdampingan dengan hal lain yang tak kita inginkan. Bahwa cita-cita dan usaha untuk menggapainya bisa saja muncul secara bersamaan. Cita-cita Iron sebagai pemain band metal terwujud seiring penanggungan ironisnya sebagai pedagang tahu. Cita-cita Kiwong menjadi orang baik mewujud seiring getolnya ia menabur penyedap rasa ke atas tahu jajaannya.
Dongeng Rangkas memaksa kita mampir untuk melihat Rangkasbitung dari celah mungil di balik ketiak para subjek. Bahwa ketika orang bercerita tentang dirinya, maka sejatinya ia tengah bercerita tentang ruangnya. Bahwa orang-orang yang menanggapi ruang secara bebas nilai, ditodong dengan pisau di leher, “melirikkan bola mata saja sudah tidak bebas nilai.”