Jurnal Kecamatan: Lemahwungkuk Kota: Cirebon Provinsi: Jawa Barat

Cirebon: Kesepakatan Pemilihan Situs akumassa

Cirebon: Kesepakatan Pemilihan Situs akumassa

Cirebon, 13 – Desember – 2008

Hari kedua setelah tutorial oleh Mahardika Yudha dari Forum Lenteng, para partisipan mulai mempresentasikan hasil riset baik berupa data primer maupun sekunder. Meskipun nenek moyang saya berasal dari kota Cirebon, tetapi Ayah saya sejak kecil hijrah ke Jakarta. Karena itu saya tak banyak tahu mendalam perihal kota ini. Bagi saya Cirebon adalah kota Hari Raya, di mana seluruh anggota keluarga dari ayah semua berkumpul selama tiga hari kemudian bertemu lagi di tahun selanjutnya.

Sore itu pukul 15:00, diskusi dimulai dengan presentasi saya mengenai asal-usul kota Cirebon. Setelah era kerajaan Hindu-Budha, Cirebon merupakan pusat kerajaan Islam di Jawa Barat. Kota seluas 37,36 km2 (tidak termasuk wilayah Kabupaten) ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Keraton Kasepuhan adalah Keraton pertama yang dibangun oleh Sunan Gunung Jati Pada tahun 1483 sebagai perluasan dari Pakungwati. Kemudian Keraton Kanoman berdiri lebih muda. Kanoman berasal dari kata ‘anom’ yang bermakna ‘muda’.

Menurut Diki, salah seorang partisipan di Cirebon terdapat beberapa Keraton, di antaranya Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Keprabonan. keempat Keraton tersebut pada awalnya memiliki fungsinya masing-masing. Keraton Kasepuhan sebagai Kantor Pemerintahan, Keraton Kanoman sebagai Tempat tinggal, Kacirebonan sebagai dapur umum dan Keprabonan tempat gudang senjata. Pemaparan tentang sejarah Cirebon dan Keratonnya tidak terlalu panjang lebar, karena masing-masing partisipan rata-rata mendapatkan sumber yang memberikan keterangan yang sama.

Saya pun melanjutkan, perkembangan kebudayaan Cirebon tak lepas dari unsur Tionghoa, India, dan Arab. Pasalnya, saat itu pelabuhan Cirebon merupakan pelabuhan perdagangan yang banyak didatangi dari negeri Arab dan Cina. Tipikal masyarakat Cirebon dewasa ini, bukan Jawa dan bukan Sunda. Akulturasi yang terjadi tidak saja antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Sunda, tapi juga dengan berbagai kebudayaan di dunia, seperti Cina, India, Arab, dan Eropa. Dari segi budaya berkesenian, arsitektural, hingga ke bidang sosial. Hampir tidak pernah ditemukan friksi sosial antar ras di Cirebon, karena mereka sudah terbiasa dengan perbedaan.

Sebagian masyarakat percaya dengan mitos – mitos dan berharap berkah dari Keraton. Seperti mandi di sumur ini misalnya. Di Keraton Kasepuhan terdapat tujuh buah sumur yang airnya mereka percaya akan memberikan berkah, bahkan masyarakat dari luar Cirebon seperti Indramayu, Bandung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung bahkan Jakarta banyak berdatangan untuk mandi di sumur tersebut yang kemudian airnya dibawa pulang.

Mengenai permasalahan bahasa, pada masyarakat Cirebon menunjukkan suatu keberagaman. Di sini terjadi persinggungan antara Bahasa Sunda, Bahasa Jawa, dan Bahasa Indonesia. Meskipun bahasa-bahasa tersebut pada umumnya digunakan secara terpisah, namun pada beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan wilayah penggunaan bahasa yang berbeda, masyarakat biasanya dapat berkomunikasi dalam dua bahasa dengan baik dan dapat saling mengerti walaupun mereka masing-masing menggunakan bahasa yang berbeda. Masyarakat Cirebon mengenal bahasa halus (keraton) dan bahasa lumrah (kasar) meski terkadang banyak kemiripan dengan bahasa Jawa dan bahasa Sunda.

Kini bahasa Jawa halus (Keraton) jarang terdengar di masyarakat terutama di perkotaan, bahkan menurut beberapa partisipan dari Cirebon, anak-anak muda dianggap kuno jika berbicara menggunakan dialek bahasa Jawa halus (Keraton). Tetapi sebagian dari mereka masih menggunakannya ketika dirumah atau berkomunikasi dengan orang yang dihormati. Terlebih semenjak era-globalisasi, dengan masuknya media massa elektronik, televisi maupun radio mempengaruhi dialek bahasa di kalangan anak muda.

