Di dalam kereta, aku duduk tepat di samping jendela di gerbong ketiga. Perjalanan pulang dari Yogyakarta menuju Jakarta ini akan kunikmati meski hanya dengan fasilitas ekonomi. Sepanjang perjalanan aku menyaksikan indahnya hamparan padi yang masih hijau. Sepertinya ini masih musim awal untuk menanam. Mungkin baru enam bulan kedepan padi-padi itu dipanen. Kemudian didistribusikan ke Jakarta. Setelah sampai di toko, barulah bisa kunikmati dengan menanaknya menjadi nasi.
Saat itu tidak banyak petani yang pergi ke sawah, yang ada pun hanya duduk-duduk santai di pondok sambil menikmati rantang yang di bawa dari rumah. Mungkin ini yang dimaksud indahnya kemerdekaan, para petani itu bisa duduk santai di pondoknya sambil mengawasi padi agar tidak diserang hama. Tidak seperti cerita yang kudengar saat pemeritah Hindia Belanda berlangsung. Mereka harus bekerja ekstra untuk menghasilkan komoditi yang sudah ditentukan. Begitu juga dengan aku, bisa duduk santai sambil menikmati indahnya pemandangan tanpa perlu merasa khawatir oleh segenap peraturan yang membuat anak pribumi merasa berada di kelas yang terendah. Ah… indahnya.
***
Bogowonto masih berlari di atas jalurnya, tiba-tiba ingatanku kembali ke Yogyakarta. Siang itu aku menemani tiga orang temanku belanja di Pasar Beringharjo. Kata mereka harga-harga di sana murah untuk membeli oleh-oleh buat orang rumah. Setelah itu kami ke Malioboro untuk makan siang dan melihat barang-barang lainnya.
Ketika siang menuju sore, kami terpencar menjadi dua. Aku dan Dian memilih untuk jalan-jalan melihat kota, sedangkan Otty dan Bodas masih melanjutkan perburuan benda-benda lainnya. Salah satu tempat yang kami singgahi adalah Monumen Serangan Umum 1 Maret yang berada di Jalan Ahmad Yani, tidak jauh dari Malioboro. Di dalam monumen itu dapat terlihat dengan singkat tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret dalam bentuk relief-relief.
Melihat monumen itu aku jadi teringat kembali tentang Ilmu Pengetahun Sosial (IPS) yang pernah aku pelajari di SD dulu. Serangan itu diceritakan sebagai kisah yang heroik di bawah instruksi Panglima Besar Sudirman. Sudah tentu mantan Presiden Soeharto yang masih berpangkat Letnan Kolonel juga tak luput kisahnya. Pada saat itu ia berperan sebagai pemimpin serangan di sektor barat hingga ke batas Malioboro. Tapi sayang, sejarah penggagasnya masih menjadi kontroversi. Belum ada kepastian antara Soeharto, Hamengkubuwono (HB) IX, Bambang Soegeng, Sudirman atau AH Nasution.
Tiba-tiba Dian berujar, “Kayaknya gue pernah tahu kisah serangan ini di filem Usmar Ismail yang judulnya, Enam Djam di Djogja, deh.”
“Hmmm… mungkin,” jawabku. Untuk urusan filem aku memang sangat miskin refrensi dibanding Dian.
Tapi Akbar Yumni, anggota redaksi Jurnal Footage pernah menjelaskan sedikit padaku tentang filem Enam Djam di Djogja. Menurutnya, filem tahun 1950 itu merupakan karya dokumenter pendekatan fiksi. Pembuatan ceritanya tidak mengunggulkan atau mengecilkan pihak-pihak tertentu. Hanya untuk menggambarkan sebagian peristiwa perjuangan TNI dan rakyat dalam menyerbu kota Yogyakarta dan mendudukinya selama enam jam pada 1 maret 1949.
Kemudian aku berkhayal seakan-akan sedang berada di tahun 1949. Bisa kurasakan dengan jelas tempat yang sedang kupijaki berterbangan peluru-peluru liar, dentuman granat, dan teriakan para pejuang yang terluka. Hiruk-pikuk PMI untuk menolong korban yang berjatuhan dan raut wajah penuh takut masyarakat yang tidak tahu apa-apa. Aku tahu serangan ini bukan main-main. Meskipun hanya mampu merebut Yogyakarta selama enam jam, peristiwa tersebut merupakan salah satu kisah yang cukup membantu Republik Indonesia untuk mendapat pengakuan kedaulatan di mata PBB.
