Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Dongeng Iron

Dongeng Iron
Avatar
Written by Fuad Fauji
Pbrolan di markas Saidjah saat itu sangat riuh karena, selain aku dan Iron, ada Rob, Aboy, Robi, dan Kuni. Iron menjawab lesu sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, saat kutanya soal harga kacang kedelai. “Belum normal, Ad!” jawabnya. Menurutnya, dia sudah berhenti berlangganan pada Si Engkoh, pemilik toko kacang kedelai langganan setianya di pasar. Iron sekarang sudah tidak bisa mempekerjakan pegawainya dan kini tidak menempati pabrik warisan dari orang tuanya lagi. Dia menjelaskan bahwa usahanya tidak berhenti. Atas kebaikan Kiwong, ia diperbolehkan ‘rental pabrik’ saat memproduksi tahu. Ia belum tahu pasti kapan kembali memproduksi tahu di pabrik milik keluarganya.

Malam itu kami terus membicarakan segala kemungkinan ke depan dan sesekali membicarakan masa lalu. Iron bercerita kembali tentang ketidaktahuannya soal pemasok utama kacang kedelai di pabrik-pabrik tahu di Rangkasbitung. Tetapi menurutnya, kacang kedelai untuk seluruh pabrik di Rangkasbitung dipasok dari Bulog. Kuni meyakinkan bahwa Bulog biasanya yang mengatur pangan, termasuk biji kacang kedelai. Biasanya kacang lokal dibeli dari petani, lalu masuk gudang. Saat ini pengusaha tahu dan tempe memasarkan persedian yang seharusnya untuk impor di pasaran lokal. Sedangkan stok lokal, disimpan di gudang untuk digunakan nanti-nanti, saat stok impor habis. Mungkin mereka melakukan itu untuk menjaga harga, supaya tetap stabil di pasaran.

Suasana obrolan di Markas Saidjah Forum

Semakin malam semua pertanyaan semakin tertuju pada Iron. Sudah lama kami tidak ngobrol bareng Iron. Maklum saja, waktu yang dia habiskan untuk bekerja seharian di pabrik tahu adalah lima belas jam. Sulit sekali untuk bisa bertemu dengannya.

Pagi tadi aku melakukan perjalanan melewati 25 pabrik tahu di Kampung Kebon Kelapa, Rangkasbitung, untuk menemui Iron. Biasanya, pagi hari, para pedagang dan pekerja pabrik tahu memiliki waktu senggang karena sudah selesai bekerja. Biasanya mereka beristirahat di sekitar pabrik.

Ternyata semua pabrik tahu mulai sepi. Para penjaja tahu sudah berhamburan keluar pabrik,  berjualan ke pasar dan kereta. Kemudian aku sengaja datang lagi menjelang siang. Sejak merebak isu kelangkaan kedelai, aku jadi penasaran akan nasib Iron, si pemilik pabrik, dan sangat ingin menemui teman satu ini. Juga Kiwong si pedagang tahu. Tetapi aku tidak menemukan mereka karena pabrik miliknya sudah sepi. Sudah tidak ada jemuran pakaian di tiap rumah. Sudah tidak ada sepotong pakaian pun terlihat menggantung di jemuran di samping pabrik-pabrik yang terbuat dari bambu.

Pintu pabrik Kiwong

“Aneh juga, Si Fuad bisa tahu nomor handphone saya. Dari mana dapatnya? Dari Si Doktor (sebutan untuk seorang teman), bukan?” Aku menjelaskan pada Iron, kalau nomer telponnya kudapat dari istrinya. “Tadi saya mampir ke rumah,” kataku sambil minum kopi yang sudah dingin.

Semakin malam, kami tak bosan.

Kuni mengulas soal berita-berita di televisi pada saat terjadi insiden pembakaran kacang kedelai di jakarta. Mendengar kata televisi, Aboy yang serius membolak-balik koran lokal, bertanya pada Iron, “Terus ada pengaruhnya ke penghasilan sekarang tidak, Ron?” Iron pun menjawab sambil menyambung kembali rokoknya, “Jelas turun drastis. Semua orang meributkan soal potongan ukuran tahu. Pendapatan turun drastis dan tidak menentu. Pokoknya sekarang pusing tujuh keliling. Kalau sudah begini, pusing ‘ngutak-ngatiknya’. Semua penjual tahu bicarain siasat ukuran potongan. Tapi saya punya prinsip lain. Harga kacang logikanya tidak akan turun. Kenapa harus mainin bentuk? Jelas-jelas harganya sudah naik dan tidak bisa dilawan. Kebanyakan orang beda prinsip. Prinsip pedagang berbeda-beda. Kata pihak sana mainkan saja di potongan. Sedangkan menurut saya tidak usah. Harga kacang kedelai kan naik. Harusnya harga tahu, yak dinaikkan lagi, dong! Potongan tahu tetap begitu saja. Itu prinsip saya. Mungkin akan berbeda. Tahhh…engke mereun konsumen nutur keun, (nah, barangkali nanti konsumen akan mengikuti). Paling-paling ada pertanyaan dari pembeli: kenapa harga tahu bisa naik? Ya, tinggal dijawab saja, coba, doong, lihat berita!”

