Sebentar saja,
Biarkan aku duduk menerima takdirku
Memandang matahari yang sebentar lagi tenggelam
Sebentar saja,
Lalu aku akan segera kembali
Menerima garisku
Pada matahari pagi dari balik Rinjani
“Weh…, Weh…, ka kek bangon poh, kan ta jaga lalo bak Bangsal. Sawek ku mbau ongkot wah ni sik umpan” (Weh…,Weh…, bangun dong, katanya mau pergi ke Bangsal. Saya udah dapat nyari ongkot (anak-anak udang untuk umpan). Aku terbangun karena teriakan sangat keras terdengar dari luar kamarku, sebuah kamar yang masih sangat amburadul. Lukisan-lukisan setelah pameran masih menumpuk di samping tempat tidur. Gendang rebana dan marawis masih juga berserakan belum diatur. Gitar dan keyboard menemani di tempat tidur sebab tidak kebagian tempat pada tumpukan-tumpukan itu. Karena rasa ngantuk yang sangat berat, aku masih enggan bangun. Badanku masih saja lemas setelah menempuh setengah jam perjalanan dari tempat mengajar, dan ditambah hampir setengah jam lagi menunggu perbaikan jalan di Pusuk setelah longsor tanggal 19 Februari lalu. Bukan cuma itu, pekerjaan di sekolah bertambah untuk persiapan ujian try out bagi kelas IX. ”Schedule padet hip…!!!” Itu ungkapan yang biasa Jatul, temanku, katakan kalau lagi sibuk.
Sesaat setelah suara itu mulai terdengar lebih lantang dan lebih keras, aku perlahan mulai mengangkat tubuhku dari tempat tidur. Si Bolang dari Utara akan mengajakku ke Bangsal nih, gumamku dalam hati. Aku ingat tadi malam, bahwa aku sempat bikin janji dengan Si Bolang dari utara (Eman Supandi) dan janji ini harus aku tepati meskipun harus kuakui sebenarnya aku masih ingin membagi lelah bersama bantal dan guling.
Eman : “Te yaoq, Jaga asyar ni.Kan ta payu lalo mancing? Saweq ku mbau ongkot wah ni.”
(Ayo, dong, udah mau ashar, nih. Katanya kita mau pergi mancing? Saya sudah dapat ongkot, nih.)
Saya : “Aok, ta sembahyang apa juluk ampoq ta lalo. Pira loek joan poh?”
(Ya, kita sholat dulu baru jalan. memang berapa banyak kailnya?)
Eman : “Araq sekeq, bareh ta saling gentiq.”
(Cuma satu, nanti kita gantian.)
Saya : “Araooo, deq sehmaiq kat a. Juq pada-pada sekeq kah.”
(Yaaa, tidak asyik rasanya. Coba sama-sama satu)
Eman : “Te wah, bareh ta pada saling gentiq tan ta. Sambil ta nikmatin suasana daiq leq ito.”
(Ayo sudah, nanti kita gantian caranya. Sambil kita menikmati suasana senja di sana.)
Saya : “Angkaq ta sembahyang wah juluq.”
(Makanya, kita sholat dulu)
Eman : “Aoq wah, laguq ta payu poh?”
(Ya sudah, tapi jadi ya, kita pergi?)
Saya : “Aoq…”
(Ya….)
Karena sudah janji, akhirnya aku iyakan ajakan Eman untuk memancing di Bangsal. Dari cerita yang kudengar darinya, memancing di Bangsal memang memiliki suasana yang lain. Salah satu daya tarik bagi masyarakat Pamenang yang gemar memancing adalah Dermaga Bangsal yang baru dibangun sepanjang kurang lebih 300 meter itu. “Dermaga ini memang ditujukan untuk pelabuhan kapal pesiar,” tutur Eman yang kebetulan dia juga sempat dengar dari Pak Nanang, Kasi Permasyarakatan Pariwisata Dishubparkominfo Kabupaten Lombok Utara. Dan memang setahuku Eman cukup dekat dengan Pak Nanang. Ketika Pameran Seni Rupa 6 Februari 2012 yang diadakan Komunitas Pasir Putih, aku melihat Eman begitu akrab berbicara dan bercanda dengan Pak Nanang.