Setelah melakukan diskusi mengenai pandangan tentang Kota Cirebon, kami para partisipan membuat kesepakatan untuk memilih situs-situs dan tema yang dibingkai dalam workshop akumassa. Sebelum membuat kesepakatan, kami semua membongkar kota Cirebon berdasarkan situs-situs material dan imaterialnya. Dari beberapa situs yang terpampang di papan tulis laboratorium kami, maka terdapat kesepakatan dalam membingkai karakteristik kota Cirebon, yaitu:

1. Keraton Kanoman dan Pasar; kami tertarik dengan aktivitas pasar yang ramai hingga menutupi pintu gerbang utama Keraton tersebut. Keadaan pasar yang semrawut membuat asumsi kami kalau warga Cirebon tak lagi melirik Keraton Kanoman (kecuali hari-hari sakral keagamaan) karena enggan untuk melewati pasar tersebut. Kami juga berasumsi bahwa selain dampak modernisasi di Cirebon, yang membuat masyarakat di wilayah perkotaan hanya melihat Keraton sebagai warisan sejarah dan onggokan budaya masa lalu saja, keberadaan pasar tersebut juga semakin mengukuhkan keterasingan yang dirasakan oleh komunitas yang tinggal di dalam Keraton tersebut.

Keraton Kanoman

Keraton Kanoman

2. Pesisir; untuk membongkar kota Cirebon sebagai kota pesisir, kami sepakat untuk melakukan riset mendalam di Pelabuhan Cirebon dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kejawanan.

Tempat Pelelangan Ikan Kejawanan

Tempat Pelelangan Ikan Kejawanan

3. Religiusitas; Cirebon adalah kota sejuta mistik, selain Keraton dan sejarahnya, banyak sekali makam keramat, pohon keramat, dan situs-situs yang dianggap memberikan kekuatan supra-natural tersendiri, diantaranya Astana Gunung Jati, Kalijaga, Watu Celek, Gua Sunyaragi, dsb. Dan kami mencoba membongkar kemungkinan-kemungkinannya jika direpresentasikan dalam bentuk audio-visual.

4.  Modernitas; persoalan ini merupakan masalah yang terjadi di berbagai kota di Indonesia. Berdirinya pabrik-pabrik, pusat perbelanjaan dan industri lainnya, membuat kami ingin lebih lanjut mengetahui gesekan-gesekan yang terjadi di masyarakat.

Setelah menyepakati keempat tema tersebut, keesokan harinya para partisipan melakukan observasi langsung ke lapangan selama dua hari berturut-turut untuk setelahnya dapat membongkar tanda-tanda di lapangan hingga merumuskan ide karya yang akan dibingkai.

About the author

Avatar

Riezki Andhika Pradana

Riezky Andhika Pradana (Kikies) seorang mantan jurnalis majalah anak-anak Ananda semasa kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, Fakultas Komunikasi jurusan Jurnalistik, ia lulus pada tahun 2005. Salah satu karya videonya, Balada Hari Raya yang merupakan salah satu karya dari proyek Cerpen Untuk Filem yang masuk nominasi kategori filem pendek Konfiden 2007. Ia juga pernah menjadi pemimpin redaksi akumassa.org. Sekarang ia tinggal di Jogjakarta, dan menjadi wartawan di salah satu surat kabar lokal Jogjakarta.

4 Comments

  • saya sangat peduli dengan komunitas kera. bagaimana kabarnya bila itu juga menjadi proyeksi ‘akumassa’? di dalamnya kita bisa membaca pertempuran sosial masyarakat kera itu dalam kisah-kisah lisan penduduk. latar apa yang membuat kepercayaan tentang soal politik dan sosial dari komunitas kera sebagai sebuah peta etno-antropologis kepercayaan setempat? bagaimana bung Broer? saya senang beroleh tahu soal itu pertamakalinya dari kau.

  • I’m so happy with “aku massa “, coz I can be closer about cirebon, I think the most people in cirebon so far they don’t know about them selves city. I hope “aku massa” explain all about cirebon.

  • Saat ini saya sedang melakukan riset ttg Cirebon. apakah ada artikel lainnya & bagaimana saya bisa mendapatkannnya?
    Salam

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.