Bagi kami generasi kelahiran 1975-an, istilah ‘Belanda Depok’ sudah terdengar semenjak kecil. Istilah itu juga diperkuat ketika film Si Pitung (Pembalasan Si Pitung, Nawi Islamil, 1977) yang banyak di putar di ‘layar tancap’ pada kala 1980-an. Saya sendiri memiliki pengalaman berteman dengan para ‘Belanda Depok’ ketika di masa Sekolah Dasar (SD). Sekitar ada dua atau tiga seangkatan di sekolah, yang memiliki darah keturunan Belanda. Apakah mereka berasal dari para ‘Belanda Depok’ atau bukan, saya sendiri kurang begitu yakin tentang asal-muasal Belanda mereka. Karena hanya kami bertempat tinggal di wilayah Depok (Cimanggis), maka frasa ‘Belanda Depok’ menjadi melekat.
Nampaknya frasa ‘Belanda Depok’ sudah tidak terlalu kental lagi bagi kalangan masyarakat kota Depok hari ini. Sejarah ‘bumi hangus’ yang sebangun dalam catatan masa lalu pada bangsa kita, nampaknya secara nir sadar sudah menjadi tradisi kultural dalam memandang proyeksi perubahan sosial, khususnya dalam memandang perubahan sebuah kota. Pada 18 Mei 1696, Cornelis Chastelein (1657-1714), membeli sebidang tanah di wilayah yang di Depok. Pembelian tanah di Depok oleh Cornelis ini, konon adalah perluasan sekitar 4 pal dari pembelian tanah sebelumnya di daerah Sringsing (Lenteng Agung, Srengseng) pada 15 Oktober 1965. Konon penanda wilayah pada masa kolonial banyak menggunakan istilah ‘pal’, seperti beberapa keterangan menyebutkan seperti Sringsing dekat dengan Pal 17, atau Depok sebagai Pal 21. Istilah ‘pal’ itu sendiri masih kita dengar sampai hari ini, terutama kalau kita bepergian dari daerah UI (Universitas Indonesia) menuju Jalan Raya Bogor ke daerah Kelapa Dua. Arti kata ‘Pal’ sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tonggak batu sebagai tanda jarak, antara satu tonggak dan tonggak yang lain berjarak 1,5 kilometer.
Sekurangnya ada beberapa anggapan tentang asal-muasal kosa kata ‘depok’, yang kini dikenal sebagai nama kota Depok. Ada keterangan ketika Cornelis membeli tanah di daerah yang dikenal sebagai Depok, sudah bernama demikian, yang berasal dari Bahasa Sunda yang menjadi kata ‘padepokan’—sebagai daerah ‘mandala’ pada kala kerajaan-kerjaan Sunda. Ada juga keterangan yang menyebutkan asal kata depok dari ‘de volk’ (people) atau DEPOC (De Eerste Protestante Organisatie van Christenen), bahkan sampai ‘de VOC’. Entah mana yang tepat, namun semua anggapan tentang asal-muasal kosakata ‘depok’ memiliki pengalaman sejarahnya sendiri.
Bisa jadi kata ‘de volk’ adalah asal kata ‘depok’ yang kontekstual, karena nampaknya, Cornelis Chastelein memaksudkan membeli tanah tersebut, sebagai usaha membangun visi membangun daerah yang ‘menyenangkan’ (weltevreden) bagi para warga yang mendiaminya—termasuk para budaknya (120 orang), sebagai kekecewaannya terhadap pemerintahan kolonial kala itu. Hal ini diwujudkan oleh Cornelis ketika menjelang ajalnya, ia telah membebaskan para budaknya, beserta kepemilikan tanah yang dibagikan berdasarkan marga para budaknya. Tindakan Cornelis ini tentu mendapatkan tentangan dari pihak pemerintah kolonial Belanda—hukum kolonial tidak mengizinkan para budak mendapatkan hak waris kepemilikan tanah. Bisa dikatakan, usaha Cornelis ini adalah semangat ‘etik’ yang sedang dipraktikan pada zamannya. Cornelis sebagai penggagas awal Kota Depok, melalui warga yang berasal dari para budak yang dibebaskannya, sesungguhnya ingin membangun sebuah polis (negara kota), karena para warga nya berasal dari berbagai ragam suku. Sebuah daerah prototipe (model) masyarakat, sebagai tandingan dari situasi kolonial yang ia merasa kecewa ketika ia juga sempat menjadi pegawai pemerintahan kolonial.
Nampaknya apa yang disemangatkan oleh Cornelis Chastelein, ketika membangun daerah Depok, kini tidak bisa temui lagi. Hampir warisan semua warisan Cornelis, kini tidak bisa kita temui lagi, kecuali sisa-sisa bangunan pada masa kolonial di Mal Margo City, Margonda, yang telah dieksotiskan. Nampaknya memang demikian, kita hanya memandang masa lalu (sejarah) sebagai sesuatu yang eksotis, sebuah rasa keindahan yang diasingkan, atau dimuseumkan. Sialnya, kini keindahan memang telah banyak di-‘etalase’-kan, seperti banyaknya bangunan mal dan ruko yang berjejer di sepanjang jalan Margonda menuju Depok. Sebagai sebuah otentisitas, Depok kita telah disatelitkan oleh Jakarta, seperti yang sering kita lihat, lalu lalang, dan hiruk pikuk warga Depok pergi dan pulang. Seperti sejarah kekuasaan yang selalu melarutkan daerah-daerah di sekitarnya, nampaknya Depok kini telah kehilangan sejarah dan ‘kemandiriannya’.
Kita sering kali luput, khususnya para pembuat kebijakan, sesungguhnya sebuah keindahan telah disemayamkan bersama Cornelis, ketika membangun sebuah Kota Depok, sebagai sebuah bukti hidup, seperti yang ia nyatakan dalam surat wasiatnya yang berbunyi; ”Berikoet lagi akoe memardahekakan (merdeka, red.) samoewa boedak-boedak… laki-laki dan perampoean beserta anak-anak dan tjoejoe-tjoejoenja…”, “Maka akoe poesakakan boedak-boedak mardaheka sepotong tanah…”, “Maka sekalian orang-orang di Depok jang satoe tijada dibedakan dari jang lain…” Cornelis Chastelein, meninggal di depok, pada tanggal 28 Juni 1714, pada umur 56 tahun.
___
Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Katalog Program AKUMASSA Depok.