Bahkan, banyak juga informasi lain tentang pembangunan dermaga ini, ada yang mengatakan akan digunakan sebagai dermaga barang dan juga dermaga untuk Fast Boat Bali-Lombok. Karena belum aktif, masyarakat memanfaatkannya untuk rekreasi, memancing dan bermain. Hal ini dapat kita lihat ketika sore hari, di mana suasana Dermaga Bangsal sangat ramai dikunjungi, terutama sekali para pemancing mania. Beberapa kali ke Bangsal memang kulihat banyak sekali orang yang memancing di dermaga itu. Mulai dari mereka yang memang pekerjaannya memancing sampai mereka yang hanya melepas lelah setelah seharian bekerja. Bahkan beberapa yang hanya ikut-ikutan dan sama sekali tidak paham tentang ilmu perpancingan. Tapi, Ya sah-sah saja, sebab nenek moyang kita kan pelaut.
Setelah sholat ashar, aku berangkat ke Bangsal bersama Eman dengan motor tuanya yang biasa kami panggil ‘Sherly’, nama yang cantik. Sesampainya di Bangsal, kami langsung menuju Dermaga Baru Bangsal. Beberapa orang sudah mulai memancing, tapi kami belum ketinggalan kereta. Sebab, masih banyak tempat kosong untuk duduk. Kami memilih duduk menghadap kearah barat, dan sengaja duduk berdekatan dengan Bapak Atip. Beliau adalah seorang nelayan tua di kampungku. Tentu dengan duduk di dekatnya aku akan banyak belajar tentang cara memancing yang baik. Beberapa kali kami lihat beliau berganti-ganti tempat duduk, “Ya ngengatang kon luek ikan ca,” (Kayaknya lagi mengamati lokasi d imana banyak ikan) kata Eman memberitahuku. Namun, Man Atip kembali juga ketempat semula, duduk di dekat kami. Beberapa saat berada di sana, kulihat Man Atip sangat jago memancing. Eman ternyata tidak mau kalah, dengan sigap dia menancapkan umpan sambil komat-kamit lalu melemparkan kail. “Apa bacan dik Man?” (Baca apaan, Man?) tanya ku heran melihat mulutnya yang komat-kamit. Tapi dia hanya geleng kepala saja. Satu demi satu, ternyata banyak juga ikan yang kami dapat. Sesekali Eman memberikan kesempatan kepadaku, dan tidak kusia-siakan. Empat ekor ikan kudapat.
Sesekali, para pemancing juga saling ejek satu sama lain. Apalagi setelah Man Tuan Ji Latif datang, suasana jadi makin ramai dengan canda tawa. Man Atip pun jadi sasaran ejekannya “Mbe mok tan dek luek mauk epe, ya keramat kah pancing pe cia,” (Pantesan dapat banyak, pancingnya Bapak Atip kan keramat). “Mulain epe wah, mula seh dek epe tao mancing mpok dek pe mauk cia,” (Mulai sudah, memang ‘epe’ (Bahasa Sasak halus untuk ‘kamu’)-nya saja yang tidak bisa mancing, makanya kamu tidak dapat ikan) kata Man Atip membalas. Ejekan itu hanya sebagai selingan saja dalam ketegangan bertarung dengan ikan.
Semakin mendekati senja, suasana dermaga semakin ramai. Satu demi satu orang mulai berdatangan untuk memancing, menikmati suasana senja. Bahkan ada yang cuma ketemuan dan beberapa ada yang datang dengan anak dan istri. Suasana sore ini seperti menyapu rasa capek yang ku rasakan. Namun sayang sekali, aku merasa belum menikmati suasana itu karena tidak punya kail seperti Eman.
Sambil melihat Eman sedang memancing, kusempatkan ngobrol dengan beberapa orang disana yang kukenal. Yah, aku mulai menanyakan tentang aktifitas mereka sekarang dan juga lebih jauh tentang keberadaan Dermaga Bangsal yang mereka tahu. Sebagian besar dari mereka belum tahu secara pasti penggunaan dermaga ini kedepannya, namun beberapa pemancing bahkan mengatakan “Mudahan dek sik keang-keang dermaga ni, arak-arak kon ta mancing” (Mudah-mudahan dermaga ini tidak akan pernah dipakai, biar ada tempat kita mancing).
bawaiiii tulisannya ciamik banget!! hahaha aku tau ni si sherly,,,
bawai ntar nulis lagi ya suka euy sama tulisannya.
knp ndak di angkat brp jumlah apbn yang di telan oleh pembangunan dermaganya heb..??
tapi tulisanmu ttp mantab.!!!!
Lagi belajar nulis,,, mohon saran dan masukan…. 🙂
Wah…udah mantap tulisannya…gak perlu belajar lagi…Jika sering, pasti akan jauh lebih mantap dari tulisan ini.
salam
fiz
mantap… ;D
Thanks All…… Pasir Putih sedang terbakar….. Lagi mau nulis semua… Mohon Do’a…!!!!