Naga Yang Berjalan Di Atas Air itulah judul film feature dokumenter yang kami produksi ini. Judul tersebut tercetus tatkala makan siang sehabis syuting di Restoran Padang di pinggir jalan Siliwangi Raya, Desa Bhakti Jaya, Kecamatan Setu Kota, Tangerang Selatan yang tak jauh tempatnya dari lokasi kami syuting. Penamaan judul Naga Yang Berjalan Di Atas Air adalah sebuah tamsil metaforik untuk menggambarkan sosok tokoh utama dalam film ini yakni, Kang Sui Liong.
Film yang diproduksi ini merupakan film feature dokumenter panjang berdurasi hampir dua jam. Film Naga Yang Berjalan Di Atas Air merupakan kerja kolaborasi antara Forum Lenteng dengan Komunitas Djuanda sebagai bagian dari program up-grading jejaring akumassa. Sebelumnya, film pertama dari program up-grading tersebut adalah film Dongeng Rangkas yang berkolaborasi dengan salah satu jejering akumassa, Saidjah Forum yang bermarkas di Lebak, Banten. Film Dongeng Rangkas dalam seketika mendapat apresiasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri, terbukti mendapatkan penghargaan dari Festival Film Dokumenter (FFD) 2011 di Yogyakarta pada Desember 2011, kemudian apresiasi dari forum Internasional berupa special screening dalam perhelatan 3rd DMZ-Docs Korean International Documentary Festival pada September 2011 dan terpilih sebagai nominator di festifal filem dokumenter internasional, CPH:DOX 2011 Copenhagen, Denmark pada November 2011.
Proses pembuatan film Naga Yang Berjalan Di Atas Air dimulai pada bulan November 2011 sampai dengan bulan Februari 2012. Tim yang terlibat dalam pembuatan film ini adalah Otty Widasari—Koordinator akumassa selaku sutradara dan penulis film, Ray Sangga Kusuma—Direktur Komunitas Djuanda selaku asisten sutradara, Syaiful Anwar, Mufti Al Umam dan Choiril Chodri selaku kameraman, Renal Rinoza Kasturi selaku periset dan pembuat ide cerita, dan Dwi Anggraini Puspa Ningrum selaku manajer lokasi. Kemudian setelah film ini rampung diproduksi, tahapan selanjutnya adalah proses pasca produksi. Dalam pasca produksi ini yang terlibat bertambah daripada tim ketika proses produksi film. Tahapan pasca produksi masuk di awal bulan Maret 2012. Dalam pasca produksi tim yang terlibat menyusun penyuntingan dan publikasi. Tim penyuntingan diserahkan kepada Mufti Al Umam & Choiril Chodri. Kedua editor tersebut mendapat pendampingan secara intens oleh Hafiz sampai dengan tahapan akhir penyuntingan. Kemudian, tim publikasi dipercayakan kepada Rizky Muhammad Zein selaku Koordinator Publikasi & Promosi Film Naga Yang Berjalan Di Atas Air, dibantu oleh Eni Wibowo, Imam FR Kusumaningati dan Farabi Ferdiansyah, serta tim redaksi akumassa: Lulus Gita Samudra, Dian Komala dan Muhammad Fauzi. Sebagai Public Relation film ini, tim Publikasi & Promosi didampingi oleh Andang Kelana dalam menyusun agenda kerja publikasi & promosi. Materi publikasi seperti pembuatan web, desain banner, poster dalam bentuk digital juga dibantu oleh Riosadja Dawat.
Selama proses produksi berlangsung kami sebagai tim produksi boleh dikatakan mendapatkan keberuntungan. Kenapa, keberuntungan yang kami maksud adalah penerimaan yang tulus dari pihak pengelola klenteng, warga sekitar, dan para jemaat yang datang bersembahyang dan bercengkrama. Ternyata, tak butuh waktu lama supaya begitu dekat dengan Koh Liong, karena ia begitu ramah dan supel. Namun sebelum aku lebih jauh menceritakannya, kiranya aku akan sedikit menceritakan awal mula bisa mengetahui Bio Kanti Sara—nama resmi klenteng ini. Bermula dari keingintahuanku terhadap sebuah hal-hal yang berhubungan dengan aktifitas religi di setiap agama. Ya, aku adalah orang yang senang bergaul dan mempelajari agama lain selain agama yang kuanut. Beberapa agama telah aku pelajari seperti agama Nasrani yang mencakup dunia kekristenan secara luas. Pengalamanku berinteraksi dengan agama Kristen tidak cukup di literatur yang kubaca, lebih dari itu aku juga bertemu dan bertukar pikiran dengan tokoh agama. Kok bisa begitu—jawabannya simple, karena kampusku Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sering mengadakan seminar tentang dialog antar iman tentunya melibatkan tokoh-tokoh kunci dari setiap agama dan yang sering langganan adalah agama Kristen.