Kami pun semakin penasaran untuk menanyai Iron. Kuni yang ada di situ kembali bertanya, “Jadi sekarang penjual tahu dihadapkan sama pilihan menaikan harga atau memilih merubah ukuran potongan? Tidak apa-apa potongan segitu, tapi harga naik. Setuju, tuh…!” Aboy seperti tidak mau kalah, memberikan komentar, “Mengikuti harga saja kalau begitu!”

Pemandangan belakang pabrik tahu

Iron seperti belum puas bercerita dan ingin melampiaskan kekesalannya, “Ya, sekarang begini saja, potongan segitu saja! Kapan mau naiknya sih? Kacang mahal terus sedangkan harga tahu segitu saja. Semua orang bilang jalan keluarnya lewat potongan. Tapi menurut saya bukan begitu caranya. Potongan biarkan segitu saja. Tapi harga harus naik. Soalnya harga bahannya juga sudah naik dan rasanya tahu pasti gitu-gitu saja. Menurut saya, sih, begitu. Saya banyak melihat dan mempelajari dari penjual lain. Istilahnya ‘ngulik’. Bukannya musik underground saja yang harus diulik, dunia perdagangan juga. Ohh… jadi begitu. Memainkan potongan tapi menggunakan harga lama. Tapi, yak, gimana lagi? Semua orang punya cara berbeda menyiasatinya…

… Harusnya, sih, ada yang ikut demonstrasi di Jakarta. Mungkin sebagian ke sana. Tapi setahu saya, tidak ada pedagang tahu dan tempe dari Lebak yang ikut ke sana.”

Aku lebih gembira kalau Iron bicara underground ketimbang intrik perdagangan. Dan sepertinya dia pun merasa begitu. Maka buru-buru aku mengalihkan pertanyaan. “Terus kalau jualannya lagi sepi, musik underground terus jalan, kan?”

Langsung saja Iron bicara sambil menelunjukan satu jarinya ke hadapan kami, “Ihh…gimana sih, nih? Jelas tidak ada pengaruhnya sama-sekali, Ad! Main musik itu KKS, Kanan Kiri Seimbang. Kalau ngomong situasi jualan tahu, sih, yak, paling parah, nih, ya sekarang. Sepahit-pahitnya berjualan dulu, ya, tidak sepahit ini. Anjloknya harga kedelai sekarang fatal menurut saya. Para pedagang tahu banyak yang tidak kuat. Berhubung ini cuma jalan satu-satunya buat bertahan hidup, yak, lanjut saja. Tapi maksudnya apa, nih! Kok jadi underground? Sebentar… sebentar… kepala saya pusing, nih. Harga kacang kedelai di bulan puasa masih sekitar Rp.76.000 per kilogram. Belum mencapai Rp.80.000 per kilogram seperti sekarang. Sekarung kacang kedelai itu harganya sampai Rp.400.000. Bulan puasa masih bisa pake manajemen dengan rumus tiga telor. THR, resiko dapur, juga biaya anak sekolah. Jadi tidak mengganggu keperluan lain. Lebaran kemarin masih bisa santai di kali. Tapi sekarang saya tepok jidat, boro-boro manajemen. Lieurrrrrr (pusing)… Sudah bisa bertahan jualan dan tidak gulung tikar saja sudah beruntung. Kadang istri suka bertanya: Bagaimana jualan kita sekarang, A’? Saya jawab saja, tidak tahulah! Sudah, jangan tanyakan dan pikirkan masa depan. Jalani saja hidup. Kita tidak tahu masa depan. Sekarang masa depan kita sudah tidak menentu. Bukan soal pesimis. Tapi jalan terbaik kita saat ini adalah menghadapi persoalan, bukannya menghindar. Betul ga, Rob? Sori, nih, bukan curhat,” Iron memegangi kepala botaknya sambil tidak henti-hentinya menghisap rokok.

Setelah lama diam ia kembali bicara, “Begini ceritanya, Ad! Waktu itu saya belum terjun ke dunia perdagangan. Jaman itu masih iku-ikut Si Rob main musik undeground tahun 1996.”