Jas Merah
Waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang, Bogowonto masih terus berlari. Aku bosan di dalam kereta, tidak ada orang yang bisa kuajak bicara. Semua sibuk dengan gadget-nya masing-masing dan aku merasa sungkan untuk mengganggu walau sekedar berkenalan. Untuk membunuh rasa itu, aku terpaksa ke kamar kecil untuk buang air yang sebetulnya belum ingin. Kupandangi papan bertuliskan ‘Jagalah Kebersihan’ sambil menahan nafas dari bau pesing yang sengit. Sambil menutup retsleting, dalam hati aku menggerutu karena keran air tidak mau mengeluarkan isinya. Sekali lagi, terpaksa tidak kubersihkan bekas air seniku.
Duduk di samping jendela cukup menguntungkan buatku. Pemandangan yang indah dapat kusaksikan dengan jelas, tapi sayangnya aku tidak membawa kamera untuk diabadikan. Sekarang, entah ada di desa apa, tapi padi-padi di sini sudah mulai menguning. Bahkan sebagiannya sudah menjadi tumpukan jerami yang dibakar. Hatiku masih kesal karena tidak bisa bersih-bersih setelah buang air kecil, dan bau pesing itu rasanya masih tersisa di batang hidungku.
Rasa kesal itu mampu membuat aku lupa dengan indahnya hamparan padi yang menguning. Justru aku kembali lagi teringat kunjunganku ke Monumen Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta. Ya, bisa kubilang monumen yang diresmikan oleh mantan Presiden Soeharto pada tahun 1973 itu juga bau pesing. Entah pelakunya adalah orang yang sentimental terhadap rezim Orba atau memang orang yang tidak terbiasa kencing pada tempatnya. Tapi yang pasti ada banyak oknum yang telah mengencingi monumen itu.
Aku jadi teringat salah satu slogan mantan Presiden Soekarno yaitu, ‘Jas Merah’ yang merupakan akronim dari jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Ketika mengetahui bahwa monumen tersebut bau pesing, aku jadi meragukan keramah-tamahan bangsaku, khususnya terhadap sejarah. Atau minimal keramah-tamahan untuk seniman yang sudah membuat relief dan patung yang ada di sana.
Terlepas dari kontroversi di balik kisahnya, buatku monumen tersebut adalah sepenggal sejarah yang berharga untuk masa-masa selanjutnya. Seperti melihat foto kecilku yang begitu dimanja, hal ini bisa membuat aku bersyukur memiliki ibu yang paling baik hati di dunia. Atau seperti melihat fotoku saat sakit agar aku lebih bisa menjaga kesehatan untuk di kemudian hari.
Begitu juga dengan Monumen Serangan Umum 1 Maret. Sebuah bingkisan dari masa Orba untuk kusyukuri atas indahnya hamparan padi yang kusaksikan sepanjang perjalanan bersama Bogowonto. Sebuah peringatan untuk kusyukuri atas pemandangan yang harmonis antara petani dan padi-padinya. Serta sebuah alasan untuk berbuat yang lebih baik setelah mengetahui sadisnya penjajahan.
Aku tak sempat ke makam pahlawan untuk berterima kasih kepada 300 prajurit dan 54 anggota polisi yang tewas saat itu. Semoga doa tulus dari dalam hati dapat membalas apa yang sudah mereka perjuangkan.
***
Rasanya Bogwonto sudah berlari sampai di Bekasi, Jawa Barat. Seluruh hamparan padi sudah terlewatkan, berganti menjadi bangunan-bangunan kumuh yang tak terelakkan. Aku malas melihat ke jendela, kuputuskan untuk tidur. Biar petugas membangunkanku nanti ketika Bogowonto sampai di Stasiun Senen, Jakarta.
berkali-kali aku ke YK dan melintasi tempat ini tapi gak pernah masuk,, hehehe
dan gak tau ada ceritanya hehehe
lain kali kesana dan masuk hehe
Sepertinya ini masih musim awal untuk menanam. Mungkin baru enam bulan kedepan padi-padi itu dipanen. Kemudian didistribusikan ke Jakarta. >> hehe.. mas varietas padi yang ditanam dari mulai Wates, Purworejo, dan sepanjang pantai selatan dan utara Jawa rata-rata sekarang Ciherang, IR 64, dan Cilamaya.. Dengan masa panen paling lama 90 hari atau tiga bulan.. piss!!
Wah, terima kasih, dapat info baru, aku memang kurang tahu tentang jenis2 varietas tanaman padi yang sekarang dipakai, terima kasih mas.