Dari berbagai aneka perjumpaan itulah yang mengendap di alam bawah sadarku, tanpa kusadari nilai-nilai kebersamaan dalam hidup menjadi sesuatu hal yang esensial bagi hidupku dan tentunya apa yang disuarakan oleh KH. Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid dan Buya Syafii Maarif terdengar sayup-sayup di telingaku—pendengaran sayup-sayup itu bagaikan sebuah bisikan nilai-nilai kebajikan dalam tata nilai keber-Islaman yang percaya diri dan pandai bergaul.
Tak berhenti di situ saja, perjumpaan selanjutnya adalah aku senang mempelajari budaya Jawa sampai akhirnya mau tak mau aku mempelajari agama Hindu dan Buddha. Kedua agama ini merupakan landasan utama orang Jawa dalam memandang dunianya atau tepatnya kontak Jawa yang mengalami Indianisasi termasuk dalam hal agama. Dan agama dengan sendirinya menjelma dalam setiap aktifitas ritus keagamaan yang bersetubuh dengan adat istiadat atau budaya. Ya, meskipun orang Jawa pada umumnya kini telah memeluk Islam, secara laten pada praktiknya masih mempertahankan nilai-nilai sebelum Islam hadir di tanah Jawa baik sadar atau tidak sadar akan hal itu.
Nah, apa relevansinya dengan film Naga Yang Berjalan Di Atas Air—satu jawaban yang dapat diterima adalah faktor kontak Jawa-Cina yang sudah barang tentu adalah perjumpaan dengan hibriditas budaya di dalamnya. Khusus untuk film ini adalah bagian dari nebula kebudayaan Nusantara dengan kentalnya tradisi religi. Sebagian orang Tionghoa masih mempertahankan laku religi dan budayanya walaupun sudah terputus secara fisik dengan negeri leluhur dan yang sudah beranak-pinak di negeri yang didiaminya sekarang. Namun di sisi lain mengadopsi unsur-unsur budaya lokal yang sebelumnya sudah ada.
Nah, kasus Cina Benteng sesuai untuk menggambarkan asimilasi tersebut termasuk apa yang ada dalam film Naga Yang Berjalan Di Atas Air sebagai bagian dari percampuran budaya yang ada di daerah Tangerang utamanya sepanjang aliran Sungai Cisadane yang datangnya dari hilir menuju ke hulu sungai.
Sebelumnya, aku pernah bertandang ke klenteng Kanti Sara sekitar akhir bulan Februari 2010 bersama temanku sesama Komunitas Djuanda, Mufti Al Umam namanya. Dia bersamaku, awalnya untuk tulisan yang akan dimuat di akumassa.org. Singkat cerita, segala yang kubutuhkan untuk bahan tulisanku sudah lengkap, karena aku mewawancarai Koh Liong tentang sejarah klenteng, aktifitasnya dan lain-lain. Namun sayang beribu sayang catatanku tersebut hilang entah kemana tanpa sempat untuk kembali kesana. Kebetulan di tahun 2010 tepatnya bulan Maret aku jatuh sakit, kukira sakit demam biasa, ternyata lama-kelamaan semakin parah sampai akhirnya di bulan Mei 2010 aku di diagnosa positif terkena penyakit TB—penyakit Paru-paru. Maka setelah itu dalam setahun aku menjalani pengobatan bolak-balik ke rumah sakit setiap minggunya. Dalam sesalku aku berikrar akan kembali lagi kesana (ke klenteng) dengan tujuan menulis kisah di klenteng tersebut. Ya, tepat bulan November 2011 aku kembali ke Klenteng Kanti Sara, bukan bermaksud untuk menulisnya melainkan mefilmkannya sebagai sebuah cerita dalam film feature dokumenter panjang.