Saya kembali bertanya pada Iron tentang jaringan underground di Indonesia sebelum tahun 1998, yang konon berpusat di Rangkasbitung, Lebak. Tetapi kali ini Rob yang menukas soal underground, “Bukan, lah…! Basis underground di Jawa Barat itu di Ujung Berung, Bandung, bukan di Lebak. Kalau basis underground Banten, ya, di Lebak, Kitarung Underground. Kalau di Jakarta mmm…”

Tiba-tiba Iron menyela pembicaraan Rob dengan entengnya, “Intinya kalau metal satu jari, saya, mah, meyakinkan diri sendiri tanpa pengaruh orang lain!”

Rob melanjutkan bicaranya, “Banten tidak ada hubungan dengan Ujung Berung. Banten berhubungan langsung dengan Jakarta. Jadi Ujung Berung misah sendiri dengan Jakarta. Tetapi kalau ada acara manggung bareng, semuanya pada akur. Jadi jaringan underground terpisah di seluruh Indonesia, sebab jaraknya sangat jauh. Paling komunikasinya lewat majalah masing-masing. Komunikasinya lewat majalah atau newsletter. Nanti saling beli sesama komunitas. Dulu kan belum ada sms dan internet segala macam. Jadi budak Banten ke Jakarta. Komunitas underground terbesar, ya di Jakarta. Kalau istilahnya, Jakarta sebagai jantungnya. Kalau Banten, pusatnya ya di Rangkasbitung. Komunitas underground Serang, Pandeglang, dan Cilegon, semuanya datangnya ya pasti ke sini. Ohh … baru inget! Basis perkumpulan underground Jakarta di Duri (Kampung Duri Angke). Di Edelweis, tempatnya kumuh. Tahun 1996 saya pernah mampir ke sana. Saat itu Lebak masih masuk Jawa Barat, kan?”

Aku berusaha mengingat bahwa Banten saat itu belum memisahkan diri.

Rob melanjutkan, “Yak! Jabar! Tapi saat itu underground kita sudah menyatakan diri sendiri, terpisah dari Jabar. Mau dari musik sampai apapun waktu itu, kita tidak mengakui Jawa Barat. Ehh… Ron, waktu jaman underground kita waktu itu tidak menginduk ke Jawa Barat, kan?” Iron menjawab, “Ohh, iya…waktu itu Jakarta dan Bandung mengakui seperti itu. Jadi dari segi musik, Banten tidak menginduk ke Jabar maupun Jakarta. Banten telah punya kesendirian (pendirian, maksudnya). Banten punya komunitas sendiri untuk urusan musik underground. Dulu Yogyakarta juga ada, kok, underground-nya. Ya, kan, Rob? Namanya The Pomit. Di setiap pelosok, underground pasti ada. Soalnya tujuh turunan, mati satu lahir lagi yang lain. Insyallah, underground tidak akan pernah mati. Maaf, yah! Misalkan Si Rob pakum (vakum, maksudnya), maksud saya kegiatan underground yang senior pakum, maka turunan baru yang lainnya pasti ada. Surabaya juga ada. Kalau ga salah, band-nya Bulukutuk. Pokoknya se-Indonesia, lah! Semuanya melakukan komunikasi lewat majalah. Jadi kita tahu perkembangan musik-musik di daerah lain. Paling tinggi komunikasinya lewat telpon rumahan. kita tahu perkembangan musik-musik di daerah lain. Pokoknya termasuk distribusi kaset juga. Biasanya setiap komunitas saling beli album terbaik dari masing-masing komunitas underground. Dulu underground Jakarta majalahnya Edelweis, ketua redaksinya Judininajo. Kalau di Lebak sini, Si Tisan. Nama majalahnya Distro Magazine. Bentuknya fotokopian. Tapi sudah ke mana-mana majalahnya, loh! Apalagi saat mulai ada sisipan newsletter. Laku! Waktu itu yang diutamakan informasinya, bukan bentuknya. Walaupun hitam putih, tapi anehnya tetap banyak dibeli komunitas lain. Sampai-sampai kalau manggung di berbagai tempat tidak perlu dibayar besar. Yang penting dibayarin uang transport.”

Aboy menyela obrolan, “Idealis semua, yah?”

Iron menyambung, “Bukan idealis. Tapi kenyataannya tidak ada donatur besar. Satu-satunya donatur terbesar underground di Indonesia saat itu, ya cuma di Lebak. Underground Banten disokong penuh sama perusahaan rokok di setiap kegiatannya. Dulu, orang Bandung dan Jakarta mengakui kebesaran pentas musik di Rangkasbitung. Jadi kalau mengukur ketenaran jalan ini, maka Jalan Kitarung saat itu sudah tersohor oleh underground (Kitarung Underground). Dulu kan jarang ada orang yang punya telepon rumah. Biasanya kalau manggung suka ngasih alamat di majalah-majalah, kode pos. Jadi kalau sudah begitu, ya biasa… gimana, sih… suka saling tukar menukar alamat, terus saling kirim surat.”