Baiklah, aku ceritakan sekelumit ide pembuatan film ini. Seperti yang sudah disimak di atas tadi, gagasan utama yang melatari pembuatan film adalah sesuatu nilai-nilai esensial yang bisa kita ambil sebagai teladan. Di samping itu adalah sesuatu yang khas apabila berbicara tentang kehidupan masyarakat Tionghoa peranakan. Bukan bermaksud untuk meng-eksotik-kannya melainkan memberikan sebuah afirmasi pengetahuan dan menukilkan penggalan kronik sejarah sosial dan budaya di Kota Tangerang Selatan yang sekali lagi amat terasa minim. Proses syuting yang lumayan melelahkan terasa tidak melelahkan, lantaran suasana kebatinan yang begitu dekat dengan kehidupan klenteng. Ini bisa dimaklumi karena hampir setiap hari kami berada di lokasi syuting dan menginap.
Interaksi kami dengan Koh Liong, Istrinya, anak-anaknya, warga sekitar dan para jemaah yang sembahyang dan bercengkrama begitu akrab. Banyak kisah unik, pengalaman seru dan mendengarkan cerita-cerita yang diutarakan oleh mereka. Mulai dari sejarah Klenteng ini, aktifitas mereka dalam berbisnis, tentang cokek dan gambang kromong, cerita tentang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia sampai dengan keberadaan etnis Cina di Babakan Pocis, Desa Bhakti Jaya, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan—tempat klenteng Kanti Sara berada. Keberadaan Cina Benteng sampai hubungannya dengan keberadaan etnis Cina di hulu sungai Cisadane termasuk kawasan Babakan Pocis, Tangerang Selatan dan Gunung Sindur Bogor, cerita tentang silat Ko Peng Hwo, cerita tentang Soekarno dan hubungannya dengan etnis Tionghoa di Indonesia termasuk di dalamnya kontak ke negeri Tiongkok (Republik Rakyat Tiongkok), peristiwa G 30 S PKI, zaman Soeharto berkuasa di mana terjadinya peminggiran dan diskriminasi terhadap etnis Cina seperti pelarangan aneka kesenian dan budaya, upacara keagamaan, sampai penggantian nama.
Peristiwa Mei 1998 yang besar dampaknya bagi keberadaan etnis Cina, zaman reformasi, eksistensi etnis Cina di era reformasi, peranan Gusdur yang mengakui keberadaan etnis Tionghoa beserta perangkat kesenian, budaya dan religinya—di mana dalam hal ini negara sudah mengakui keberadaan eksistensi etnis Tionghoa seperti pengakuan agama Konghucu, dan perayaan Imlek dan sebagainya. Juga berbicara mengenai konteks politik Indonesia saat ini dan jelang Pemilu 2014 hingga berbicara situasi politik lokal di Tangerang Selatan yang sebelumnya melaksanakan Pemilukada dengan memenangkan Pasangan Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie sebagai Walikota dan Wakil Walikota. Dan banyak cerita lainnya yang sangat menarik untuk disimak seperti hal-hal yang bersifat mitologis.
Dalam cerita ini ada beberapa nama yang ku ingat dan yang lainnya aku lupa, seingatku adalah Koh Samseng, Koh Andi, Koh David, Koh Johan, Koh Cingcing, Koh Atik, Koh Anton, Koh Ocan, Koh Edo mereka begitu bersemangat berkisah dan luar biasa ceriwisnya.
Ya, begitulah kisah cerita yang kudapat selama berada di Klenteng Kanti Sara, keramahan dan keakraban selaras dengan suasana hening dan rindang pohon membuat udara terasa sejuk. Tak sampai di situ saja, hal yang unik selama syuting adalah keberadaan berbagai macam etnis yang hidup damai dan rukun sejak lama tanpa terpengaruh konflik horizontal. Di sekitar klenteng hidup berbaur antara beragam etnis seperti Betawi, Cina, Sunda, bahkan orang Papua. Tak jauh dari klenteng ada sebuah gereja yang terlihat kurang terurus. Di sebuah pelosok kutemukan Gereja Anglikan—sebuah keheranan tersendiri. Kok gereja bisa ada di sini, padahal gereja Anglikan jumlahnya terbatas karena merupakan denominasi Gereja Inggris. Suatu hal yang tidak lazim tak seperti gereja Protestan lainnya yang bisa dimaklumi keberadaannya di tempat-tempat seperti itu. Sebelumnya yang kutahu Gereja ini berada di daerah sekitar Tugu Tani Jakarta Pusat.
Pengalaman unik lainnya adalah untuk pertama kali tim produksi dibacakan sebuah mantra kemudian dituliskan di punggung masing-masing. Aku pun kebagian prosesi ini. Ada semacam energi yang terasa dari dasar bumi. Bukan berandai-andai ternyata ini juga dirasakan Otty Widasari yang merasakannya semacam kekuatan magnetik dari bawah bumi. Entahlah aku tidak tahu persis asal muasal energi tersebut. Kemudian, prosesi ciamsie—sebuah prosesi mendapatkan peruntungan dengan mengocok tumpukan bambu pipih di dalam sebuah tabung yang terbuat dari bambu juga. Kemudian bambu pipih tersebut jatuh dan selanjutnya dilemparkan sebuah kayu yang ukurannya segenggam kepalan tinju dan setelah itu dapat diketahui seperti apa peruntungannya dengan melihat kertas hasil dari bambu pipih dan sekepal kayu tersebut.
Prosesi ini seru karena setiap orang punya hasil yang berbeda. Contohnya, salah satu temanku nasibnya agak jelek makanya dianjurkan banyak-banyak berdoa dan rajin-rajin sholat lima waktu. Nah kalau aku beberapa kali di ciamsie tidak berhasil karena dewa belum merestui, begitulah kira-kira alasannya kenapa aku gagal di ciamsie.
Selama proses syuting kami pun menyusuri kehidupan satu per satu, baik dari Koh Liong sendiri, istrinya, anak-anaknya termasuk dalam hal ini kedua anaknya yang berasal dari istri ketiga nya. Koh Liong mempunyai tiga istri. Istri pertama tinggal di samping klenteng, sedangkan istri kedua tinggalnya lumayan jauh dari klenteng. Kebetulan istri ketiga tinggal bersamanya beserta anak-anaknya mengurus Klenteng Kanti Sara. Kedua anak mereka adalah Anita (14), dan Ari (13). Kedua anaknya ini, di samping bersekolah juga mengurus klenteng seperti Anita yang bertugas mencuci piring, menyiapkan hidangan bagi para tamu, mengganti air teh di altar, mengganti wadah berisi minyak, menyalakan lilin dan sebagainya. Sedangkan Arie aktifitasnya mengurus ayam peliharaan, bermain di sawah, dan menabuh tambur sebagai salah satu prosesi ibadat.
Saat syuting, kami menunggu momen perhelatan Gambang Kromong. Namun untuk perhelatan gambang kromong masih menunggu adanya sebuah hajatan perkawinan. Dan harapan itupun tipis, karena belum ada kabar siapa yang menggelar hajatan perkawinan. Ternyata, syukur Alhamdulillah, rupanya ada sebuah hajatan perkawinan di daerah Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Sungguh beruntung. Dan kami pun berangkat pada malam itu dengan mengendarai mobil dan sepeda motor. Sampailah di sebuah perkampungan bernama Rawa Kalong yang sudah termasuk Kabupaten Bogor. Dengan jalan yang becek dan segumpal tanah yang melekat di sandal, kami memasuki pesta perkawinan. Kebetulan yang mengajak kami adalah Koh Ceng Hong atau Nata Hidayat ketika ngobrol-ngobrol di klenteng. Koh Ceng Hong adalah kawan karib Koh Liong sejak lama. Wah, ramai dan meriah sekali hajatan yang berlangsung. Jujur aku baru pertama kali melihat pesta seperti ini. Setiap tamu yang yang datang bersalaman dengan mengepalkan tangannya, khas budaya Tiongkok. Pesta sudah barang tentu diiringi musik orkes Gambang Kromong dan tarian ngibing. Kami lama berada di sana. Sekitar jelang pukul 01.00 dini hari kami pulang.