Bentar, nih, obrolan kok jadi pusing? Mana dulu, nih…? Kacang kedelai dulu atau underground dulu?” Sela Rob.

Buru-buru Iron mengiyakan, “Iya, nih, pusing… dari kacang kedelai dan dunia perdagangan, kok, langsung masuk ke musik? Dua bidang itu kan, beda. Hiji-hiji geh… sirah aing dang-deng kiyeu soalna (satu-satu, dong , soalnya kepala saya jadi pusing begini)!“

Tapi rupanya persoalan harga kedelai yang melonjak sudah tidak menarik lagi.

Karung kacang kedelai Cap Pelangi

“Kalau musik underground, tahun 1996 belum dikukuhkan. Tahun 1997-1998 baru jadi, sampai 2001. Kuat karena sudah menjadi bagian dari jiwa, alias terawat. Bukan hanya lidah tapi jiwa, bukan hanya  baju tapi sudah menjadi bagian dari jiwa. Jiwa kita harus terus dijaga. Termasuk menjaga mental. Ini pilihan hidup. Underground harus punya ciri khas. Waktu itu saya sampai bela-belain ke Jakarta naik kereta sendirian hanya untuk survei studio musik,” kata Rob sambil menyalakan laptopnya.

Sesaat obrolan hening. Tetapi Iron kembali membuka obrolan, “Balik rekaman demo aing aya anu ngabantai. Rugi, dia, aing eta! (Balik habis rekaman, saya ada yang membantai. Itu merugikan saya!) …

… Saat itu kami balik dari Jakarta naik kereta. Demi Allah saya tidak maksud ke sana (untuk mengganggu penumpang-red). Tidak ada niatan mau sikut sana-sini di dalam kereta. Kalian tahu sendiri. Penuh dan riuh oleh pedagang. Waktu itu saya berniat mau beli rokok. Lalu saya ngejar tukang rokok yang terlanjur sudah ada di gerbong lain. Hayang ngarokok amat, haseum (sangat ingin merokok karena mulut sudah asam). Setengah lari saya kejar tukang rokok. Di tengah gerbong ada penumpang-penumpang kesenggol tidak sengaja. Pokoknya saya ga tau yang kesenggol apanya. Beeutt… beeutt… melewati penuhnya penumpang. Eeh… tiba-tiba ada yang colek saya. Otomatis urang nyileuk, (Otomatis saya menoleh). Belum saja melihat mukanya, saya sudah berkata Astagfirallahaladim. Burisaaaatttt… !!! Saya melihat banyak warna putih kecil-kecil. Rasanya seperti disambar petir. Weuyy, Rob… dihembat deui ku urang (diembat lagi oleh saya)!” Sambil Iron memperagakan jotosan balasannya dengan tangan kanan, tangan kirinya memegangi pergelangan tangan kanan. “Teussskeup!! Tangan saya dipegangi bapak-bapak. Weuuy, Pak, ulah kiyeuu, geh. Jelema itu anu salah. Geus! ulah…ulah…karunya! Iiihhh … batur itu anu nonjok uraaaaaannggg… kumaha sih!! (Hey, Pak, jangan begini, dong. Orang itu yang salah. Sudah! Jangan… jangan… kasihan! Ihh… kawan itu yang menonjok sayaaaa…. bagaimana, sih?

Iron

“Orangnya lari, Rob. Terus saya jalan sambil memegangi muka, teuk… teuk…!! Ehh… yang lain curiga terus bertanya, “Si Iron kunaon sih eta? (Itu Si Iron kenapa , sih?) Saya mau sendiri saja membalasnya. Maunya puas, tidak melibatkan teman. Tapi ternyata Si Ghozal bicara ke yang lain: Si Iron aya yang ngabogem (Ada yang membogem Si Iron)! Saya mencarinya di tiap gerbong. Ternyata orangnya sudah habis dipukuli sama penumpang lain karena punya masalah. Tapi saya penasaran mau melihatnya. Setelah melihatnya, saya puas karena mukanya menyon (penyok). Ya iyalah… habis dipukulin orang segerbong. Terus saya langsung berbesar hati tidak mau balas dendam. Yak, sudahlah, sudah dihukum sama orang lain. Sudah impas. Betul, ga? Saya bukan orang yang suka kekerasan.”

Malam semakin larut.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.