Proses produksi syuting berjalan cukup lama, hampir dua bulan lamanya. Sampai menunggu momen perayaan Imlek, Cap Go Meh. Namun seperti sediakala kami juga menunggu momen seperti malam Cap Goh dan malam Cek It. Malam Cap Goh adalah malam bulan penuh atau purnama sedangkan malam Cek It adalah malam bulan sabit yang dihitung setiap 15 hari sekali dalam setiap satu bulan. Biasanya kedua malam yang silih berganti tersebut banyak para jemaah yang berdatangan untuk bersembahyang juga ajang kumpul-kumpul dan saling bercengkrama. Prosesi sembahyang dengan membakar hio, kemudian berdoa ke masing-masing dewa seperti altar Dewa Kwankong—yang dalam hal ini dewa pelindung Bio Kanti Sara, altar Dewi Kwan Im, altar Buddha, altar Dewa Dapur. Dilanjutkan menaruh hio di tungku yang berada di depan klenteng dan membuang pembakaran kertas ke sebuah tungku beratap pagoda.
Dalam syuting kali ini, kami menggunakan kamera Sony HD EX 1. Penata kamera sekaligus kameraman adalah Syaiful Anwar, dibantu dengan tiga orang kameraman, Choiril Chodri, Mufti Al Umam dan Ray Sangga Kusuma. Sedangkan aku menjajal beberapa shoot saja. Selebihnya, footage-footage gambar yang kami ambil sudah lumayan banyak kira-kira ada 50 jam jikalau ditayangkan semuanya. Dan sesuai rencana, film ini diestimasikan berdurasi sekitar dua jam. Setelah pengambilan gambar selesai, tiba waktunya masuk ke tahapan pasca produksi.
Dalam proses pasca produksi kami terlebih dahulu mendiskusikan untuk mengelaborasi cerita dalam film ini. Proses pasca produksi masuk di awal bulan Maret 2012. Kami pun sebagai tim produksi terlibat dalam penggarapan dan penyusunan cerita. Dalam penyusunan terbagi berbagai fragmen cerita, sekitar 12 fragmen cerita untuk kemudian dipilah dan disatukan. Setiap rangkaian fragmen sesuai logika cerita dan logika visualnya. Bersama Hafiz, Otty Widasari, Syaiful Anwar, Choiril Chodri, Mufti Al Umam, Ray Sangga Kusuma, Dwi Anggraini Puspa Ningrum dan aku sendiri membongkar setiap footage-footage untuk disusun menjadi sebuah cerita. Proses diskusi pun berlangsung intens dengan melihat perkembangan dan kemajuan susunan cerita dan proses drafting editingnya.
Film sebentar lagi akan diputar secara perdana di awal minggu kedua bulan Mei 2012, tepatnya tanggal 12. Tanggal tersebut dipilih karena melihat momentum kelahiran Ari, anak kedua Koh Liong di mana saat itu terjadi perubahan besar dalam negeri ini di tahun 1998. Selain itu, pihak Studio XXI TIM menjadwalkannya di tanggal yang sama. Oleh karena itu, geliat tahapan publikasi dan promosi pun gencar dilakukan semua pihak terutama yang bertanggung jawab dalam proses publikasi dan promosi. Berbagai persiapan pun dilakukan seperti mempercepat pembuatan banner dan poster. Di samping itu, memperbaharui web, akun Facebook, dan Twitter film Naga Yang Berjalan Di Atas Air.
Terhitung sejak tanggal 3 Mei 2012, sarana publikasi dan promosi pun gencar dilakukan hingga hari ‘H’ gala premiere film Naga Yang Berjalan Di Atas Air. Setelah gala premiere tanggal 12 Mei 2012, langkah selanjutnya adalah pemutaran di kawasan Kota Tangerang Selatan yang direncanakan di Aula Kantor Walikota, pemutaran khusus mahasiswa di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—almamater anak-anak Komunitas Djuanda juga beberapa pemutaran publik dan roadshow ke daerah-daerah.
Akhirul kalam, inilah geliat selama proses syuting hingga saat ini dalam tahapan persiapan gala premiere film Naga Yang Berjalan Di Atas Air—semoga pemutaran film ini memberikan sumbangsih bagi semua yang peduli bagi kemajuan Kota Tangerang Selatan dan langkah kecil untuk menjejakkan kaki dalam lapangan berkesenian dan berkebudayaan.
Kalau mau ikut nonton filmnya harus daftar dulu sebelumnya atau boleh daftar on the spot?
Silahkan langsuang datang ke tempat pemutaran, mengisi buku tamu, mendapat tiket masuk dan nikmati pemutarannya. Semuanya gratis.